Tampilkan postingan dengan label MARRIAGE. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MARRIAGE. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Juni 2021

Tentang Jodoh

Mengartikan kata jodoh sendiri itu bagiku rasanya nggak bisa terwakili dengan kata-kata. Tapi kalo diibaratkan, jodoh itu emang kayak kepingan puzzle yang melengkapi kita. Bicara melengkapi, artinya secara posisi, jodoh kita adalah yang setara dengan diri kita, punya kelebihan yang mengisi kita, juga kekurangan yang bisa kita lengkapi.

Jodoh pasti bertemu? Maybe. I don’t know. Aku selalu menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa iya, bisa tidak, bisa iya tapi akhirnya tidak, bisa tidak akhirnya iya. Semua tergantung dengan setiap langkah yang kita ambil. Setiap orang punya cerita unik yang sama sekali berbeda tentang jodohnya. Dan itu membuat arti jodoh bagi setiap orang berbeda-beda pula.

Yang jelas, orang yang bisa menjelaskan jodoh itu apa, adalah orang yang sudah saling menemukan jodohnya. Karena ketika aku belum bertemu jodohku yaitu Abang, aku punya sedikit bayangan tentang apa itu jodoh, dan ternyata sama sekali nggak seperti yang aku bayangin. It’s just like a, snap! Aku nggak tau siapa, kapan, dimana. Dan kenapa-nya terjawab dalam proses saling belajar.

I don’t even know why can I said Yes. I mean, iya pastinya aku punya alasan saat itu atas pilihanku, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar alasanku saat itu yang bikin aku dan Abang dipertemukan. God’s working on us, that’s true. Bahkan disaat aku sama sekali nggak minta dipertemukan jodoh di usiaku yang baru masuk kepala dua.

Abang dikirim Allah ke aku yang saat itu memang butuh dia untuk bisa melangkah ke step selanjutnya. Dengan kelebihan beserta kekurangannya. Rasanya kayak terlalu cepat, tapi setelah berdiri saat ini dan melihat ke belakang, aku nggak akan bisa sampai titik ini, nggak akan sebertumbuh seperti saat ini, tanpa mengambil kesempatan menikah dengan Abang saat itu.

Bertemu jodoh bukan berarti kita bakalan cocok dalam segala hal dan semua berjalan lancar. Justru, disini jawaban tentang “kenapa seorang dia” bakalan kita temukan. Setiap permasalahan yang menghadang, satu demi satu kita bisa lalui dengan cara mudah maupun sulit dengan dia. That’s why, ada kemungkinan juga sebuah pertemuan harus berpisah, dengan jalan perceraian.

Apa itu artinya kita salah mengira jodoh kita? Terserah gimana kalian menyebutnya, tapi bukan itu poin pentingnya. Jodoh bagiku bukan tentang nama spesifik yang tertulis di takdir kita. Jodoh itu tentang kita ditemukan dengan apa yang kita cari. Lucunya, seringkali kita sendiri nggak menyadari apa yang kita cari dan butuhkan. Manusiawi, ketika kita lebih sering peduli dengan keinginan.

Again, God’s hands working on us.

So, bisa jadi, sebuah perpisahan atau perceraian diakibatkan kita yang mendahulukan memenuhi keinginan dan mengesampingkan kebutuhan kita. Dan dalam perjalanan menghadapi ujian, kita baru menyadari bahwa hal-hal yang kita cari dan butuhkan selama ini nggak terpenuhi dengan seseorang yang sudah sesuai keinginan kita. See?

Kalau ada temen single yang cerita or nanyain, kapan aku ketemu jodohku? Aku cuma bisa bilang, jangan fokus dengan pertanyaan itu. Because no one knows. Aku cuman bisa kasih saran buat temuin dirimu sendiri dulu, penuhi dirimu sendiri dulu. Jangan berpatokan kebahagiaanmu belum lengkap tanpa bertemu jodoh. Jangan menggantungkan tujuanmu pada orang lain.

It’s okay untuk berdoa, minta ke Tuhan dipertemukan jodoh, bahkan dengan spesifik menyebutkan jodoh seperti apa yang diinginkan. Berdoa adalah kebutuhan kita untuk menyadari hal-hal yang kita butuhkan dan kita nggak punya kuasa untuk mewujudkan, dan kesadaran itu akan membimbing langkah kita mendekat menuju hal-hal terjadi dalam hidup kita.

Itu lebih baik dilakukan daripada kita hanya fokus dengan bertanya-tanya dan nggak sabar menunggu jawaban atas keinginan kita, padahal Allah yang paling mengerti kebutuhan kita. Trust Him. Jangan membuat diri sendiri kesulitan menjalani hidup dengan rasa syukur karena melewatkan hal-hal baik yang sudah Tuhan kasih, dan terus mengungkit hal yang belum tepat waktu untuk hadir.

Seperti yang sudah aku bocorin sebelumnya, ketika kita sudah dipertemukan jodoh nanti, kita maupun jodoh kita juga harus saling siap dengan rentetan ujian didepan yang mengikuti. Yup, it takes two to tango. Nggak bisa terus berjalan baik ketika hanya ada salah satu yang siap. Aku sendiri pun nggak tau apa yang akan terjadi didepan, apa aku bisa sama-sama dengan Abang seterusnya.

I have to be ready for whatever happens next, are you ready?

 


Selina

 

Minggu, 03 Januari 2021

Memanjakan

 



Habis bahas tentang sikap manja, kali ini bahas yang memanjakan. Gue amatin, banyak banget orang yang belum dengan sadar memanjakan secara sehat. Ujung-ujungnya ngerasa kebebanan secara emosional dan nuntut dapetin hal yang sama.

Nggak beda jauh sama pelaku manja, yang memanjakan juga nggak punya batas diri yang jelas. Makanya seringkali yang begini ini cocok satu sama lain. Dasarnya adalah tentang boundaries. Batas diri yang jelas dari tiap individunya. Berani berkata tidak, pun menerima penolakan. Nggak melulu yang manja adalah cewek dan yang manjain adalah cowok.

Faktanya, banyak juga yang sebaliknya terjadi di sekitar kita. Dan memang nggak ada kotaknya tentang perilaku manusia, cowok maupun cewek sama-sama punya potensi berperilaku apapun, menurut gue ya, jadi sila anggap ini pendapat subjektif.

Balik ke – sebut aja pemanja deh. Istilah ngawur baru bikin spontan ini. Si pemanja ini dalam satu sisi ngerasa berperan sebagai pahlawan, penyelamat, pokoknya ngerasa jadi solusi dari permasalahan si manja. “Lu kalo ga ada gue nggak bisa deh”, “Lu nggak bisa nanggung masalah lu sendirian, biar gue aja yang nanggung”. Sebuah peran berasaskan tanggungjawab semu. Nggak gitu konsepnya.

Hubungan yang sehat adalah saling dukung dan nemenin disetiap saat, bukan yang saling lempar tanggungjawab atas masalah masing-masing. Misalnya lo punya masalah, lo pasti dihadapkan pada pilihan tentang jawaban dari masalah itu. Entah lo bisa dapetin solusi biar masalah selesai, atau lo siap nanggung resikonya karena nggak punya solusi yang bisa nyelesaiin.

Bukannya malah orang lain (bisa pasangan atau orang tua, dsb) yang ambil alih masalah lo, mulai dari mikirin alternatif jalan, ambil keputusan, sampe nanggung resiko. Sedangkan lo nya nggak mau tahu masalah itu. Apa iya bisa di bilang sehat hubungan yang kayak gitu?

Yakin orang lain selain diri lo itu nggak ngerasa kebebanan secara emosional, atau bakalan nuntut sesuatu dibelakang nanti? Ntar kalo si pemanja lagi ada masalah juga, yakin nggak ungkit-ungkit bantuannya biar lo ikut nanggung masalah si pemanja? Peran si manja dan si pemanja, si lemah dan si kuat, si korban dan si penyelamat ini nggak akan bisa seimbang, selalu timpang iya.

Kenapa bisa gitu? Padahal bisa aja kan sepakat saling gantian aja. Ya karena ukuran peran dari suatu masalah itu nggak bisa ditakar secara pasti. Nggak ada nilai pasti dari suatu tanggungjawab atas masalah orang lain yang kalian ambil alih. Bingung?

Misalnya gue mutusin buat nggak nerusin S1 karena saat itu lagi riweuh bikin laporan OJT buat kompre D1 gue ditambah persiapan pernikahan. Ini contoh nyata yang gue alamin. Saat itu gue move on nya lama banget dari masalah ini. Gue sadar tanpa ada paksaan mutusin ini, gue ngerasa saat itu keputusan yang gue ambil emang terbaik.

