Label diri
seringkali didapatkan dari orang lain dalam proses pertumbuhan diri seseorang. Saya
sendiri juga tidak lepas dari label yang diberikan oleh lingkungan sekitar,
baik orang terdekat, maupun orang yang sama sekali tidak mengenal saya secara
pribadi, atau hanya mengetahui dan mengenal saya secara visual, yang bisa
menyebutkan nama saya ketika melihat wajah saya.
Seringkali yang
terdengar dan menancap pada pikiran dan hati adalah label negatif. Seperti pemalas,
bodoh, ceroboh, pembohong, lelet (lamban), dan label negatif lainnya pasti
pernah Anda dapatkan bukan? Sebaliknya, label positif ini juga biasa kita
didapatkan dari orang lain yang puas atas ekspektasinya terhadap diri kita.
Memberi label
negatif ini bisa dikatakan sama dengan merundung atau bullying secara verbal. Karena efeknya menjadikan perasaan rendah
diri, merasa tidak aman, dan juga sedih. Pemberian label buruk dari orang lain
terhadap diri kita mempengaruhi pola pikir kita terhadap diri kita sendiri, dan
mempengaruhi sikap kita dalam mengambil keputusan dalam menjalani hidup.
Yang saya ingat,
usaha memerangi suara-suara orang lain yang memberikan label buruk kepada saya di
usia belasan. Semakin menggeliat setelah saya lulus sekolah dan mulai terjun di
lingkungan kerja yang lebih luas saat usia belum genap 17 tahun. Saya bertemu
dengan lebih banyak orang dari berbagai kalangan usia, strata, dan latar
belakang yang berbeda-beda.
Hal itu yang mengawali
semakin terbukanya pikiran, pandangan semakin luas, dan hati yang semakin
sering mempertanyakan hal-hal dan memiliki keyakinan terhadap diri sendiri. Untuk
sejenak, saya melakukan reka-ulang apa yang telah terjadi di masa lalu. Tentang
saya yang tidak pernah mengikuti “tren” teman-teman saya di sekolah yang
berhubungan dengan bullying.
Sejak duduk di
sekolah dasar, tren panggilan nama orang tua sangat marak dilakukan teman-teman
saya. Bagi anak generasi 90an saat itu, hal tersebut sangat lucu dan (mungkin) memuaskan.
Merasa jadi yang berkuasa dengan berani menyebut nama orang tua temannya
sebagai panggilan tanpa mendapatkan perlawanan. Mungkin. Saya belum pernah
mendapat pengakuan jujur dari pelakunya.
Yang jelas bagi
saya, itu tidak pernah berhasil membuat saya tertawa, juga adalah hal yang
sia-sia untuk dilakukan, selain itu juga saya sudah paham hal tersebut tidak
menunjukkan kesopanan dan penghormatan. Anehnya, ketika saya tidak bereaksi
atau merespon yang teman-teman saya lakukan, mereka tidak akan merasa hal
tersebut seru untuk ditujukan kepada saya.
Label negatif
yang pernah saya dapatkan, pernah juga mempengaruhi pandangan saya terhadap
diri saya sendiri selama beberapa saat. Beberapa yang saya ingat adalah saya
mendapat julukan “Putri Solo” yang identik dengan gerakan lemah gemulainya, artian
yang dimaksudkan adalah orang yang lamban dalam mengerjakan sesuatu.
Saya juga dinilai
lamban saat makan, yang sekarang saya pahami, bahwa tingkat lamban dalam
mengunyah makanan seorang berusia 20 tahunan dengan anak berusia 5 tahun sangat tidak masuk akal untuk
dibandingkan. Namun, label tersebut cukup lama menggelayuti diri saya, saya
percaya penuh dengan label tersebut dan merasa tidak perlu berusaha untuk
membuktikan sesuatu.
Ketika sudah
mulai bekerja, saya merasakan pertumbuhan diri saya terpacu untuk berkembang
pesat. Setiap satu demi satu apresiasi yang datang atas kinerja baik saya,
membuat saya mulai mempertanyakan label-label negatif yang selama ini menggelayuti
diri saya bertahun-tahun. Apa benar saya lamban? Apa benar saya ceroboh? Apa
benar saya tidak mampu?
Bukan hanya
label negatif yang membunuh karakter, namun saya juga mulai mempertanyakan nilai
dasar dari label yang pernah saya dapatkan. Bagaimana orang bisa dikatakan
cantik? Siapa yang menentukan ukuran tubuh ideal? Apa yang dapat menengahi
antara pemikiran orang satu dengan lainnya?
Saya mulai
menggali segala hal dalam diri saya yang masih terpendam selama ini dan menemukan
banyak harta yang sangat lebih penting untuk diterima dan disyukuri. Betapa banyak
hal yang belum pernah saya kenali dan saya sadari telah miliki dari sosok
bernama Selina. Saya ingin semakin mengenal diri saya dan memancarkan apa yang
selama ini ada di dalam.
Hingga saat ini,
saya tidak pernah memiliki stereotype atas apapun yang ada diluar saya. Dan semakin
teguh dengan apa yang sudah saya olah sendiri berdasarkan pemikiran,
pengalaman, masukan maupun sanggahan yang telah saya proses sedemikian rupa. Saya
terbuka dengan hal-hal diluaran, namun juga memiliki batas yang saya kendalikan
untuk dalam diri saya.
Anda mungkin
juga sudah mengalami hal yang saya ceritakan, mungkin juga belum, atau bahkan
sengaja atau tidak sengaja menghindari untuk mengalami. Berkaitan dengan label
diri, beberapa pertanyaan bisa Anda ajukan untuk diri sendiri, dengan tujuan menjadi
yang lebih dulu mengenali diri Anda sebelum orang lain.
Apa benar Anda
sesuai dengan label yang menancap pada pikiran Anda? Apa kekurangan dan
kelebihan Anda menurut penilaian Anda sendiri? Apa hal yang mendasari Anda pantas
mendapatkan label tersebut? Siapa yang
boleh maupun tidak boleh mempengaruhi atau memberi penilaian terhadap diri
Anda? Apakah Anda bisa memiliki kendali penuh untuk menjadi sesuai seperti yang
Anda pikirkan, dan bagaimana caranya?
Selina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)