Sabtu, 18 Juli 2020

APA YANG MEMBUATKU JATUH CINTA?





Ngomongin cinta yuk? Hahaha. Gegara ikutan give away buku di instagram nih mood cinta-cintaannya jadi mode ON. Jadi give away nya tuh disuruh jawab pertanyaan, apa sih yang bikin kamu bisa jatuh hati?
*auto kdrama backsound*


Aku nggak baca komentar lain sebelumnya, langsung ngetik aja jawabanku apa, nggak panjang-panjang amat, tapi cukup merangkum semuanya. Terus klik enter deh.



Habis itu baru aku baca-baca komentar lain, ternyata yang lain pada nyebutin kualitas-kualitas dalam diri seseorang yang bikin jatuh cinta. Terus aku langsung mikir, Tuhan.. mengapa aku berbeda? LOL. Sempet mikir ulang, apa jawabanku salah ya, pertanyaannya kan apa yang bikin aku jatuh cinta sama seseorang, ya kan aku tinggal menggali perasaan aja toh pengalamanku seperti apa.


Nggak salah kok ternyata ya.. tiap orang punya pandangan dan pengalaman berbeda dan emang aku jatuh cinta bukan hanya karena melihat sisi kualitas seseorang aja. Karena ya setiap orang pasti punya kan? Cuman aku ngejawabnya dengan perspektif berbeda aja. Mereka yang nyebutin kualitas-kualitas seseorang yang bikin jatuh cinta juga nggak salah, bener juga. Jadi sudahlah mari kita salaman meski nggak lagi lebaran.


Poinnya, bukan berarti orang yang pernah bikin aku bisa menjatuhkan hati nggak punya kualitas yang mampu menarik aku, karena pasti semua orang, like EVERYBODY, has their own qualities. Begitu juga sebaliknya.. Everybody has flaws too.


Karena kalo flash back dan menarik sejarah, aku tuh nggak berawal dari perasaan jatuh cinta sama Yoki. Love at first sight.. apa itu? dipepet 2 tahun dengan berkali-kali nembak baru aku nerima cintanya setelah aku mutusin buat “oke, let’s do this TOGETHER”. Malah dia yang love at first sight katanya liat aku dikantor pertama kalinya. (FYI, kita dulu temen sekantor jaman kerja di hotel).


Sebelum sama Yoki akutu disakiti sama mantanku, chely yang polos dan naif dalam bercinta dibikin gamau pacaran lagi. Kapok. Nggak perlu diceritain detailnya, klasik. Sempet stress dan gemukan karena larinya ke makan donat 2 biji tiap setelah makan nasi pas break kerja. Perutku doang sih jadi buncitan banget sm pipi membulat, badan tetep gini-gini aja hehe.


Sempet ada beberapa yang PDKT meski aku udah bilang nggak pengen pacaran dulu. Ya si Yoki inilah yang ngeyel banget dan selalu bilang, “kalo gamau pacaran ya ayok nikah!”. Dulu ngakak-ngakak aja digituin, usia kami kan selisih 11 tahun. Jadi dalam hati kayak, “nih om-om ngocol banget dah” LOL.


Tapi pepatah jawa tresno jalaran soko kulino itu bener juga. Dari yang ngga suka sampe nggak mau kalo diajak jalan berduaan, mesti ngajak temen lain, sampe akhirnya mau kasih kesempatan buka hati dan pelan-pelan aku ngeliat potensi dari dalam diri Yoki ini. Jadi secara perasaan sebenernya prosesnya kayak ta’aruf, tapi ya nggak bisa disebut gitu juga. Karena prosesnya kan diawali dengan aku mau coba mengenali dia lebih dalam. Nggak ada rasa suka ato cinta diawal. Dan aku orang yang commit sama keputusanku. Sekali aku mau jalan, aku serius.


Dari dulu nggak punya sosok tipe pria idaman yang spesifik. Ya ada naksir-naksiran tapi jarang yang beneran jadi malahan sama yang aku taksir duluan, kebanyakan ya prosesnya ditembak-jadian aja. Umumnya remaja, sampe yang aku ngerasa paling serius sama yang terakhir sebelum Yoki dan disakitin. Tapi ngeliat Yoki ini emang kayak nggak banget lah saat itu wkwk. Nggak pernah terpikir sama sekali pokoknya kita mau jadi lebih dari temen.


Kayak ada feeling, why me bruh?
Kenapa sih nih om-om bisa gigih mau seriusin gue anak yang saat itu masih bau kencur? Jadi kami kenal pas aku masih sweet seventeen, buka hati buat dia pas umur 19, lamaran umur 21, nikah umur 22, dan Zac lahir diumurku yang ke 23 tahun. Umur abang ya tinggal ditambah 11 tahun dari umurku aja.


