Jumat, 26 Februari 2021

Persahabatan Lawan Jenis

 


“cowok sama cewek nggak mungkin bisa sahabatan.” katanya. Aku hanya diam memikirkannya sambil mengingat-ingat setelah Dico dikhitan, aku yang mengipasi penisnya saat mengeluh kepanasan. Atau saat aku menghiburnya dengan cerita lucu, senang mendengar tawanya yang seperti sedang kumur. Klek-klek-klek-klek-klek.

Dico selalu datang kerumah tanpa mengetuk pintu, kadang tiba-tiba membuka gorden kamarku yang sedang ganti baju. Seringkali saling ngobrol dengan berteriak saat mandi, karena kamar mandi rumah kami berdempetan. “Adus ta dik..??”, “aku sek sikatan sel..!!!”, “iyoo! Aku sek pipis..!!!”, “mari adus ta nang omahmu yo..!!!”. Dungdungdung! Kami berbalas klotekan tembok jeding.

Mengobrol tentang UFO, dajjal, siksa kubur, sejarah injil, hal-hal kontroversial, cewek pertama yang ia taksir di SMP, atau sekedar memanjat portal setelah sahur sambil menunggu subuh. Aku bahkan lebih sering memakai skateboard milik Dico daripada ia sendiri.

Aku pernah tidak sengaja menusukkan pensil hingga bauksitnya patah dan tertinggal dibalik telapak tangannya, aku juga pernah mencoret dahinya dengan pensil hingga menangis. Dia pernah mendorongku masuk ke got, juga pernah meminum es moni yang aku titipkan dikulkasnya.

Kami sering saling jahil, tapi juga sering saling berbagi es wawan. Jika dipikir begini, aku baru sadar kalau kami tidak pernah bertengkar. Diingat-ingat lagi, Dico kecil memang lebih sering menangis karena aku daripada sebaliknya. Chely kecil jarang menangis kecuali karena di ‘hajar’ orang tua. Hehe.

Dimana ada Chely, disitu ada Dico. Sempat menyebar seantero RT wilayah rumahku. Saking lengketnya persahabatan kami. Selisih usia kami setahun, ia lebih tua. Tapi kita menjadi teman sekelas saat SD. Dan tetap dekat hingga ia lulus kuliah dan aku bekerja meski tidak lagi satu sekolah sejak SMP.

Mundur ke masa SD, saat mas Bagus mengajakku bermain basket di lapangan di jam istirahat. Saat Fery meminta uang seratus rupiah karena kehausan setelah olahraga. Atau saat Eko dan Dion meminta maaf setelah menjegalku saat berlarian di sekolah, dan Fery yang membersihkan lukaku dengan revanol, mengelapnya dengan kertas bekas ujian. Bekas lukanya masih ada setelah 20 tahun.

Anak laki-laki tidak buruk untuk dijadikan sahabat, bagiku yang perempuan. Mereka meminta maaf ketika candaannya membuatku menangis, menyampaikan permintaan dengan jujur dan sopan, tidak melirik sinis kulitku yang tersengat matahari, tidak peduli dengan gigi kelinciku yang besar. Bahkan mereka merasa tidak perlu membahas hidungku yang pesek.

Anak lelaki sungguh solid. Beberapa pendatang baru di kelas menyukaiku, mungkin karena aku menjadi ‘keset welcome’ atau penyambut agar mereka tidak merasa asing, dan selalu membela saat mereka di bully. Ada yang menyatakannya langsung, dengan surat, atau lewat teman. Sekelompok dari mereka bahkan membuat kesepakatan siapa yang boleh menyatakan dan siapa yang mengalah.

Kiyowo sekali hyung.

Anak lelaki sangat simpel. Aku tidak perlu pura-pura baik dengan teman yang tidak aku sukai. Ketika aku kesal dengan kenakalan mereka, marah atau menangis saja, mereka akan meminta maaf. Jika ingin membalas, aku melaporkan mereka pada guru untuk melihat mereka dimarahi atau di hukum sebagai balasannya. Jika terpaksa, aku kadang menggigit tangannya. Ehehe.