Di saat awal pernikahan yang mulai berasa lika-likunya, dalam hati selalu ada bisikan “gue udah mutusin nggak nerusin S1 padahal udah bayar uang masuk segala macem bahkan dapet seragam, demi fokus buat menikah sama lo”. Pas lagi kecewa, atau ada perselisihan yang wajar terjadi dalam rumah tangga, selalu keinget keputusan itu, ada rasa hampir aja nyesel disaat lagi emosional banget.

Padahal itu sama sekali bukan salah suami gue, dia nggak pernah nyuruh atau maksain apapun keputusan saat itu, dan gue sadari itu. Milih buat nunda S1 -- Ini masalah gue, sedangkan perselisihan rumah tangga – ini beda lagi, ini masalah kami berdua yang harus saling kompromi buat cari solusi yang terbaik buat bersama.

Intinya, suami gue nggak layak buat merasa kebebanan secara emosional karena S1 gue ketunda sampe saat ini. Ini masalah yang ada dalam kontrol gue sepenuhnya. Toh suami gue nggak pernah menghalangi keinginan nerusin S1 gue, sampe saat ini pun mendukung meski belum ada kesempatannya lagi, dan seiring berjalannya waktu saat ini gue udah legowo tentang masalah itu.

Akan jadi nggak sehat ketika gue nuntut suami bertanggungjawab untuk nurutin mau gue karena ‘pengorbanan’ yang udah gue lakuin buat menikah – sama dia. Mungkin aja gue bisa jadiin itu senjata buat kasih dia tekanan buat selalu membahagiakan, nggak ngecewain, nurutin semua mau gue karena ‘pengorbanan’ itu. Dan mungkin juga dia bakalan nerima tanggungjawab itu.

Tapi apa itu bisa dibilang seimbang? Apa suami gue nggak ngerasa tertekan dan timpang karena gue selalu ngungkit tentang pengorbanan yang gue lakuin disaat kita lagi ada perselisihan, bukannya saling kompromi. Gue bisa aja selalu jadi menang, tapi itu kemenangan kosong. Gue kayak lagi taruhan dan punya kartu bagus. Tapi perasaan menang itu sangat dangkal.

Lama-lama yang ada hubungan jadi terasa hampa karena nggak pernah ada perasaan yang mendalam atas sikap ‘saling’ yang sehat, sikap yang ‘take and give’. Karena yang ada hanya saling tuntut dan saling hitung peran sendiri. Batasan atas diri masing-masing nggak jelas. Apa ini bikin hubungan toksik? Silahkan dijawab sendiri. Bye.


Selina

 

 

Sabtu, 02 Januari 2021

Manja



Pas denger kata manja, apa yang terdefinisikan di kepala kalian? Gelendotan? Disuapin? Atau yang agak serius – menyerahkan urusan kita untuk dikerjakan orang lain. Apa kalian yakin bukan orang yang manja? Atau malah kalian nggak sadar kalau termasuk orang yang manja?

Manja, kalo mengutip kata Raditya Dika dari salah satu video Youtubenya yaitu memanipulasi emosi seseorang agar bertanggungjawab atas masalah kita. Klik. On point banget menurutku pribadi. Contohnya gimana tuh?

Misalnya pas adek lo ngerengek minta anterin ke warnet buat ngerjain tugas, padahal ada motor nganggur dan dia udah bisa naik motor – ini manja. Beda dengan, diluar ujan, terus lo khawatir adek lo bawa motor masih ga bener. Pas dia mau berangkat lu nawarin diri nganterin – ini bukan manja. Ini inisiatif dan kerelaan lo buat bantuin adek. Ga ada beban emosional pas ngelakuinnya.

Contoh lagi, misalnya lo pasangan menikah. Pas weekend suami lo pengen ketemu temen-temen lamanya, dia bilang mau nobar sama temen-temen cowok. Lo dalam hati pengen ngabisin waktu sama dia. Bukannya ungkapin dan obrolin biar bagi waktunya sama-sama enak, lu ngasih syarat boleh ikut atau suami lo ga boleh berangkat nobar – ini manja.

Kecuali suami lo emang suka ngajakin lo buat ikut kemana-mana karena mungkin aja temen-temennya juga ngajakin pasangannya, jadi suami lo nggak ada beban pas asik nonton bola atau kumpul sama temen-temennya dan nganggurin lo disana – ini bukan manja.

Satu contoh lagi biar manteb. Misalnya lo pengen beli smartphone baru, karena ga punya duit buat beli cash lo kredit deh. Terus sehari sebelum deadline bayar cicilan lo pengen beli tas yang seharga cicilan pertama smartpone tadi.

Lo milih nurutin beli tas yang lo pengen, terus bilang ke suami, “yang tolong bayarin cicilan hapeku ya besok. Soalnya budget nyicilnya aku beliin tas yang lagi diskon, kan belum tentu besok-besok ada lagi diskonnya”.

Padahal lo udah dikasih budget buat kebutuhan bulanan. Sehinga bikin suami lo jadi ngorbanin uang lebih, atau waktu buat overtime biar dapet lemburan, atau tabungan dia yang sebenernya juga lagi pengen beli sesuatu. Intinya suami lo jadi harus bertanggungjawab deh sama keputusan yang lo ambil sendiri.

Beda lagi kalo suami lo orang yang merdeka finansial tujuh turunan, meski lo suka ngasi serangan dadakan gitu bisa tanpa beban aja nge-iyain, bayarin, tanpa beban emosional sama sekali. Bisa mulai keliatan nggak definisi manja tadi?

Jadi, orang mandiri – tidak manja, bukan berarti orang yang semua-muanya dikerjain sendiri tanpa campur tangan bantuan orang lain. Tapi lebih seperti, orang yang bisa mengantisipasi dan bertanggunjawab untuk menyelesaikan ataupun menanggung resiko atas segala keputusan dan permasalaannya – terlepas ada orang yang berinisiatif menawarkan bantuan dengan suka rela.

Kuncinya di kata manipulasi tadi sih. Ada juga kasus hubungan toksik yang secara emosional melakukan manipulasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan dasar egonya. Belum tentu orang manja itu secara langsung menyampaikan sebuah ‘permintaan’ kepada korbannya. Cie korban.

Ada yang juga menggunakan teknik pasif-agresif biar korbannya tertekan dan mengabulkan keinginan terselubung yang disiratkan secara emosional.  Misalnya, lo lagi pergi ke salon disuatu mall sendirian pas suami lagi kerja. Terus dompet lo ketinggalan dan baru sadar pas baru nyampe salon. Lo telepon suami bilang dompet ketinggal dirumah padahal lo tau suami lagi kerja.

Bukannya sadar itu kesalahan lo sendiri dan peduli kalo suami lo harusnya profesional, terus balik pulang ambil dompet atau ke salon lain waktu aja, lo malah bilang “yaudah gapapa,  aku telepon ‘sebut nama mantan’ aja, kan dia kerja jadi kepala toko di supermarket sini”. Yang pastinya bikin suami lo dipertaruhin harga dirinya dan ngerasa nggak ada pilihan selain nurutin mau lo.

Silahkan tersinggung. Itu proses yang bagus sekali buat diri lo sadar. Gue bahas gini bukan karena gue ngerasa lebih mandiri dari siapa. Tapi karena dulu gue pernah juga kok ternyata nggak sadar diri kalo lagi annoying banget manjanya. Dan sekarang sudah berlalu. Gimana bisa berubah kalo nggak sadar dulu kan?

Jadi poinnya disini buat biar pada nanya aja sama dirinya sendiri, “gue annoying nggak sih?”, “Oh ternyata meski secara finansial gue mandiri, ternyata ada sikap-sikap manja yang toksik banget yah.” Dan seterusnya. Kalo ada yang ngerasa korban lo dengan senang hati aja ngadepin kemanjaan lo, ya syukur deh kalian cocok.

Ada dari kalian yang merasa jadi korban manja? Alias yang memanjakan orang? Ngerasa kebebanan secara emosional? Ini beda bahasan lagi, tapi relevan banget sama topik ini. Ternyata kalian – yang memanjakan, juga turut andil dalam kegiatan toksik ini. Lebih mengacu ke bahasan tentang batasan diri. Next semoga ketemu lagi. See ya!