Cinta itu bisa ditumbuhkan. Kayak bibit yang disiram setiap hari, dipupuk, dikasi desinfektan biar ga ada hama, harus dirawat sebaik mungkin. Makanya, kalo dipikir lagi, dari awal aku nggak ada proses jatuh hati sama Yoki, tapi sekarang udah tahun ke-5 pernikahan kami. Ya karena aku mau merawat cinta itu, Yoki juga. Jadi jatuh cinta buatku bukan hanya awalan untuk sebuah hubungan aja.


Setiap hari aku harus jatuh hati kepada orang yang sama, setiap hari aku harus menjaga gimana biar cinta ini tumbuh dengan baik, dan nggak setiap hari hubungan ini baik-baik aja. Karena itulah aku punya perspektif lain untuk menilai apa yang bikin aku jatuh hati. Bukan hanya mencintai kualitas dalam dirinya, tapi juga mencintai sisi gelap yang cuman bisa ditunjukin ke aku, dan sisi terbaik yang bisa dicapai karena ada aku disisinya.



Love,

Chely

Selasa, 14 Juli 2020

BERPIKIR KRITIS

"Don't listen to the person who has the answers; listen to the person who has the questions."

- Albert Einstein -


Quotes yang mengawali postingan ini bikin aku mikir bahwa berarti, bahkan aku harus selalu mempertanyakan jawaban yang aku punya ya.. Dan itu yang bikin aku nggak merasa selamanya menjadi yang paling benar. Nggak selamanya aku harus dengerin diriku sendiri bahwa hal yang aku pegang selalu relevan.


Dari dulu aku selalu mempertanyakan hal-hal, kenapa bisa terjadi seperti itu, apa sih yang ada dibalik maksud seseorang ini, gimana biar masalah ini bisa nemuin solusi yang aku pahami sampe clear di aku, terus aku bisa jelasin sehingga orang lain bisa ngerti dan akhirnya bisa sepakat, atau bisa terjadi adanya saling kompromi satu sama lain.


Tapi ada kalanya dulu hasil pemikiranku itu nggak aku luapkan dan tuangkan ke dalam praktiknya. Seringkali aku pendam sendiri aja, entah biar bisa berdamai dengan keadaan, entah biar nggak terjadi pertikaian dengan orang lain, entah karena aku ngerasa nggak pantes aja buat bersuara.


Setelah melewati proses yang cukup panjang, sekarang ini aku ngerasa lebih berani bersuara. Aku berani punya pemikiran sendiri dan menyampaikannya. Meski seringkali harus terjadi pergesekan dengan orang lain, dan itu emang resiko yang wajar, tapi sejauh ini aku bisa handle dengan baik. Aku punya gas dan rem untuk bisa mengontrol seberapa jauh aku mempertahankan pemikirianku, seberapa jauh aku menanggapi perbedaan pendapat dengan orang lain.


Inilah hal yang lebih sulit dari berpikir kritis itu sendiri, yaitu ketika kita menyampaikan pemikiran kita ke orang lain. Karena nggak bisa dipungkiri emang perdebatan bisa sangat emosional ketika udah saling terpancing. Dan aku menghindari perdebatan yang udah ke arah nggak sehat. Ketika ada salah satu yang terbawa emosi, entah aku atau lawan bicaraku, harus ada yang notice untuk berhenti dulu.


Tapi ketika aku udah ngerasa lawan debatku ini udah nggak bisa diajak debat sehat, udah keliatan klo diem cuman untuk menunggu gilirannya mendebat neither being active listening, ya aku milih cukup sampe disitu aja sih, iyain aja biar cepet. Akan percuma kalo dilanjutin pun nggak akan nemu solusi yang dicari sebagai tujuan awalnya. Malah akan berimbas ke hubungan yang memburuk.


Toh aku juga nggak akan mau dipaksa asal sepakat gitu aja, at least aku udah coba ngerti dimana batasku. Dan cara untuk bisa notice satu hal yang menjadi fokus adalah impact, apakah hal yang aku perjuangkan punya impact yang baik untukku dan orang lain. That’s it. Kalo nggak, ya udah nggak perlu diperjuangkan untuk orang lain. Keep aja buat diterapkan diri sendiri di konteks yang tepat.

Jadi, critical thinking menurutku kalo dibuat alurnya kira-kira seperti ini :
Asking -> Searching for information -> Thinking -> Result of thought -> Application -> Impact


Proses critical thinking ini menurutku penting banget buat setiap orang disegala kondisi. Karena dengan ini, kita bisa melihat suatu masalah dengan lebih luas. Dan harusnya kita akan lebih bisa menghargai perbedaan pandangan karena kita terbiasa merunut pemikiran kita sendiri, jadi kita juga ga kesulitan untuk mencoba merunut pikiran orang lain.


