“cowok sama cewek nggak mungkin bisa
sahabatan.” katanya. Aku hanya diam memikirkannya sambil mengingat-ingat setelah
Dico dikhitan, aku yang mengipasi penisnya saat mengeluh kepanasan. Atau saat aku
menghiburnya dengan cerita lucu, senang mendengar tawanya yang seperti sedang
kumur. Klek-klek-klek-klek-klek.
Dico selalu datang kerumah tanpa
mengetuk pintu, kadang tiba-tiba membuka gorden kamarku yang sedang ganti baju.
Seringkali saling ngobrol dengan berteriak saat mandi, karena kamar mandi rumah
kami berdempetan. “Adus ta dik..??”, “aku sek sikatan sel..!!!”, “iyoo! Aku sek
pipis..!!!”, “mari adus ta nang omahmu yo..!!!”. Dungdungdung! Kami berbalas klotekan
tembok jeding.
Mengobrol tentang UFO, dajjal, siksa
kubur, sejarah injil, hal-hal kontroversial, cewek pertama yang ia taksir di
SMP, atau sekedar memanjat portal setelah sahur sambil menunggu subuh. Aku
bahkan lebih sering memakai skateboard milik Dico daripada ia sendiri.
Aku pernah tidak sengaja menusukkan
pensil hingga bauksitnya patah dan tertinggal dibalik telapak tangannya, aku
juga pernah mencoret dahinya dengan pensil hingga menangis. Dia pernah
mendorongku masuk ke got, juga pernah meminum es moni yang aku titipkan
dikulkasnya.
Kami sering saling jahil, tapi
juga sering saling berbagi es wawan. Jika dipikir begini, aku baru sadar kalau
kami tidak pernah bertengkar. Diingat-ingat lagi, Dico kecil memang lebih
sering menangis karena aku daripada sebaliknya. Chely kecil jarang menangis
kecuali karena di ‘hajar’ orang tua. Hehe.
Dimana ada Chely, disitu ada
Dico. Sempat menyebar seantero RT wilayah rumahku. Saking lengketnya
persahabatan kami. Selisih usia kami setahun, ia lebih tua. Tapi kita menjadi
teman sekelas saat SD. Dan tetap dekat hingga ia lulus kuliah dan aku bekerja meski
tidak lagi satu sekolah sejak SMP.
Mundur ke masa SD, saat mas Bagus
mengajakku bermain basket di lapangan di jam istirahat. Saat Fery meminta uang
seratus rupiah karena kehausan setelah olahraga. Atau saat Eko dan Dion meminta
maaf setelah menjegalku saat berlarian di sekolah, dan Fery yang membersihkan
lukaku dengan revanol, mengelapnya dengan kertas bekas ujian. Bekas lukanya masih
ada setelah 20 tahun.
Anak laki-laki tidak buruk untuk
dijadikan sahabat, bagiku yang perempuan. Mereka meminta maaf ketika candaannya
membuatku menangis, menyampaikan permintaan dengan jujur dan sopan, tidak
melirik sinis kulitku yang tersengat matahari, tidak peduli dengan gigi
kelinciku yang besar. Bahkan mereka merasa tidak perlu membahas hidungku yang
pesek.
Anak lelaki sungguh solid. Beberapa
pendatang baru di kelas menyukaiku, mungkin karena aku menjadi ‘keset welcome’ atau
penyambut agar mereka tidak merasa asing, dan selalu membela saat mereka di bully. Ada yang menyatakannya langsung,
dengan surat, atau lewat teman. Sekelompok dari mereka bahkan membuat
kesepakatan siapa yang boleh menyatakan dan siapa yang mengalah.
Kiyowo sekali hyung.
Anak lelaki sangat simpel. Aku
tidak perlu pura-pura baik dengan teman yang tidak aku sukai. Ketika aku kesal
dengan kenakalan mereka, marah atau menangis saja, mereka akan meminta maaf.
Jika ingin membalas, aku melaporkan mereka pada guru untuk melihat mereka dimarahi
atau di hukum sebagai balasannya. Jika terpaksa, aku kadang menggigit tangannya.
Ehehe.