 

Selina


Senin, 30 November 2020

Melihat Rumput Tetangga

 


Mau punya pasangan sabar, cantik, pinter, jago masak, sholehah, rajin beberes rumah, bisa nyari duit juga? Sebaliknya juga buat yang perempuan, pengen punya pasangan yang ganteng kayak oppa-oppa, sixpack, lemah lembut, sabar, pengertian, jago berantem, mau bantu kerjaan rumah, pinter jaga anak?

Woi! turun.. jangan ketinggian. Ntar jatuh, sakit.

Jodoh itu bagiku kayak kepingan puzzle yang pas di kita. Tau kan bentuk kepingan puzzle? Pecitat-pecitut sana sini, ketemu kepingan pecitat-pecitut lainnya, eh lha kok ya bisa jadi utuh ya? Bukan rahasia ilahi. Dari pengalamanku sendiri, ternyata bisa kita nalar pake otak kok.

Ndak kaget saya mah liat orang sabar jodohnya sama yang emosian. Yang teges sama yang letoy. Yang mandiri sama yang manja. Yang cakep sama yang ehem.. yang biasa-biasa kek kita-kita inilah.

Ya karena secara scientific kutub magnet itu saling tarik menarik kalo berlawanan. Wis dari sononya diciptakeun begindang. Positif sama negatif itu berlawanan, tapi ya nempel tuh. Coba kalo positif sama positif atau negatif sama negatif. Mau ditempelin juga akhirnya terpisah. *KUMENANGIS... membayangkan...*

Yak. Jadi sampe mana tadi?

Iya gitu.. boleh sih, manusiawi lah pengen yang terbaik buat jadi pendamping hidup. Tapi disini gue cuman ngingetin aja, jangan halu atuhlah.. realistis aja. Liat kenyataan yang terpampang nyata disekitar kita. Yang paling penting itu kita tahu siapa diri kita, apa tujuan kita, apa hak dan kewajiban kita, gimana cara penerapannya di kehidupan kita yang makhluk sosial ini. Dah. Simple. *ditabok netizen*

Saya nih misalnya.. (mohon izin ngebahas diri gue nih) Orang yang menjaga kestabilan. Ketemunya sama orang yang detik ini merah detik berikutnya kuning. Kontras bat woi.. pink dulu kek. Ya.. emang gitu kenyataannya. Kenapa bisa? Karena rumus tadi, yang positif negatif tadi itu loh. Dan karena manusia itu kompleks juga yah. Punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Unik.

Selain gue dan pasangan saling melengkapi di plus minus masing-masing, kondisi atau keadaan juga seringkali jadi penyeimbang. Misal ada masanya kita butuh keputusan spontan di saat genting, aku yang stabil ini kudu mikir sepanjang jalan kenangan, plan A plan B sampe plan Z, gimana biar ga gimana biar ga gimana biar ga gimana. Pasangan gue enak aja mutusin hal kaga pake mikir atau cuman mikirin sesuai kondisi detik ini.

Ndilalah, it works. Pernah ngalamin kayak gitu? Pasti pernah.. ta kasih contoh lainnya wis..

Aku lagi aja contohnya, aku ndak suka ngerasani (baca: membuat orang tidak suka saat merasa dibicarakan) soalnya wahaha.

Aku bukan orang yang gampang emosional, runut sama yang sebelumnya aku orangnya stabil ya. Mau marah juga mikir dulu sampe bener-bener ngerasa proporsional marahnya. Dapet pasangan yang sumbu pendek. Kalo dipikir secara eksplisit, harusnya kita emang nggak boleh emosional kan dalam hal apapun. Harusnya aku yang bener gitu lah in other words.

Tapi ternyata pasangan yang ngamukan itu juga bermanfaat lho, sometimes. Aku jadi kayak dapet pelindung dari orang-orang yang mau bersikap tidak baik terus inget bojoku ngamukan. Jadi lebih segan gitu, ya to? Kamu wedine karo bojoku tok kok emang..

Dulu wajar aku mesti ngerasa, "kok aku tok yang sabar, kok aku tok yang ngalah, kok selalu aku yang berperan mendinginkan suasana, blabla..", Sekarang udah lebih ngenal diri sendiri. Nerima diri sendiri, Jadi bisa lebih ngenalin orang lain juga. Nerima orang lain juga. Pasanganku dalam hal ini.

Jadi ya sudah sadar, ya emang kalo dibanding pasangan aku orangnya lebih sabar, jadi wajar kalo aku yang ngalah duluan, yang mendinginkan suasana pas lagi panas, yang berusaha (((MENJEMBRENG))) permasalahan karena aku yang lebih bisa jernih duluan pikirannya. 

Toh aku mau ngikutin marah-marah juga selalu jadinya nyesel di akhir. Nyesel kok marah-marahku nggak proporsional gitu. Masalahnya seupil marahnya segentong. Bayangin kan harusnya upilnya segentong dulu baru aku boleh marah segentong biar sesuai porsi. #jangandibayangin

Masalah itu pasti kecil kok kalo udah di kupas-kupasin. Makanya sebelum marah-marah, coba deh sama-sama diskusiin, mengupas masalah secara tajam, setajam...

*yok kita sebut bareng*

*buat yang ngerti-ngerti aja*

Jadi nggak ada tuh kata-kata menyakitkan yang seharusnya nggak perlu diucapin atau nggak nyambung sama permasalahan keluar sia-sia dari mulut. Dan terbukti memang, pasangan bisa lebih ngikutin akhirnya.

Tiap manusia yang waras punya hati nurani yang selalu jadi pengingat kok sebenernya, mana yang baik dan enggak. Cuman seringkali emosi itu bikin salah dan benar jadi keliatan kabur. Orang marah tu karena ngerasa "gue bener elu salah", atau "eh iya kok elu bener gue yang salah doh malu lah minta maap pokoknya elu aja minta maap".

Jadi antara belum paham masalah, emosi dan ego campur jadi trio kwek-kwek. Makanya kalo marah kebanyakan kan begitu yang keluar dari mulutnya, wekewekewekewek.

Terus apa lagi ya.. hehehe

Ya pada akhirnya perlu nerima kenyataan kalo Tuhan itu Maha Adil. Ada orang yang ketika ngeliat pasangan lain kok kayak,”jangan-jangan kita jodoh yang tertukar”, “harusnya dia yang bisa sesuai kebutuhanku”, “beruntungnya dia dapet pendamping kayak gitu”, karena ternyata ngerasa banyak kecocokan dengan yang bukan menjadi takdir kita.

Ya emang ada kok diluar sana yang sesuai dengan mau kita, yang mungkin juga sebenernya mau sama kita, kutub positif itu bisa kok ketemu kutub positif, kutub negatif juga bisa ketemu kutub negatif. Ketemu doang tapi, ndak jadi jodohnya. Auh..

Ya karena itu tadi, Gusti Maha Adil. Udah mutlak jadi sifat Allah. Bayangin nih.. orang ganteng ketemu orang cantik, sama-sama sabar, sama-sama pinter, sama-sama rajin, sama-sama berakhlak dan punya habit baik. Apa nggak jadi sasaran pembunuhan itu? Hehehe

Kalo ada pasangan-pasangan yang terlihat sempurna tanpa cela, itu ya karena mereka kerjasamanya baik dalam berkonspirasi dan kontrasepsi. *halah*

Kalo ada pasangan yang pernah bersama terus cerai dan tetap berhubungan baik, ya karena mereka masa kerjasamanya habis aja. Jadi kerja sendiri-sendiri dan bahagia masing-masing.

Kalo ada pasangan yang cekcok sampe kakek nenek kaga ada akurnya? Ya mereka lagi berpolitik aja dengan kesepakatan genjatan senjata. Belum dan tidak siap menghadapi risiko lain. Jadi milih risiko yang udah terlanjur aja dah.

Kalo ada pasangan yang pernah bersama terus cerai masih aja cekcok? Mungkin salah satu atau keduanya sakit mental menahun yang diturunkan dari pasangan kakek nenek kaga ada akurnya dan berpolitik dengan kesepakatan genjatan senjata tadi. Beb, sadari kamu sedang sakit. Karena lahir dari dan dibesarkan oleh orang tua yang nggak bahagia.

Yuk sembuh.

Lagi nggak bikin postingan bermanfaat nih. Cuman lagi jalan-jalan aja ini liatin rumput tetangga yang macem-macem. Sekian. Bubye.


Love,

 

Chely

Sabtu, 18 Juli 2020

APA YANG MEMBUATKU JATUH CINTA?





