Salah satu alasan kenapa aku harus punya waktu untuk
menyendiri adalah karena aku butuh mengobrol dengan diriku sendiri. Bisa dibilang
proses introspeksi diri. Dan seseorang butuh suasana hening dan sendiri kan
untuk bisa melakukan self-talk? Nggak ada waktu yang sengaja dijadwalkan sih. Kapanpun
aku punya waktu sendirian pasti aku bisa nikmatin banget. Bahkan kalo aku
berniat merencanakan sesuatu aku sering menumpahkan pikiranku ke dalam catatan.
Misalkan aku lagi pengen bikin resolusi, atau parenting yang mau aku terapkan
buat Zac, atau hal-hal yang pengen aku bahas sama abang tentang our marriage. Banyak
hal lah.
Self-talk ini juga berpengaruh banget dengan caraku
menghadapi masalah apapun. Misal aku lagi ada perselisihan alot sama abang,
yang bikin perdebatan nggak menemukan jalan tengahnya. Aku pasti milih buat
masing-masing saling berpikir dulu. Menganalisa apa inti masalahnya, apa
tujuannya, apa yang diperdebatkan, apa yang dikorbankan untuk bisa kompromi. Kalo
lagi gini kan aku berdebat dengan diriku sendiri, melawan egoku, melawan rasa
penolakan diri untuk legowo. Karena aku dan abang sama-sama orang yang berprinsip kuat. Jadi aku harus punya
data yang kuat pula untuk meruntuhkan prinsipku. Dan hasil dari self-talk ini
adalah self-acceptance. Penerimaan diri atas segala keadaan, kekurangan,
hal-hal yang nggak sesuai harapanku.
Dan ternyata proses self-talk dan self-acceptance ini belum semua orang terbiasa lakukan yah. Padahal buatku pribadi, itu adalah cara untuk
menghadapi masalah secara objektif. Biar kita nggak saling menyalahkan, nggak
sekedar nurutin ego. Ada beberapa orang yang menyelesaikan masalah dengan
menganggap masalah itu nggak ada. Jadi bukannya dicari jalan keluarnya, tapi
sekedar di “skip” aja. Padahal dengan begitu kan the problems are still left
behind. Pasti akan terungkit, akan menumpuk, bahkan kayak bom waktu. Meledak disaat
yang nggak tepat.
Baca : my 4th anniversary
Baca : my 4th anniversary
Contoh terdekatnya ketika pasangan lupa hari anniversary, ketika
pasangan asik main HP pas kita lagi repot butuh bantuan, atau pasangan malah ketiduran dan lupa angkat
jemuran.. “kamu tuh SELALU egois, SELALU aku yang ngalah”, “aku tuh capek DARI
DULU kamu bohongin terus”, “aku tuh KURANG APA sama kamu?”, “kamu tuh NGGAK
PERNAH ngertiin aku”, familiar sama
kalimat-kalimat ini? Kalimat yang keluar ketika masalah merembet dari inti
masalah sebenernya. Karena kita nggak sadar menumpuk masalah dibelakang tanpa
pernah diselesaikan. Dan akhirnya terungkit disaat masalah lain yang harusnya
dibahas.
Baca : Perbedaan kecil dalam rumah tangga
Baca : Perbedaan kecil dalam rumah tangga
Makanya penting banget buat punya alarm ketika ada sesuatu
nggak beres, harus mau menyadari bahwa ini adalah masalah, sekecil apapun itu. Entah
ketika kita ngerasa kurang apresiasi dari pasangan, ketika ada kebiasaan buruk
pasangan yang nggak kita suka, atau ada hal yang kita harapkan dari pasangan. Semuanya
harus dikomunikasikan untuk bisa kompromi. Karena gimana pasangan tau apa
maunya kita kalo kita nggak pernah komunikasikan? Ini berlaku juga diluar
hubungan kita sama pasangan, bisa juga antara kita dengan anak, dengan teman,
orang tua pun.