Namun mereka tidak mengelak atas
kenakalannya. Justru setelah dihukum, mereka akan melirikku dan berbalas senyum
geli. Kami akan main bersama lagi tanpa ada dendam. Anak laki-laki memang nakal
dan mengganggu, itu cara mereka untuk mencari dan mencuri perhatian. Kalau
terganggu tinggal lawan atau menangis saja. Seringnya, mereka tidak akan
membalas anak perempuan.
Saat SMP, jam istirahat aku duduk
dikelas sendirian, Saka mendekatkan kursinya dan bertanya “Chely kenapa diam
saja? kamu sedang sedih kah?” lucu mendengarnya selalu memakai bahasa baku dengan
nada gagap padaku. Atau Rocky yang tiba-tiba menarik tanganku dan mendudukkanku
diujung belakang ruangan kelas, “Chel, kamu kok diem ae kenapa? Ceritao ke aku
kalo ada masalah.”
Saat SMA pun, ada si kikuk cerdas
dan ikonik yang mendukungku secara underground. Si jahil yang memanggilku teteh
dan sering membantu tugas pemrogramanku dan juga berbagi cerita. Dan Si cerewet
menyebalkan namun jadi kontak pertama saat butuh kehadirannya. Tidak perlu aku
sebut namanya karena kemungkinan besar kalian membaca dan aku merasa geli
menyatakan ini. Haha
Ada juga teman luar sekolah yang
tidak tau cerita hari-hariku, namun selalu menjadi pembeli pertama apa yang aku
jual melalui sosmed. Atau randomly bertukar cerita tentang masalah hidup dan
meminta pandanganku, tanpa harus sering bertemu. Atau menjadikanku orang pertama yang mengetahui kabar baik maupun buruk darinya.
Bukannya tidak punya sahabat
perempuan. Tapi kenyataannya, perempuan cenderung sering mengganggu kenyamanan
hidup perempuan lainnya. Akan aku ceritakan di post lain nanti. Disini aku
hanya ingin mematahkan stigma dengan menceritakan tentang diriku yang cenderung
nyaman bersahabat dengan laki-laki.
Emangnya apa asiknya bersahabat
dengan laki-laki?
Mereka tidak perlu validasi ataupun
syarat tentang persahabatan.
Tidak perlu memakai gelang
persahabatan dan sering kemanapun bersama, tidak perlu mengumumkan bahwa Seli
adalah sahabatku dan sebaliknya, aku adalah teman yang selalu ada untuk Seli
dan sebaliknya. Tidak ada yang boleh menggantikan posisiku dan sebaliknya. Enteng,
tapi ada saatnya juga menyelam begitu dalam. Tidak kecipak-kecipuk di permukaan
saja. Duh. Analogiku.
Intinya adalah simpel nan tidak
rumit. Saling support dan terbuka. Bahkan meski seiring berjalannya waktu kami
tidak lagi berbicara atau kontak karena kesibukan ataupun sudah berkeluarga, mereka
tidak akan terlupa. Yang aku tau, mereka ada dan pernah sangat berjasa di
perjalanan hidupku. Bukankan itu gunanya sahabat?
Mereka tidak akan membicarakan
tentangmu di belakang. Mereka akan membelamu bahkan. Jika tidak memungkinkan,
mereka akan menjadi informan. Menanyakan hal rancu yang mereka dengar
tentangmu, tanpa segan menegur dan menasehatimu jika ada yang salah. Yang pasti,
memberimu support.
Bukan, aku tidak sedang men-judge persahabatan sesama perempuan
adalah fake. No. Aku juga punya sahabat perempuan. Sekali lagi aku tekankan, aku
ingin mengangkat cerita tentang “cowok dan cewek bisa bersahabat juga kok”. Titik.
“cowok dan cewek kalo bersahabat,
pasti salah satunya ada yang punya perasaan lebih” katanya. Kalian yakin suami
kalian tidak ada apa-apa dengan sahabat laki-lakinya? Atau sebaliknya juga. Perempuan
yang bersahabat dengan perempuan tidak ada yang menaruh curiga bahwa diantara
mereka ada apa-apa. Kenapa seyakin itu?
Think.
Love,
Chely
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)