Ngomongin cinta yuk? Hahaha. Gegara ikutan give away buku di instagram nih mood cinta-cintaannya jadi mode ON. Jadi give away nya tuh disuruh jawab pertanyaan, apa sih yang bikin kamu bisa jatuh hati?
*auto kdrama backsound*


Aku nggak baca komentar lain sebelumnya, langsung ngetik aja jawabanku apa, nggak panjang-panjang amat, tapi cukup merangkum semuanya. Terus klik enter deh.



Habis itu baru aku baca-baca komentar lain, ternyata yang lain pada nyebutin kualitas-kualitas dalam diri seseorang yang bikin jatuh cinta. Terus aku langsung mikir, Tuhan.. mengapa aku berbeda? LOL. Sempet mikir ulang, apa jawabanku salah ya, pertanyaannya kan apa yang bikin aku jatuh cinta sama seseorang, ya kan aku tinggal menggali perasaan aja toh pengalamanku seperti apa.


Nggak salah kok ternyata ya.. tiap orang punya pandangan dan pengalaman berbeda dan emang aku jatuh cinta bukan hanya karena melihat sisi kualitas seseorang aja. Karena ya setiap orang pasti punya kan? Cuman aku ngejawabnya dengan perspektif berbeda aja. Mereka yang nyebutin kualitas-kualitas seseorang yang bikin jatuh cinta juga nggak salah, bener juga. Jadi sudahlah mari kita salaman meski nggak lagi lebaran.


Poinnya, bukan berarti orang yang pernah bikin aku bisa menjatuhkan hati nggak punya kualitas yang mampu menarik aku, karena pasti semua orang, like EVERYBODY, has their own qualities. Begitu juga sebaliknya.. Everybody has flaws too.


Karena kalo flash back dan menarik sejarah, aku tuh nggak berawal dari perasaan jatuh cinta sama Yoki. Love at first sight.. apa itu? dipepet 2 tahun dengan berkali-kali nembak baru aku nerima cintanya setelah aku mutusin buat “oke, let’s do this TOGETHER”. Malah dia yang love at first sight katanya liat aku dikantor pertama kalinya. (FYI, kita dulu temen sekantor jaman kerja di hotel).


Sebelum sama Yoki akutu disakiti sama mantanku, chely yang polos dan naif dalam bercinta dibikin gamau pacaran lagi. Kapok. Nggak perlu diceritain detailnya, klasik. Sempet stress dan gemukan karena larinya ke makan donat 2 biji tiap setelah makan nasi pas break kerja. Perutku doang sih jadi buncitan banget sm pipi membulat, badan tetep gini-gini aja hehe.


Sempet ada beberapa yang PDKT meski aku udah bilang nggak pengen pacaran dulu. Ya si Yoki inilah yang ngeyel banget dan selalu bilang, “kalo gamau pacaran ya ayok nikah!”. Dulu ngakak-ngakak aja digituin, usia kami kan selisih 11 tahun. Jadi dalam hati kayak, “nih om-om ngocol banget dah” LOL.


Tapi pepatah jawa tresno jalaran soko kulino itu bener juga. Dari yang ngga suka sampe nggak mau kalo diajak jalan berduaan, mesti ngajak temen lain, sampe akhirnya mau kasih kesempatan buka hati dan pelan-pelan aku ngeliat potensi dari dalam diri Yoki ini. Jadi secara perasaan sebenernya prosesnya kayak ta’aruf, tapi ya nggak bisa disebut gitu juga. Karena prosesnya kan diawali dengan aku mau coba mengenali dia lebih dalam. Nggak ada rasa suka ato cinta diawal. Dan aku orang yang commit sama keputusanku. Sekali aku mau jalan, aku serius.


Dari dulu nggak punya sosok tipe pria idaman yang spesifik. Ya ada naksir-naksiran tapi jarang yang beneran jadi malahan sama yang aku taksir duluan, kebanyakan ya prosesnya ditembak-jadian aja. Umumnya remaja, sampe yang aku ngerasa paling serius sama yang terakhir sebelum Yoki dan disakitin. Tapi ngeliat Yoki ini emang kayak nggak banget lah saat itu wkwk. Nggak pernah terpikir sama sekali pokoknya kita mau jadi lebih dari temen.


Kayak ada feeling, why me bruh?
Kenapa sih nih om-om bisa gigih mau seriusin gue anak yang saat itu masih bau kencur? Jadi kami kenal pas aku masih sweet seventeen, buka hati buat dia pas umur 19, lamaran umur 21, nikah umur 22, dan Zac lahir diumurku yang ke 23 tahun. Umur abang ya tinggal ditambah 11 tahun dari umurku aja.


Cinta itu bisa ditumbuhkan. Kayak bibit yang disiram setiap hari, dipupuk, dikasi desinfektan biar ga ada hama, harus dirawat sebaik mungkin. Makanya, kalo dipikir lagi, dari awal aku nggak ada proses jatuh hati sama Yoki, tapi sekarang udah tahun ke-5 pernikahan kami. Ya karena aku mau merawat cinta itu, Yoki juga. Jadi jatuh cinta buatku bukan hanya awalan untuk sebuah hubungan aja.


Setiap hari aku harus jatuh hati kepada orang yang sama, setiap hari aku harus menjaga gimana biar cinta ini tumbuh dengan baik, dan nggak setiap hari hubungan ini baik-baik aja. Karena itulah aku punya perspektif lain untuk menilai apa yang bikin aku jatuh hati. Bukan hanya mencintai kualitas dalam dirinya, tapi juga mencintai sisi gelap yang cuman bisa ditunjukin ke aku, dan sisi terbaik yang bisa dicapai karena ada aku disisinya.



Love,

Chely

Selasa, 30 Juni 2020

5TH YEARS MARRIAGE



Bulan Agustus nanti pernikahanku berusia 5 tahun. Aku nggak pengen bilang “nggak berasa ya..”, karena semua prosesnya terasa buatku. Proses tahun pertama, kedua, dan seterusnya pernah aku tulis singkat sebelumnya.


Meski tahun ini baru berjalan setengahnya, rumah tangga kami banyak disibukkan dengan hal-hal yang cukup berat. Bukan tidak bersyukur, tapi aku rasa setiap orang juga mengalami hal-hal buruk dengan pasangan jika mau jujur, pernikahan nggak hanya diisi dengan hal-hal manis imajinasi dari manten anyar. aku anggap saja begitu untuk selalu eling kalo diatas langit masih ada langit, sebaliknya juga banyak yang lebih menderita dari diri kita. Tentu saja dengan begitu aku bisa lebih mengingat lebih banyak hal-hal yang bisa disyukuri.


Itu pula yang awalnya membuat masing-masing sibuk dengan diri sendiri dan tidak menyadari jarak yang semakin menjauhkan kami. Aku menyadari, beberapa kali mencoba untuk mengkomunikasikan, tidak selalu mulus. Tapi bukan Chely jika membiarkan berlarut-larut hal yang aku tau akan menjadi buruk, jadi aku coba terus buat ngobrolin sama Yoki dibeberapa kesempatan. I always try to fix every lil things.


Terakhir semalam, kami terpancing karena hal kecil. Hal sepele. Begitulah sebuah rumah tangga, penuh dengan hal-hal kecil yang bermasalah. Aku tau jalan pikiran YK, aku tau bagaimana cara menggiring agar dia mengerti inti permasalahan, aku tau cara mengajaknya berkompromi tentang solusi. Aku tau. YK pun sebenernya tau apa yang terbaik, tau apa yang harus diprioritaskan, tau apa yang aku maksud, dia tau.


Yang aku sudah tau dan selalu saja tak bisa tahan adalah saat dia menginterupsi setiap aku bicara, saat dia mendebatku dengan kata tanpa data hanya untuk memenangkan pembenaran, saat dia melakukan itu semua dengan bahasa tubuh “aku sedang tidak mencintaimu”. Hal-hal itu yang membuatku merasa berjalan sendirian.


Sedangkan aku, disaat seburuk apapun, berusaha berkata dengan bahasa dan sikap terbaik, berusaha melihat dirinya dengan pandangan terbaik, berusaha mengontrol intonasi suara, berusaha selalu mengingat bahwa dia orang yang membuatku mau bilang “Yes I do”. 


Sampai di titik terlelahku mengartikan dan mengertikan YK, aku hanya diam dan memandanginya. Kebetulan semalem aku juga lagi nggak fit. Seluruh badanku sakit, dan beberapa hari kurang tidur. Aku nggak ada tenaga lebih untuk berperan lebih dari perasaanku yang sebenernya. Jadi aku cuma bisa nangis. Dia terdiam.


