"Don't listen to the person who has the answers; listen to the person who has the questions."
- Albert Einstein -
Quotes yang mengawali postingan ini bikin aku mikir bahwa berarti, bahkan aku harus selalu mempertanyakan jawaban yang aku punya ya.. Dan itu yang bikin aku nggak merasa selamanya menjadi yang paling benar. Nggak selamanya aku harus dengerin diriku sendiri bahwa hal yang aku pegang selalu relevan.
Dari dulu aku selalu mempertanyakan hal-hal, kenapa bisa terjadi seperti itu, apa sih yang ada dibalik maksud seseorang ini, gimana biar masalah ini bisa nemuin solusi yang aku pahami sampe clear di aku, terus aku bisa jelasin sehingga orang lain bisa ngerti dan akhirnya bisa sepakat, atau bisa terjadi adanya saling kompromi satu sama lain.
Dari dulu aku selalu mempertanyakan hal-hal, kenapa bisa terjadi seperti itu, apa sih yang ada dibalik maksud seseorang ini, gimana biar masalah ini bisa nemuin solusi yang aku pahami sampe clear di aku, terus aku bisa jelasin sehingga orang lain bisa ngerti dan akhirnya bisa sepakat, atau bisa terjadi adanya saling kompromi satu sama lain.
Tapi ada kalanya dulu hasil pemikiranku itu nggak aku
luapkan dan tuangkan ke dalam praktiknya. Seringkali aku pendam sendiri aja,
entah biar bisa berdamai dengan keadaan, entah biar nggak terjadi pertikaian
dengan orang lain, entah karena aku ngerasa nggak pantes aja buat bersuara.
Setelah melewati proses yang cukup panjang, sekarang ini aku
ngerasa lebih berani bersuara. Aku berani punya pemikiran sendiri dan
menyampaikannya. Meski seringkali harus terjadi pergesekan dengan orang lain, dan
itu emang resiko yang wajar, tapi sejauh ini aku bisa handle dengan baik. Aku
punya gas dan rem untuk bisa mengontrol seberapa jauh aku mempertahankan
pemikirianku, seberapa jauh aku menanggapi perbedaan pendapat dengan orang
lain.
Inilah hal yang lebih sulit dari berpikir kritis itu sendiri, yaitu
ketika kita menyampaikan pemikiran kita ke orang lain. Karena nggak bisa
dipungkiri emang perdebatan bisa sangat emosional ketika udah saling
terpancing. Dan aku menghindari perdebatan yang udah ke arah nggak sehat. Ketika
ada salah satu yang terbawa emosi, entah aku atau lawan bicaraku, harus ada
yang notice untuk berhenti dulu.
Tapi ketika aku udah ngerasa lawan debatku ini udah nggak
bisa diajak debat sehat, udah keliatan klo diem cuman untuk menunggu gilirannya
mendebat neither being active listening,
ya aku milih cukup sampe disitu aja sih, iyain aja biar cepet. Akan percuma
kalo dilanjutin pun nggak akan nemu solusi yang dicari sebagai tujuan awalnya. Malah
akan berimbas ke hubungan yang memburuk.
Toh aku juga nggak akan mau dipaksa asal sepakat gitu aja, at least aku udah coba ngerti dimana
batasku. Dan cara untuk bisa notice satu
hal yang menjadi fokus adalah impact,
apakah hal yang aku perjuangkan punya impact
yang baik untukku dan orang lain. That’s
it. Kalo nggak, ya udah nggak perlu diperjuangkan untuk orang lain. Keep aja buat diterapkan diri sendiri di
konteks yang tepat.
Jadi, critical thinking menurutku kalo dibuat alurnya
kira-kira seperti ini :
Asking ->
Searching for information -> Thinking -> Result of thought ->
Application -> Impact
Proses critical
thinking ini menurutku penting banget buat setiap orang disegala kondisi.
Karena dengan ini, kita bisa melihat suatu masalah dengan lebih luas. Dan
harusnya kita akan lebih bisa menghargai perbedaan pandangan karena kita
terbiasa merunut pemikiran kita sendiri, jadi kita juga ga kesulitan untuk
mencoba merunut pikiran orang lain.
Sebuah isi dari buah pemikiran adalah konten, sedangkan
kondisi dimana pemikiran itu diterapkan adalah konteks. Jadi paling penting
untuk diperhatikan adalah konteksnya dulu, baru konten. Karena belum tentu
konten yang baik bisa diterapkan dengan tepat di konteks tertentu. Untuk itu,
konteks dan konten ini saling beriringan.