Sebuah isi dari buah pemikiran adalah konten, sedangkan kondisi dimana pemikiran itu diterapkan adalah konteks. Jadi paling penting untuk diperhatikan adalah konteksnya dulu, baru konten. Karena belum tentu konten yang baik bisa diterapkan dengan tepat di konteks tertentu. Untuk itu, konteks dan konten ini saling beriringan.


Contohnya : Ada pria merokok dilantai dua sebuah restoran, sedangkan aku membawa anak makan dilantai dua resto tersebut karena ingin suasana outdoor. Secara implisit seharusnya pria tersebut tidak merokok ketika ada anak disekitarnya. Tapi karena dilantai dua tersebut memang ditujukan untuk smoking area, akan menjadi tidak tepat kalo aku menegur pria tersebut.


Jika dirunut, makan di restoran adalah konten. Konteksnya adalah area outdoor dilantai 2 restoran yang merupakan smoking area. Pertanyaan yang timbul, kenapa sih pria tersebut merokok didekat anakku? Kalo aku menegur dia, pasti dia menjawab karena memang disitu adalah smoking area. Jadi, lebih tepat untuk membujuk anakku turun ke lantai 1 biar ga kena asap rokok.


Meskipun aku ngotot marah-marah karena pria itu merokok didekat anakku, akan semakin terlihat konyol dan berpikiran dangkal karena aku memaksakan pemikiranku yang tidak sesuai dengan konteks meskipun yang aku perjuangkan adalah hal yang benar (tidak merokok di dekat anak demi haknya bernapas dengan udara bersih). Itulah pentingnya berpikir kritis dalam segala hal, untuk lebih menganalisa berbagai sudut pandang.


Dengan begitu kita memposisikan kita dengan helicopter's point of view. Kita bisa merunut pikiran kita sendiri, bahkan juga bisa menerima pikiran orang lain yang berbeda dengan pandangan kita. Kita nggak bakal gampang goyah dan bisa menjelaskan karena kita tau apa alasan kita atas pikiran yang kita pegang kuat. Kita juga bisa lebih menghargai apa yang dipegang kuat oleh orang lain, karena pemikiran kita sangat dipengaruhi oleh apa yang telah terjadi dan dialami selama hidup.


Ini masalah banyak sekali orang, lho!
Sering banget denger cerita hubungan memburuk hanya karena beda pendapat. Dimulai dari salah satu dan akhirnya bisa sama-sama emosional dalam menyampaikan pendapatnya. Padahal kalo kita bisa ngobrol dengan waras dan sadar, menaruh emosi dan ego jauh-jauh, fokus sama solusi, pasti bakal ada titik temunya kok. Entah itu salah satu dari yang terbaik, atau mengambil kesimpulan dari kompromi pendapat-pendapat yang berbeda.


Kenapa sih aku nggak gampang menjudge orang, mendahulukan untuk positive thinking, dan selalu mencari tahu apa alasan dibalik pemikiran seseorang. Karena aku juga mengalami rasanya nggak didengar keinginannya, nggak dipahami maksud tujuannya, bahkan di judge karena hanya dinilai dari apa yang terlihat dari luar. Aku ngalamin semuanya dan tau gimana rasanya. Jadi aku nggak mau orang lain ngerasain rasa nggak enak itu dari sikapku.


Jadi aku belajar untuk selalu berpikir kritis dan lebih berani untuk bersuara juga. Karena percuma ketika kita punya data tapi nggak disampaikan dengan kata. Sesuatu nggak akan bisa berubah jika bukan kita sendiri yang merubahnya. Tapi penting juga untuk berbicara sesuai dengan data, nggak cuman sekedar kata-kata. Nanti jadinya hanya berdebat untuk menang atas pembenaran. Bukan berdiskusi untuk mengkompromikan data yang paling tepat dalam suatu kondisi.


Semakin aku belajar berpikir kritis, semakin aku nggak nggumunan, semakin aku bisa menghargai orang lain dengan berbagai macam perbedaan cara berpikir, karena setiap orang punya pengalaman hidup yang berbeda. Sama sekali nggak ada yang sama. Jadi wajar banget kalo kita berbeda pendapat.


Dan punya pemikiran berbeda itu nggak apa-apa toh. Selama pemikiran itu nggak ngawur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena syariatnya kan setiap orang pasti punya tujuan baik, dan kebaikan itu mutlak, harus dijalankan dengan cara yang benar pula. Kalo nggak, ya nggak bakal bisa tercapai tujuan kebaikannya. Pasti ada yang dirugikan.


To sum up, kita biasa berpikir orang lain bisa saja salah. Think otherwise. orang lain bisa saja benar bukan? sama juga sebaliknya. Mungkin saja kita yang benar, mungkin saja kita yang salah. dengan mindset yang open-minded, kita bisa memulai berpikir kritis dengan menerima segala kemungkinan yang ada. Seperti quotes penutup ini.

"We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them."

- Albert Einstein- 


Love,


Chely