Beberapa saat kemudian setelah lega, aku diam memandangi wajahnya. Menunggu cukup lama karena tidak ingin mendominasi. Dia minta maaf. Aku bilang nggak perlu minta maaf ketika kamu tidak merasa bersalah. Karena memang aku butuh diskusi yang membuat kami bisa benar-benar memahami keadaan dan saling berkompromi. Bukan minta maaf hanya untuk men-skip permasalahan. Lalu YK mengakui, cara dia menanggapi komunikasi kurang baik. Oke. Itu cukup untuk saat ini. Menyadari dan mengakui apa yang salah dari diri itu butuh keberanian, dan aku hargai itu.


Tapi aku menarik garis sejarah kami. Iya memang awal kenal YK dulu dia orang yang kurang bisa berkomunikasi dengan baik, iya dulu dia orang yang sangat keras kepala dan cenderung angkuh. Tapi aku sadar, YK sadar, kami sadar, aku bisa melengkapinya disitu. Aku bisa membuatnya menyadari kekurangannya, aku bisa membantunya dalam menganalisa sebuah masalah dengan pikiran yang lebih terbuka. Sebaliknya YK juga punya kelebihan dalam hal mendengar dan berempati, dia membuatku merasa benar-benar didengarkan dan dimengerti disaat aku masih seseorang yang sangat tertutup dan terlalu keras dengan diriku sendiri.


Aku bisa memproyeksikan masa depan, seharusnya YK bisa jadi orang yang lebih bisa berkomunikasi dengan cara yang baik. Seharusnya aku bisa nggak merasa sendirian lagi menghadapi hal-hal.  Kami bisa saling bertumbuh seiring berjalannya waktu. And here we are, aku sudah semakin menjadi orang yang terbuka dari sebelumnya, YK yang aku yakin juga sekarang lebih bisa berkomunikasi dengan baik ke siapapun. Harusnya hal seperti semalam tidak harus terjadi lagi.


Selamanya terlalu lama untuk tidak kita perbaiki mulai dari hal-hal kecil. I mean, pernikahan itu adalah komitmen untuk bisa menjalani hidup bersama selama-lamanya bukan? Di tahun ke-5 ini aku belajar sesuatu, bahwa komunikasi yang sudah saling kita pelajari dengan baik dengan pasangan bisa memburuk karena suatu kelengahan. Kelengahan bisa terjadi ketika kita menganggap enteng suatu hal, yang dalam hal ini adalah pasangan kita.

Baca : Perdebatan Rumah Tangga


Biasanya ini terjadi setelah tahun-tahun awal terlewati. Ketika kita sudah merasa pasangan kita mengerti kita. Aku orang yang membebaskan pasanganku. Aku suka melihat seseorang yang aku cintai menjadi dirinya sendiri. Sebebas-bebasnya. Dalam artian dia bisa nyaman dengan dirinya sendiri, disaat aku disisinya atau pun tidak. Aku ingin menanamkan sebuah “keintiman” hubungan dengan rasa TRUST yang besar. Saling percaya dan tau peran masing-masing.


Karena dengan menikah, kita harus punya tujuan yang sama. Dan karena kita sudah saling tau tujuan kita sama, aku bebaskan dia menjaga trust itu dengan caranya. Begitu juga denganku. Karena pasti banyak perbedaan cara, pandangan, dan prinsip. Tapi selama kita punya tujuan yang sama, kita pasti selalu berusaha menyatukan jalan agar bisa tercapai.


Meski detik ini masih terasa terjal dan melelahkan, masih terlihat buram, aku yakin akan datang momentum untuk kita bangkit lagi. Dan setelah momen kebangkitan itu datang, semua akan terlihat lebih jelas lagi, semua akan membaik. Karena memang begitulah perputaran hidup. Jadi jalani saja saat ini, hadapi saja yang terjadi. Selesaikan menit demi menit peran kita. And then do the next right thing.


Kerjakan saja tugas kita sebagai apa saat ini, seorang ibu, seorang istri, seorang anak dan menantu, seorang pekerja, seorang sahabat, seorang yang dapat bermanfaat untuk seorang lain. Aku tau saat ini terasa berat, tapi aku juga yakin ini akan terlewati. Bertahanlah.. karena bisa saja harapan orang lain bisa hidup kembali hanya dengan melihatmu bertahan.



"Love doesn't consist of gazing at each other. It consists in looking together in the same direction."
Antoine de Saint-Exupery 

Love,

Chely



Kamis, 18 Juni 2020

PRIORITY IS A BULLSHIT



Denger kata prioritas apa yang terbesit dibenak kalian? Diutamakan? Tapi semudah itu sebuah kata “utama” turun tahta menjadi “kedua”. Ada nggak yang pernah ngerasain percaya diri ketika dibilang jadi prioritas, The One and Only, ceunahna! Tapi kenyataannya nggak selalu seperti itu ya? Upsie.


Well, yeah. Kata prioritas ketika berdiri sendiri memang artinya hal yang diutamakan. Tapi ketika diselipkan menjadi kata sifat, sangat bergantung dengan subjek dan keterangan waktunya. Jadi ketika kita bangga menjadi prioritas seseorang, don’t take it for granted. Sedetik kemudian kita bisa jadi yang kedua bahkan terakhir. Gampangnya, priority is bullshit.


Kalo mau denger penjelasan ribetnya sini, duduk dulu. Aku kasih contoh ya. Misal nih, kita pasti ingin selalu jadi prioritas pasangan. Ingin selalu di nomorsatukan. Hal yang wajar, aku sendiri pun juga. Rasanya nggak dapet kabar sehari aja kayak jadi di nomorduakan sama kesibukan, nggak sih?


Coba sini aku kasih liat lagi sebelum telunjuknya mengarah ke para suami, itu, jari tengah, manis dan kelingkingnya kemana? Iya ke kita sendiri. Aku sebagai ibu yang bekerja, kalo ditanya apa prioritasku sebagai seorang ibu, YA ANAK LAH. Pake ngegas pun. Terus kalo kerja anaknya gimana, ma? Dititipin neneknya/daycare. Ehehehe. How bullshit are we?


Jangan sedih, ibu rumah tangga yang 24/7 sama anaknya terus. Kalian kalo bapaknya anak-anak dateng langsung scrolling media sosial, nonton drakor, nyalon, sama aja kali. Me time menjadi prioritas demi kewarasan diri. Dan itu nggak dosa bun. Kita bukan lah godhong sawi. Kita manusiawi.


Nah, sampe sini ada yang benar? Ya tentu benar. Masih kurang contohnya? Misal Lee Tae Oh, bilang ke Da Kyung kalo dia dan lil Jenny adalah prioritasnya saat ini. Wuhuu mamam lah tu. Setelah bercerai pun Tae Oh nggak bisa lepas dari Ji Sun Woo alih-alih karena hak asuh anak, ternyata belum move on juga. Ini udah pada nonton The World of The Married kan? Yang belum, ya udah ga mudeng paragraf ini. Skip boleh. Ehehe


Jadi harus gimana menghadapi balada prioritas ini, jenderal? Jadi gini..
*benerin kacamata*
Let's talk about the clarity of priority it self. Ini soal mindset kita tentang prioritas sih yang perlu diperluas. Ya memang harus mundur beberapa langkah dari objek prioritasnya biar bisa liat sudut pandang yang lebih luas buat menyikapinya. Jadi mulai dari lihat diri sendiri dulu. Karena kadang kan kita menuntut untuk jadi prioritas seseorang yang kita sendiri prioritaskan, bukan? Kita proyeksikan dulu, gimana wujud nyata prioritas yang kita labelkan ke suatu hal/seseorang.


Misal ke pasangan, apakah dalam keadaan apapun kita akan mengutamakan pasangan? Kalo ada selisih paham dengan orang tua, dengan relasi kerja, atau mantan bahkan, kita akan selalu mendahulukan kepentingan pasangan kita? Mikir kan lo.. lihat-lihat dulu masalahnya apa itu udah satu hal, belum hal-hal yang lain, tapi yang pasti.. ketika kita mencintai pasangan, pasti kita akan memikirkan dan memberikan yang terbaik buat dia, bukan?


Sedangkan proses mengurai masalah, menentukan sikap, mengambil langkah, nggak selalu selaras dengan apa yang kita prioritaskan. Entah itu kita harus menenangkan orang tua dulu, atau menyelesaikan secara profesional dengan rekan kerja dulu, bahkan meminta maaf dulu atas sikap cemburu buta pasangan kita ke mantan? Hmmm.. Interesting.