Dan hubungannya sebuah masalah dengan self-acceptance adalah
agar kita bisa mengambil keputusan jalan keluar seperti apa yang kita ambil. Karena
hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah melawan diri kita sendiri untuk
kepentingan bersama. Kita harus bisa jujur dengan diri kita ketika kita
melakukan kesalahan, dan ini susah banget kalo nggak kita latih. Perdebatan terjadi
karena salah satu atau masing-masing saling melakukan pembenaran diri. Aku bisa
ngomong gini bukan berarti aku udah expert ya, tapi aku juga masih belajar
terus, masih sering salah pun, masih kasih kesempatan diri buat mencoba lagi
memperbaiki diri, tapi proses mencari self-acceptance ini membantu banget buatku pribadi biar bisa lebih legowo dan jujur dengan diri sendiri.
Contohnya, aku yang punya trauma masa kecil yang berpengaruh
banget setelah punya anak. Harus melewati proses panjang banget buat menyadari
bahwa yang dilakukan Zac itu cerminan aku dan suami. Jadi ketika Zac nakal aku
harus cari tau apa yang bikin Zac melakukan itu, ohh karena aku nemenin dia
tapi pikiranku nggak beneran disitu sama Zac. Badanku ada dideket dia tapi
pikiranku ke balesin WA meskipun soal kerjaan. Makanya Zac mencari perhatianku
dengan nakal, biar perhatianku beralih dari HP ke dia. Ohh oke kalo gitu aku
yang salah dong, harusnya kalo aku mau nemenin Zac main ya aku harus
bener-bener main bareng dia, berekspresi yang seru, ngobrol dua arah tentang
permainan itu. Harusnya aku bilang sama Zac kalo mau minta waktu bales WA
sebentar terus taruh HP dan lanjut main lagi.
See? Beda banget ketika kita nggak bisa menyadari keadaan
yang sebenarnya terjadi saat itu kan. Pasti kita marah kalo anak nakal padahal
kita udah nemenin dia main. Malah jadi ngomel, menjudge / memberi cap nakal
pada anak, bahkan bisa sampe menyakiti fisiknya (cubit, pukul, etc). Hanya karena
kita nggak bisa memahami keadaan dan menerima kesalahan kita sendiri. Sayang banget
kan kalo sampe hal itu membekas dihati anak.. huhuhuhuu.
Tapi ternyata ada juga yang mengecilkan rasa trauma orang lain. Yang merasa
aku terlalu melebih-lebihkan kejadian masa kecilku. Ah gitu aja sakit hati,
jaman dulu lebih parah, guru pukul pake penggaris gede, anak dididik keras itu
biar kuat, anak dihukum fisik itu udah biasa. Itu adalah contoh orang yang
nggak self-acceptance. Karena berarti dia nggak pernah merasa bersikap salah ke
orang lain. Karena dia merasa disakiti secara fisik/psikis adalah hal biasa,
otomatis dia juga terbiasa melakukan hal itu ke orang lain dan parahnya dia
nggak pernah menyadari bahwa itu sebuah kesalahan. Artinya dia menyambung
rantai kesalahan atau melampiaskannya ke
orang lain. Bukannya malah memutus rantai kesalahan tersebut.
Padahal kita hidup ini nggak ada sekolahnya, cara belajarnya
ya dengan mengambil hikmah disetiap kejadian. Entah yang dialami sendiri
ataupun orang lain. Jadi salah dan dosa itu manusiawi to, nggak apa-apa diakui
saja. Karena langkah pertama kita sebelum berubah adalah menerima bahwa yang
kita lakukan salah. Kalo kita nggak menyadari kita salah, kita nggak mungkin
juga ambil langkah untuk berubah. Dan tentunya kita harus punya tujuan untuk
menjadi lebih baik. Itu inti dari self-acceptance menurut aku.
To sum up, nggak apa-apa MELAKUKAN kesalahan, nggak apa-apa MERASA
bersalah, nggak apa-apa MINTA MAAF, nggak apa-apa NGGAK TERLIHAT lebih baik
dari orang lain, nggak apa-apa MENCOBA dari awal lagi. Jujur dengan diri
sendiri dulu baru orang akan jujur dengan kita. Percaya aja kalo kita bisa
menularkan virus kebaikan yang kita mulai dari diri kita sendiri. Tanamkan jujur sama diri sendiri disegala hal,
luangkan self-talk, temukan self-acceptance.
Love,
Chely
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)