Contohnya : Ada pria merokok dilantai dua sebuah restoran,
sedangkan aku membawa anak makan dilantai dua resto tersebut karena ingin
suasana outdoor. Secara implisit
seharusnya pria tersebut tidak merokok ketika ada anak disekitarnya. Tapi
karena dilantai dua tersebut memang ditujukan untuk smoking area, akan menjadi tidak tepat kalo aku menegur pria
tersebut.
Jika dirunut, makan di restoran adalah konten. Konteksnya
adalah area outdoor dilantai 2 restoran yang merupakan smoking area. Pertanyaan yang timbul, kenapa sih pria tersebut
merokok didekat anakku? Kalo aku menegur dia, pasti dia menjawab karena memang
disitu adalah smoking area. Jadi,
lebih tepat untuk membujuk anakku turun ke lantai 1 biar ga kena asap rokok.
Meskipun aku ngotot marah-marah karena pria itu merokok
didekat anakku, akan semakin terlihat konyol dan berpikiran dangkal karena aku
memaksakan pemikiranku yang tidak sesuai dengan konteks meskipun yang aku
perjuangkan adalah hal yang benar (tidak merokok di dekat anak demi haknya
bernapas dengan udara bersih). Itulah pentingnya berpikir kritis dalam segala
hal, untuk lebih menganalisa berbagai sudut pandang.
Dengan begitu kita memposisikan kita dengan helicopter's point of view. Kita bisa
merunut pikiran kita sendiri, bahkan juga bisa menerima pikiran orang lain yang
berbeda dengan pandangan kita. Kita nggak bakal gampang goyah dan bisa
menjelaskan karena kita tau apa alasan kita atas pikiran yang kita pegang kuat.
Kita juga bisa lebih menghargai apa yang dipegang kuat oleh orang lain, karena
pemikiran kita sangat dipengaruhi oleh apa yang telah terjadi dan dialami
selama hidup.
Ini masalah banyak sekali orang, lho!
Sering banget denger cerita hubungan memburuk hanya karena beda pendapat. Dimulai dari salah satu dan akhirnya bisa sama-sama emosional dalam menyampaikan
pendapatnya. Padahal kalo kita bisa ngobrol dengan waras dan sadar, menaruh
emosi dan ego jauh-jauh, fokus sama solusi, pasti bakal ada titik temunya kok.
Entah itu salah satu dari yang terbaik, atau mengambil kesimpulan dari kompromi
pendapat-pendapat yang berbeda.
Kenapa sih aku nggak gampang menjudge orang, mendahulukan untuk positive
thinking, dan selalu mencari tahu apa alasan dibalik pemikiran seseorang. Karena
aku juga mengalami rasanya nggak didengar keinginannya, nggak dipahami maksud
tujuannya, bahkan di judge karena
hanya dinilai dari apa yang terlihat dari luar. Aku ngalamin semuanya dan tau
gimana rasanya. Jadi aku nggak mau orang lain ngerasain rasa nggak enak itu
dari sikapku.
Jadi aku belajar untuk selalu berpikir kritis dan lebih
berani untuk bersuara juga. Karena percuma ketika kita punya data tapi nggak
disampaikan dengan kata. Sesuatu nggak akan bisa berubah jika bukan kita
sendiri yang merubahnya. Tapi penting juga untuk berbicara sesuai dengan data,
nggak cuman sekedar kata-kata. Nanti jadinya hanya berdebat untuk menang atas
pembenaran. Bukan berdiskusi untuk mengkompromikan data yang paling tepat dalam
suatu kondisi.
Semakin aku belajar berpikir kritis, semakin aku nggak nggumunan, semakin aku bisa menghargai orang
lain dengan berbagai macam perbedaan cara berpikir, karena setiap orang punya
pengalaman hidup yang berbeda. Sama sekali nggak ada yang sama. Jadi wajar
banget kalo kita berbeda pendapat.
Dan punya pemikiran berbeda itu nggak apa-apa toh. Selama
pemikiran itu nggak ngawur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena syariatnya
kan setiap orang pasti punya tujuan baik, dan kebaikan itu mutlak, harus
dijalankan dengan cara yang benar pula. Kalo nggak, ya nggak bakal bisa
tercapai tujuan kebaikannya. Pasti ada yang dirugikan.
To sum up, kita biasa berpikir orang lain bisa saja salah. Think otherwise. orang lain bisa saja benar bukan? sama juga sebaliknya. Mungkin saja kita yang benar, mungkin saja kita yang salah. dengan mindset yang open-minded, kita bisa memulai berpikir kritis dengan menerima segala kemungkinan yang ada. Seperti quotes penutup ini.
"We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them."
- Albert Einstein-
Love,
Chely
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)