Sebaliknya kita juga harus bisa mengerti bahwa kita juga tidak selalu bisa menjadi prioritas pasangan, yang kita perlu tahu dan yakini, kita adalah orang yang penting baginya, dan percayakan saja ia akan mengambil sikap as the best as they can do and give for us. Simple? Oh tidak juga. Sering membuat hati mencelos pun. Tapi memang seperti itu kenyataannya. Come on, jangan double standard. Kalo kita ternyata nggak melulu menjaga hal/seseorang dalam prioritas utama, ya jangan terlalu keras menuntut itu.



Satu hal yang bisa kita prioritaskan adalah paham akan diri sendiri. Berbeda dengan egois. Karena dengan mengerti kemauan sendiri kita bisa mengambil sikap yang tepat untuk orang lain. Dengan percaya posisi kita bagi seseorang, kita bisa lebih sadar bahwa seseorang itu bakal ambil sikap yang sesuai dengan apa yang kita percayakan kok. Meski nggak harus sak deg sak nyet. Toh keinginan kita nggak harus terkabul di detik pertama kok, let the force be with you. Nomorduakan ekspektasi tentang prioritas itu sendiri, utamakan memahami diri dan keadaan.


Contoh lagi ini biar mudeng, misalnya aku pengen dirawat abang pas lagi sakit berat, barengan ketika abang harus meeting penting dengan orang jauh-jauh dari luar kota. Nggak bisa ditunda. Kalo aku prioritas HARUSNYA abang milih ngerawat aku daripada kerjaannya. Tapi ternyata kerjaan ini nggak bisa ditunda.


Coba turunin dikit aja deh ekspektasi tentang prioritas : aku sedang sakit dan butuh dirawat. Jadi solusinya, minimal harus ada yang gantiin abang buat ngerawat aku. Abang yang coba cariin deh biar lebih keliatan effort nya, habis itu setelah meeting abang pulang ninggalin kerjaan yang bisa ditunda. Bawain obat atau apapun keperluanku buat ikhtiar sehat. See? Lebih enak dibaca kan daripada harus keluar kata-kata “kamu tuh ga pengertian banget sih, aku sakit setahun sekali aja kamu nggak bisa nemenin!” uh oh.. backsound : “Ku menangiiiss membayangkan.. betapa kejamnya dirimu atas diriku~”


That’s all. Udah cukup panjang aja tulisannya meski waktunya singkat. Aku tutup pake quotes yang baru aku bikin sendiri deh. buhbye!



The way to remain the top priority is not to prioritize the priority itself.


Love,


Chely



Kamis, 11 Juni 2020

DOUBLE STANDARD



Setiap orang punya prinsip yang berbeda-beda, dan itu wajar banget yah.. Karena prinsip terbentuk seiring dengan seorang itu tumbuh dan mengalami berbagai macam proses hidup yang berbeda pula. Ini juga yang membuat setiap orang itu unik. Nggak ada yang identik rasanya kalau soal prinsip.

Masalah prinsip ini lah yang mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain. Entah orang tua, pasangan, temen, bos, siapapun itu. Mungkin kalo anak-anak belum punya prinsip yang kuat, belum ngeh juga pastinya, justru kita sebagai orang tua berpengaruh banget dalam pembentukan prinsip anak melalui pola asuh yang kita terapin selama ini. Aku aja baru yang bener-bener ngeh punya prinsip sendiri rasanya sejak lulus SMK deh. Karena  dulu jaman masih sekolah meski udah cukup mandiri tapi tetep aja beberapa keputusan harus nurut orang tua kan..

Sejak kerja dan menghasilkan uang sendiri, beli apa-apa sendiri, nanggung kebutuhan sendiri, jujur aja bikin aku ngerasa lebih PD buat nerapin prinsip-prinsipku. Hal ini juga yang sempet bikin perang dingin sama ortu. Aku sibuk kerja dan kuliah, jarang dirumah kecuali buat tidur. Wajar emang kalo saat itu komunikasi dirumah pun memburuk, ditambah nggak ada yang tau gimana caranya apalagi memulai untuk memperbaiki.

Aku anak yang cukup keras kepala dan berkemauan kuat sejak kecil. Tapi bener-bener aku tunjukin lebih lagi setelah aku mandiri secara finansial. Dan ini sama sekali bukan niat untuk lupa diri atas jasa-jasa orang tua, atau menyombongkan diri karena udah bisa mandiri. Not at all. It’s just natural feelings to feel, rite?

Kita bukan anak durhaka hanya karena kita ingin menjalani hidup sesuai dengan keputusan dan dengan resiko yang kita tanggung sendiri kan? Ada masanya memang seorang anak terlepas dari tangan orang tua. Toh memang setiap anak adalah subject, individu yang berdiri sendiri. Tapi rasanya emang anak dan orang tua pasti punya banyak sekali sudut pandang yang berbeda ya? Pengalaman ini bakalan aku pake untuk pengingat diri sendiri buat ngadepin Zac saat dewasa nanti.

Yang mendasari perselisihanku dengan ortu biasanya karena perihal double standard. Mereka melarang ini, menyalahkan itu, tapi mereka sendiri nggak sadar kalo apa yang mereka permasalahkan itu ternyata mereka sendiri lakuin. Aku jadi bingung harus bersikap gimana kalo ngadepin prinsip yang berubah-ubah perlakuannya. Rasanya kayak serba salah, semua-semua aku lakuin kayak salah terus.

Ada pengalaman yang sampe sekarang aku inget banget. Pas aku masih SMP, jaman HP masih monokrom, SMS masih 350 rupiah. Dulu aku punya nomer HP yang cukup cantik, tetiba aja Bapak nyuruh aku ganti nomer. Pas aku tanya alasannya, bapak nggak jelasin apa-apa. “wis pokoknya seli ganti aja!” dengan muka merengut tanda aku nggak boleh nanya lagi. Dongkol banget rasanya waktu itu. Just WHYYY?!

Aku ngerasa memiliki hak penuh atas nomer HP ku itu. Tapi aku ngerasa diperlakukan nggak adil. Hanya karena aku seorang anak apakah aku nggak punya hak penuh atas barang yang aku miliki? Aku nggak suka emang ganti-ganti nomer dari dulu. Masih inget banget rasanya. Dan sampe sekarang pun aku nggak tau apa alasannya bapak nyuruh aku ganti nomer tiba-tiba. Hal sepele emang, tapi ternyata bisa jangget banget dihati.

Dulu-dulu aku cuma bisa diem, tapi nggak bisa ngapa-ngapain selain akhirnya ngelakuin hal sesuai kemauan mereka meski nggak sesuai sama hatiku. Entah sejak kapan aku baru paham kalo aku ngerasa, apa yang mereka harapkan dari aku nggak berbanding lurus dengan apa yang mereka terapkan ke diri mereka sendiri. Terlalu banyak dicecar ini itu, tapi ngerasa diriku nggak pernah didengar.

Ternyata antara pikiran, perkataan dan perbuatan harus sejalan biar suatu hal bisa masuk ke telinga, diproses otak untuk diingat, dan disimpan dihati untuk dihayati. Ciahhh.. bagus banget bahasa gua tepok tangaaann. Prok prok prok!
*dilempar pengki*

Aku mungkin baru melewati tahap “ngeh” tentang apa-apa yang aku jadiin prinsip, masalah penerapannya ini juga masih belajar terus. Tapi emang tahap “ngeh” itu penting banget loh! Soalnya banyak banget orang yang masih nggak ngeh kalo lagi double standard. Gimana mau ngerubah kalo ngeh aja nggak kan?

Misal kita pengen punya anak yang cerdas, tapi kita ortunya selalu matahin pendapat dia, selalu ngerasa lebih tau segalanya, kita maksa dia buat ngikutin pendapat kita. Nggak make sense kan? Atau kita berharap punya suami yang selalu jujur, tapi kita selalu ngomelin hal-hal nggak penting. Kita nggak mau kompromi sama kemauan suami atas hal yang nggak sesuai dengan yang kita expect. Of course dia lebih milih buat nyembunyiin hal-hal kecil atau bahkan berbohong daripada harus bertengkar gegara hal sepele.

Contoh terakhir, suami pengen punya istri yang dandan rapi meski dirumah, wangi, nggak berubah dari jaman sebelum nikah sampe punya anak 4. Ya dikasih uang buat perawatan dong, bantuin kerjaan rumahnya, kalo mampu ya pake asisten dan baby sitter, make it balance lah pokoknya. Nggak ada yang sempurna kan? Do you get it? Semuanya tuh kudu seimbang. Tentukan prinsip dan sesuaikan penerapannya. Do it consistently.

