Rabu, 06 Mei 2020

MY OWN BATTLE




FYI, ini draft dari bulan Desember 2019 belum kesentuh lagi. Karena emang hari-hari setelah itu kayak full banget. Sampe rasanya seringkali harus nyari-nyari distraksi untuk "escape" barang sebentar demi menjaga kewarasan. Sekarang ini dibilang udah selesai juga belum bisa, karena efek dominonya masih terasa. Tapi karena ini konteksnya hanya membahas soal pengalaman trauma masa kecilku yang bisa dibilang sudah bisa terlewati, so.. here we go.


Sebelumnya aku pernah menulis tentang pergolakan ku melawan trauma masa kecil. Aku sudah mencoba untuk memaafkan hal-hal pahit yang mempengaruhi kehidupanku setelah menikah dan punya anak. Dan ternyata bagiku, sebuah validasi sangat lah berarti.

Sebelum lanjut bisa baca ini dulu : Trauma masa kecilku


Sekitar 2 minggu lalu aku tertimpa musibah terbesar dalam hidupku. ter-BESAR, selama 25 tahun aku hidup. Yang aku ga pernah sangka bisa terjadi dihidupku yang aku tata sebaik mungkin, karena emang masalah ini nggak dateng dari aku pribadi. But I have to do responsible with it. Like I REALLY have to. Dan aku ga bisa menceritakan masalahnya, karena selain masalahnya belum selesai, aku juga belum memutuskan dan menemukan manfaatnya kalaupun aku buka disini.


Long story short, karena ada masalah ini akhirnya aku speak up tentang uneg-uneg yang terpendam sejak lama ke ortu. For the first time. Aku yang selama ini mencoba mengubur rasa sakit, rasa tidak terima, tiba-tiba menunjukkan segala luka terdalamku. Bahwa aku masih merasakan sakit itu, bahwa aku ingin mengatakan inilah aku yang sesungguhnya, inilah aku yang tidak mau di doktrin, inilah aku yang punya cara pandang yang berbeda, inilah aku yang tidak bisa menerima perlakuan tidak baik, inilah aku yang menuntut perlakuan yang aku harapkan, inilah diriku yang bisa merasa sedih, lemah, menangis, terpuruk. Inilah diriku seutuhnya yang ingin didengar.


Awalnya ortuku alot, mereka tidak benar-benar mendengarkan. Mereka hanya kekeuh dengan prinsip bahwa ortu tidak pernah berniat buruk kepada anaknya. Tujuan mereka baik. Hell I know that. I fuckn now that. Tapi itu tidak bisa menjadikan alasan pembenaran atas perlakuan dan sikap yang salah.

Karena terlanjur ungkapin, aku berusaha untuk tidak mempersulit keadaan yang sudah sulit. Aku tau mereka kaget kenapa aku malah ngungkapin hal ini ditengah masalah besar saat itu. Aku bilang kalau aku cuma pengen didengar. Aku pengen mereka tau apa yang aku rasain. Karena selama ini aku selalu mengikuti apa yang ortuku bilang tanpa membantah hanya karena takut menghadapi konflik, takut dibilang anak durhaka, takut dicap anak yang suka ngelawan, takut ortuku tersakiti karena aku mengemukakan pendapatku yang berbeda.


That was so totally emotional for me. Ungkapin hal-hal yang sudah lama terpendam sangat menguras emosiku. Ibuk cuma bisa telungkup di sofa sambil nangis, bapak diem nunduk sambil berusaha mendengar dan mencerna semua yang aku ungkapin. Aku mengeluarkan segala sisi kelemahanku, menangis, memeluk Bapak dan bisikin sambil sesenggukan, "Kapan terakhir kali Bapak tau, nanya gimana perasaan Seli? Seli bisa nangis pak, Seli nggak selalu kuat, Seli nggak selalu pengen nurut,  Seli keras kepala, Seli selalu punya pendapat sendiri, Seli kangen digendong Bapak, Seli sayang Bapak" Dan pecah.. Tangisanku sakit banget dihati rasanya.


Bertahun-tahun pelukan hanya sebagai syarat momen halal bihalal saat lebaran, nggak ada feelnya. Akhirnya pelukanku dibalas dengan tangan bapak yang mengelus kepala dan punggungku, sangat terasa perasaan rikuh, sakit, dan hangat lebur jadi satu. Bapak bilang, "Bapak tau.. Bapak juga sayang Seli. Bapak nangis pas tahajud malam sebelum Seli Akad nikah. Tanggungjawab Bapak diambil Yockie suamimu. Bapak merasa kehilangan. Maaf kalau Bapak banyak salah sama Seli.."


Kalimat penutup yang seakan meruntuhkan The Great Barrier Wall dalam diriku. Cukup dengan satu permintaan maaf yang mewakilkan diri jadi penyembuh segala luka yang menjadi trauma menahun. Yang menciptakan jarak antara aku dan orang tuaku, yang membuat aku tidak betah tinggal dirumah. Dan memang privilege kayak gini aku dapat dengan cara  yang nggak mudah juga. Aku bisa menyelesaikan masalah dengan orang tua ku melalui datangnya masalah kebangkrutan terbesar. Harus tetap bisa mensyukuri hal baik dalam setiap hal buruk yang terjadi. Aku percaya hikmah selalu ada.



Disini aku cuman berniat sharing pengalamanku, aku yakin banyak sekali yang juga punya pengalaman yang sama, ada yang kadarnya lebih ringan dan bahkan lebih berat dari  yang aku alami. Setiap orang juga punya jalan berbeda dalam menghadapi trauma masing-masing. Mungkin ada yang akhirnya bisa menyembuhkan traumanya dengan melakukan sesuatu dan dapet kesempatan kayak aku, mungkin juga ada yang nggak punya kesempatan untuk speak up, yang jelas.. kita nggak boleh mengecilkan apa yang orang lain hadapi. We never know what other people are dealing with and how it feels.


Yang jelas, aku sebagai seseorang yang juga pernah punya pengalaman traumatis ingin selalu merangkul semua orang yang punya pengalaman yang sama. Kalian pasti punya cara tersendiri untuk terus tumbuh dan memotong rantai trauma itu. Kalian nggak akan membiarkan rasa sakit masa lalu mempengaruhi hidup kalian dimasa depan. Kalian nggak akan meneruskan perlakuan buruk yang kalian pernah terima kepada anak-anak yang berhak punya potensi kehidupan yang lebih baik. Semoga kalian selalu menemukan diri kalian lagi dan lagi, meski harus melawan rasa trauma itu setiap hari. Jangan menyerah ya.. Janji?



Love,


Chely