Namun mereka tidak mengelak atas kenakalannya. Justru setelah dihukum, mereka akan melirikku dan berbalas senyum geli. Kami akan main bersama lagi tanpa ada dendam. Anak laki-laki memang nakal dan mengganggu, itu cara mereka untuk mencari dan mencuri perhatian. Kalau terganggu tinggal lawan atau menangis saja. Seringnya, mereka tidak akan membalas anak perempuan.

Saat SMP, jam istirahat aku duduk dikelas sendirian, Saka mendekatkan kursinya dan bertanya “Chely kenapa diam saja? kamu sedang sedih kah?” lucu mendengarnya selalu memakai bahasa baku dengan nada gagap padaku. Atau Rocky yang tiba-tiba menarik tanganku dan mendudukkanku diujung belakang ruangan kelas, “Chel, kamu kok diem ae kenapa? Ceritao ke aku kalo ada masalah.”

Saat SMA pun, ada si kikuk cerdas dan ikonik yang mendukungku secara underground. Si jahil yang memanggilku teteh dan sering membantu tugas pemrogramanku dan juga berbagi cerita. Dan Si cerewet menyebalkan namun jadi kontak pertama saat butuh kehadirannya. Tidak perlu aku sebut namanya karena kemungkinan besar kalian membaca dan aku merasa geli menyatakan ini. Haha

Ada juga teman luar sekolah yang tidak tau cerita hari-hariku, namun selalu menjadi pembeli pertama apa yang aku jual melalui sosmed. Atau randomly bertukar cerita tentang masalah hidup dan meminta pandanganku, tanpa harus sering bertemu. Atau menjadikanku orang pertama yang mengetahui kabar baik maupun buruk darinya.

Bukannya tidak punya sahabat perempuan. Tapi kenyataannya, perempuan cenderung sering mengganggu kenyamanan hidup perempuan lainnya. Akan aku ceritakan di post lain nanti. Disini aku hanya ingin mematahkan stigma dengan menceritakan tentang diriku yang cenderung nyaman bersahabat dengan laki-laki.

Emangnya apa asiknya bersahabat dengan laki-laki?

Mereka tidak perlu validasi ataupun syarat tentang persahabatan.

Tidak perlu memakai gelang persahabatan dan sering kemanapun bersama, tidak perlu mengumumkan bahwa Seli adalah sahabatku dan sebaliknya, aku adalah teman yang selalu ada untuk Seli dan sebaliknya. Tidak ada yang boleh menggantikan posisiku dan sebaliknya. Enteng, tapi ada saatnya juga menyelam begitu dalam. Tidak kecipak-kecipuk di permukaan saja. Duh. Analogiku.

Intinya adalah simpel nan tidak rumit. Saling support dan terbuka. Bahkan meski seiring berjalannya waktu kami tidak lagi berbicara atau kontak karena kesibukan ataupun sudah berkeluarga, mereka tidak akan terlupa. Yang aku tau, mereka ada dan pernah sangat berjasa di perjalanan hidupku. Bukankan itu gunanya sahabat?

Mereka tidak akan membicarakan tentangmu di belakang. Mereka akan membelamu bahkan. Jika tidak memungkinkan, mereka akan menjadi informan. Menanyakan hal rancu yang mereka dengar tentangmu, tanpa segan menegur dan menasehatimu jika ada yang salah. Yang pasti, memberimu support.

Bukan, aku tidak sedang men-judge persahabatan sesama perempuan adalah fake. No. Aku juga punya sahabat perempuan. Sekali lagi aku tekankan, aku ingin mengangkat cerita tentang “cowok dan cewek bisa bersahabat juga kok”. Titik.

“cowok dan cewek kalo bersahabat, pasti salah satunya ada yang punya perasaan lebih” katanya. Kalian yakin suami kalian tidak ada apa-apa dengan sahabat laki-lakinya? Atau sebaliknya juga. Perempuan yang bersahabat dengan perempuan tidak ada yang menaruh curiga bahwa diantara mereka ada apa-apa. Kenapa seyakin itu?

Think.


Love,


Chely