Jadi apa yang kita mau dapetin, ya pantesin diri. Perlakukan orang lain sesuai dengan gimana kita ingin diperlakukan. Prinsip ganda ini deket banget sama nilai-nilai moral kehidupan disekitar kita. Yang intinya sebuah ukuran seakan jadi berbeda ketika subjeknya berbeda. Banyak banget quotes yang sesuai sama tema double standard ini. Tapi aku pilih satu yang paling sarcastic buat mengakhiri tulisan ini. Biar nampol. Ehehehe


“Don’t get mad when I pull a YOU on YOU.” 
-unknown-



Love,

Chely

Senin, 27 Januari 2020

TANTRUM



Apasih yang paling sering bikin kita bertengkar dengan pasangan? Kalo pengalamanku sih karena lagi sama-sama capek. Capek fisik maupun psikis berpengaruh banget loh sama cara kita bersikap. Nah karena capek itu hal yang wajar, jangan sampe kita nyesel ya karena menyikapi sesuatu dengan cara yang salah. Jadi jangan cuma meyakini bahwa capek itu hal yang wajar, tapi cari juga cara buat antisipasi ketika kita lagi capek dan harus  menghadapi kondisi yang butuh kewarasan diri.


Beberapa hari ini Zac lagi kumat-kumat lagi fase threenager nya. Nangis-nangis drama minta dipakein lagi baju  yang basah, minta ke rumah ibuku pas udah jamnya tidur buat ngulur-ngulur waktu doang (FYI aku tetanggaan sama rumah ibuku tapi pas itu udah jam 10 malem keatas dan Zac punya rules yang udah disepakati sama dia bahwa jam 10 harus udah didalem kamar entah itu mau ngobrol-ngobrol, baca buku atau aktifitas apapun sebelum tidur), pokoknya hari-hari diisi dengan tangisan memble karena hal-hal random yang diminta Zac.

Ceritanya sebut aja hari ke-1 ini aku dan abang sama-sama pulang kerja dan Zac menyambut dengan rewelnya. Nangis kenceng sambil berulang kali bilang kerandoman yang dia pengen. Terus aku cuma duduk didepan dia nungguin dia nangis dan bilang, “nggak semua yang Zac pengen harus mama turutin”, dengan nada yang datar dan tegas. Disaat itu abang yang nggak ikut handle Zac malah ikut ngomelin Zac “Doh Berisikkkk!!!”, mulai sadar bayi gede ikut rewel akhirnya abang aku suruh keluar rumah dulu aja biar daripada aku kewalahan dan ikut rewel juga.

Sedangkan Zac makin nangis ngulang-ngulang lagi pengennya dia, dan aku pun juga ngulang lagi bilang bahwa nggak semua yang dia mau harus mama turutin, kalo Zac kecewa silahkan menangis, kalo Zac mau peluk mama akan peluk, kalo Zac mau sendirian dulu silahkan nangis dikamar. Alhasil aku disuruh keluar dari kamar sama Zac sambil nangis-nangis kek sinetron. Sebelum nutup pintu kamar aku bilang sekali lagi “mama tunggu Zac didepan kalo nangisnya udah selesai”.

Aku dengerin sayup-sayup Zac nangis sambil ngomel ga jelas kedengerannya. Dan beberapa saat kemudian dia keluar kamar minta pangku aku. Kebetulan aku nunggu dia diluar kamar sambil nonton TV dan ada magic show, langsung aja aku alihkan perhatiannya ke TV, “wow Zac liat deh ada sulap keren banget, wahhh uangnya bisa hilang!” dengan ekspresi dan intonasi yang agak hiperbola. Dan berhasil. Dia nimbrung aja seperti nggak terjadi apa-apa sebelumnya. Meh.

Setelah nidurin Zac aku ajak abang ngobrol dong (dan  sedikit ngomel! Ehe..)
Jangan ikutan rewel kalo Zac lagi rewel, toh tadi aku yang handle karena kebetulan secara psikis aku lagi adem jadi bisa menyikapi dengan waras. Klo merasa berisik yaudah keluar rumah dulu, jaga jarak dulu, tapi ya ga perlu lama-lama dan kejauhan juga perginya, inget kalo ini anak tanggungjawab berdua, harus bisa saling bantu dan sama-sama dampingin dia. Ya karena siapa lagi yang paling bertanggungjawab, yang harus bisa ngertiin, kalo bukan kita orang tuanya. Masa kita yang udah hidup puluhan tahun mau minta dingertiin sama anak batita? Dan syukurnya obrolan saat itu bisa masuk ke abang. Jadi dia sadar dan minta maaf saat itu juga sama aku dan Zac.

Nah sekarang cerita hari ke-2 nih. Ceritanya aku pulang telat karena harus ketemu temen dulu, ada masalah yang harus dibahas. Pulang-pulang ditinggal tidur duluan sm abang, sekitar jam setengah 10 malem. Si Zac tetiba kumat rewel lagi nih. Nangis kenceng banget dirumah ibuku sampe kedengeran dari rumahku. Aku samperin lah, what’s going on.. Zac gamau digantiin baju tidur, maunya pake baju yang basah tadi. Aku coba bujuk baik-baik malah ngamuk dianya. Akhirnya aku gendong aja pulang kerumah sambil sekomplek keberisikan denger dia teriak nangis malem-malem. Karena susah banget kalo mau ambil sikap dirumah ibuku, yang ada makin ribet. U know lah..

Dirumah aku bawa Zac masuk kekamar biar nangisnya nggak ganggu tetangga. Abang kebangun dong. Aku saat itu ngerasa exhausted banget banget! Karena banyak banget masalah hari itu, ditambah pulang-pulang pengen curcol malah suami tidur, nggak sanggup mau ngadepin Zac dengan hati yang lapang. Udah penuh sesak euy toxicnya hari itu. Akhirnya abang yang handle Zac. Dan aku? Nangis dong dikamar. Huhuw ~

Nangis sambil dalem hati ngobrol sama Tuhan. Ya Tuhan.. ini ono ini ono obladi oblada bla bla bla.. mayan lama, 10-15 menit abang masuk dan nanya aku kenapa. Aku jawab nggak apa-apa. Karena ya emang udah agak legaan aja abis nangis dan curhat sama Tuhan. Tapi belum pengen ngebahas masalah hari itu. Sedangkan abang malah kayak sensi gitu makin nyerocos nanya dan bahas masalah dengan bahasa yang nggak ngademin banget. Malah nangis lagi lah aku woy. Etdah.

Terus Abang mulai emosi dan keluar, Zac tau aku nangis dan dia nanyain dengan lembuuuuuutt banget, mama kenapa kok nangis, terus dia minta maaf aja gitu tiba-tiba soalnya tadi udah rewel gamau ganti baju bobo. Wow sungguh rendah hati sekali Zac, dia kayak ngerasa bersalah gitu karena merasa ikut andil dalam bikin aku nangis. Terus dia usap-usap rambut sama pipiku, nenangin aku sambil hapus air mataku, dan natap aku dengan pandangan yang Wow begitu lembut bangetttt. Emang bener anak kecil itu sama dengan orang dewasa. Mereka mengerti.

Akhirnya aku mulai tenang dan dianter Zac wudhu buat sholat isya, dia juga ambilin aku minum sama selimut, wow wow wow. Daebak! Bangganya aku. Ngerasa berhasil jadi seorang ibu ketika anak bisa merawat kita dengan baik. Huhuhu terharuu.

Long story short aku tidur sama Zac dan abang tidur sendiri. Besok paginya when I feel better aku nyamperin abang dan peluk dia. Dia nyambut aku dan minta maaf. Aku jelasin permasalahan yang aku hadapin kemarin ke dia, kenapa aku saat itu ga bisa handle Zac as good as before, kenapa aku kemarin belum mau jelasin masalahnya, jadi ada saatnya aku pengen bahas masalah, ada saatnya aku pengen Cuma dipeluk, ada saatnya aku Cuma pengen ditanya “apa yang kamu rasain sekarang” bukannya “apa masalahmu”, dan kita baikan nah.. dan begitu Zac bangun langsung aku kasih tau juga kalo Ayah dan Mama udah baikan. aku tunjukin kalo kita udah sayang-sayangan lagi. Dan aku bilang terimakasih karena Zac udah nenangin mama kemarin.

Jadi apa nih intinya? Haha
Yah gitu. Jangan sampe masalah kita jadi pemakluman diri atas pelampiasan ke anak maupun pasangan. Harus punya alert sendiri atas apa yang sedang terjadi sama diri kita, eh gue lagi BT karena ini nih, eh gue lagi capek karena itu, jadi mending gue gini dulu deh biar anak / pasangan kita nggak kena pelampiasan. Dan baiknya udah komunikasiin ini jauh-jauh hari sebelum terjadi. Bahkan kadang emang harus mengulang kesalahan beberapa kali, namanya juga manusia kadang suka lupa. Yaudah nggak apa-apa belajar lagi. Tapi jangan sering-sering atuh, masa iya hari ini udah belajar besok udah lupa, setahun sekali kek.




Love,


Chely

Selasa, 14 Januari 2020

SELF-ACCEPTANCE





Salah satu alasan kenapa aku harus punya waktu untuk menyendiri adalah karena aku butuh mengobrol dengan diriku sendiri. Bisa dibilang proses introspeksi diri. Dan seseorang butuh suasana hening dan sendiri kan untuk bisa melakukan self-talk? Nggak ada waktu yang sengaja dijadwalkan sih. Kapanpun aku punya waktu sendirian pasti aku bisa nikmatin banget. Bahkan kalo aku berniat merencanakan sesuatu aku sering menumpahkan pikiranku ke dalam catatan. Misalkan aku lagi pengen bikin resolusi, atau parenting yang mau aku terapkan buat Zac, atau hal-hal yang pengen aku bahas sama abang tentang our marriage. Banyak hal lah.

Self-talk ini juga berpengaruh banget dengan caraku menghadapi masalah apapun. Misal aku lagi ada perselisihan alot sama abang, yang bikin perdebatan nggak menemukan jalan tengahnya. Aku pasti milih buat masing-masing saling berpikir dulu. Menganalisa apa inti masalahnya, apa tujuannya, apa yang diperdebatkan, apa yang dikorbankan untuk bisa kompromi. Kalo lagi gini kan aku berdebat dengan diriku sendiri, melawan egoku, melawan rasa penolakan diri untuk legowo. Karena aku dan abang sama-sama orang  yang berprinsip kuat. Jadi aku harus punya data yang kuat pula untuk meruntuhkan prinsipku. Dan hasil dari self-talk ini adalah self-acceptance. Penerimaan diri atas segala keadaan, kekurangan, hal-hal yang nggak sesuai harapanku.

Dan ternyata proses self-talk dan self-acceptance ini belum semua orang terbiasa lakukan yah. Padahal buatku pribadi, itu adalah cara untuk menghadapi masalah secara objektif. Biar kita nggak saling menyalahkan, nggak sekedar nurutin ego. Ada beberapa orang yang menyelesaikan masalah dengan menganggap masalah itu nggak ada. Jadi bukannya dicari jalan keluarnya, tapi sekedar di “skip” aja. Padahal dengan begitu kan the problems are still left behind. Pasti akan terungkit, akan menumpuk, bahkan kayak bom waktu. Meledak disaat yang nggak tepat.

Baca : my 4th anniversary

Contoh terdekatnya ketika pasangan lupa hari anniversary, ketika pasangan asik main HP pas kita lagi repot butuh bantuan,  atau pasangan malah ketiduran dan lupa angkat jemuran.. “kamu tuh SELALU egois, SELALU aku yang ngalah”, “aku tuh capek DARI DULU kamu bohongin terus”, “aku tuh KURANG APA sama kamu?”, “kamu tuh NGGAK PERNAH ngertiin aku”,  familiar sama kalimat-kalimat ini? Kalimat yang keluar ketika masalah merembet dari inti masalah sebenernya. Karena kita nggak sadar menumpuk masalah dibelakang tanpa pernah diselesaikan. Dan akhirnya terungkit disaat masalah lain yang harusnya dibahas.

Baca : Perbedaan kecil dalam rumah tangga

Makanya penting banget buat punya alarm ketika ada sesuatu nggak beres, harus mau menyadari bahwa ini adalah masalah, sekecil apapun itu. Entah ketika kita ngerasa kurang apresiasi dari pasangan, ketika ada kebiasaan buruk pasangan yang nggak kita suka, atau ada hal yang kita harapkan dari pasangan. Semuanya harus dikomunikasikan untuk bisa kompromi. Karena gimana pasangan tau apa maunya kita kalo kita nggak pernah komunikasikan? Ini berlaku juga diluar hubungan kita sama pasangan, bisa juga antara kita dengan anak, dengan teman, orang tua pun.

Dan hubungannya sebuah masalah dengan self-acceptance adalah agar kita bisa mengambil keputusan jalan keluar seperti apa yang kita ambil. Karena hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah melawan diri kita sendiri untuk kepentingan bersama. Kita harus bisa jujur dengan diri kita ketika kita melakukan kesalahan, dan ini susah banget kalo nggak kita latih. Perdebatan terjadi karena salah satu atau masing-masing saling melakukan pembenaran diri. Aku bisa ngomong gini bukan berarti aku udah expert ya, tapi aku juga masih belajar terus, masih sering salah pun, masih kasih kesempatan diri buat mencoba lagi memperbaiki diri, tapi proses mencari self-acceptance ini membantu banget buatku pribadi biar bisa lebih legowo dan jujur dengan diri sendiri.

Contohnya, aku yang punya trauma masa kecil yang berpengaruh banget setelah punya anak. Harus melewati proses panjang banget buat menyadari bahwa yang dilakukan Zac itu cerminan aku dan suami. Jadi ketika Zac nakal aku harus cari tau apa yang bikin Zac melakukan itu, ohh karena aku nemenin dia tapi pikiranku nggak beneran disitu sama Zac. Badanku ada dideket dia tapi pikiranku ke balesin WA meskipun soal kerjaan. Makanya Zac mencari perhatianku dengan nakal, biar perhatianku beralih dari HP ke dia. Ohh oke kalo gitu aku yang salah dong, harusnya kalo aku mau nemenin Zac main ya aku harus bener-bener main bareng dia, berekspresi yang seru, ngobrol dua arah tentang permainan itu. Harusnya aku bilang sama Zac kalo mau minta waktu bales WA sebentar terus taruh HP dan lanjut main lagi.

See? Beda banget ketika kita nggak bisa menyadari keadaan yang sebenarnya terjadi saat itu kan. Pasti kita marah kalo anak nakal padahal kita udah nemenin dia main. Malah jadi ngomel, menjudge / memberi cap nakal pada anak, bahkan bisa sampe menyakiti fisiknya (cubit, pukul, etc). Hanya karena kita nggak bisa memahami keadaan dan menerima kesalahan kita sendiri. Sayang banget kan kalo sampe hal itu membekas dihati anak.. huhuhuhuu.

Tapi ternyata ada juga yang mengecilkan rasa trauma orang lain. Yang merasa aku terlalu melebih-lebihkan kejadian masa kecilku. Ah gitu aja sakit hati, jaman dulu lebih parah, guru pukul pake penggaris gede, anak dididik keras itu biar kuat, anak dihukum fisik itu udah biasa. Itu adalah contoh orang yang nggak self-acceptance. Karena berarti dia nggak pernah merasa bersikap salah ke orang lain. Karena dia merasa disakiti secara fisik/psikis adalah hal biasa, otomatis dia juga terbiasa melakukan hal itu ke orang lain dan parahnya dia nggak pernah menyadari bahwa itu sebuah kesalahan. Artinya dia menyambung rantai kesalahan  atau melampiaskannya ke orang lain. Bukannya malah memutus rantai kesalahan tersebut.

Padahal kita hidup ini nggak ada sekolahnya, cara belajarnya ya dengan mengambil hikmah disetiap kejadian. Entah yang dialami sendiri ataupun orang lain. Jadi salah dan dosa itu manusiawi to, nggak apa-apa diakui saja. Karena langkah pertama kita sebelum berubah adalah menerima bahwa yang kita lakukan salah. Kalo kita nggak menyadari kita salah, kita nggak mungkin juga ambil langkah untuk berubah. Dan tentunya kita harus punya tujuan untuk menjadi lebih baik. Itu inti dari self-acceptance menurut aku.

To sum up, nggak apa-apa MELAKUKAN kesalahan, nggak apa-apa MERASA bersalah, nggak apa-apa MINTA MAAF, nggak apa-apa NGGAK TERLIHAT lebih baik dari orang lain, nggak apa-apa MENCOBA dari awal lagi. Jujur dengan diri sendiri dulu baru orang akan jujur dengan kita. Percaya aja kalo kita bisa menularkan virus kebaikan yang kita mulai dari diri kita sendiri.  Tanamkan jujur sama diri sendiri disegala hal, luangkan self-talk, temukan self-acceptance.


Love,

Chely