Selasa, 14 Januari 2020

SELF-ACCEPTANCE





Salah satu alasan kenapa aku harus punya waktu untuk menyendiri adalah karena aku butuh mengobrol dengan diriku sendiri. Bisa dibilang proses introspeksi diri. Dan seseorang butuh suasana hening dan sendiri kan untuk bisa melakukan self-talk? Nggak ada waktu yang sengaja dijadwalkan sih. Kapanpun aku punya waktu sendirian pasti aku bisa nikmatin banget. Bahkan kalo aku berniat merencanakan sesuatu aku sering menumpahkan pikiranku ke dalam catatan. Misalkan aku lagi pengen bikin resolusi, atau parenting yang mau aku terapkan buat Zac, atau hal-hal yang pengen aku bahas sama abang tentang our marriage. Banyak hal lah.

Self-talk ini juga berpengaruh banget dengan caraku menghadapi masalah apapun. Misal aku lagi ada perselisihan alot sama abang, yang bikin perdebatan nggak menemukan jalan tengahnya. Aku pasti milih buat masing-masing saling berpikir dulu. Menganalisa apa inti masalahnya, apa tujuannya, apa yang diperdebatkan, apa yang dikorbankan untuk bisa kompromi. Kalo lagi gini kan aku berdebat dengan diriku sendiri, melawan egoku, melawan rasa penolakan diri untuk legowo. Karena aku dan abang sama-sama orang  yang berprinsip kuat. Jadi aku harus punya data yang kuat pula untuk meruntuhkan prinsipku. Dan hasil dari self-talk ini adalah self-acceptance. Penerimaan diri atas segala keadaan, kekurangan, hal-hal yang nggak sesuai harapanku.

Dan ternyata proses self-talk dan self-acceptance ini belum semua orang terbiasa lakukan yah. Padahal buatku pribadi, itu adalah cara untuk menghadapi masalah secara objektif. Biar kita nggak saling menyalahkan, nggak sekedar nurutin ego. Ada beberapa orang yang menyelesaikan masalah dengan menganggap masalah itu nggak ada. Jadi bukannya dicari jalan keluarnya, tapi sekedar di “skip” aja. Padahal dengan begitu kan the problems are still left behind. Pasti akan terungkit, akan menumpuk, bahkan kayak bom waktu. Meledak disaat yang nggak tepat.

Baca : my 4th anniversary

Contoh terdekatnya ketika pasangan lupa hari anniversary, ketika pasangan asik main HP pas kita lagi repot butuh bantuan,  atau pasangan malah ketiduran dan lupa angkat jemuran.. “kamu tuh SELALU egois, SELALU aku yang ngalah”, “aku tuh capek DARI DULU kamu bohongin terus”, “aku tuh KURANG APA sama kamu?”, “kamu tuh NGGAK PERNAH ngertiin aku”,  familiar sama kalimat-kalimat ini? Kalimat yang keluar ketika masalah merembet dari inti masalah sebenernya. Karena kita nggak sadar menumpuk masalah dibelakang tanpa pernah diselesaikan. Dan akhirnya terungkit disaat masalah lain yang harusnya dibahas.

Baca : Perbedaan kecil dalam rumah tangga

Makanya penting banget buat punya alarm ketika ada sesuatu nggak beres, harus mau menyadari bahwa ini adalah masalah, sekecil apapun itu. Entah ketika kita ngerasa kurang apresiasi dari pasangan, ketika ada kebiasaan buruk pasangan yang nggak kita suka, atau ada hal yang kita harapkan dari pasangan. Semuanya harus dikomunikasikan untuk bisa kompromi. Karena gimana pasangan tau apa maunya kita kalo kita nggak pernah komunikasikan? Ini berlaku juga diluar hubungan kita sama pasangan, bisa juga antara kita dengan anak, dengan teman, orang tua pun.

Dan hubungannya sebuah masalah dengan self-acceptance adalah agar kita bisa mengambil keputusan jalan keluar seperti apa yang kita ambil. Karena hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah melawan diri kita sendiri untuk kepentingan bersama. Kita harus bisa jujur dengan diri kita ketika kita melakukan kesalahan, dan ini susah banget kalo nggak kita latih. Perdebatan terjadi karena salah satu atau masing-masing saling melakukan pembenaran diri. Aku bisa ngomong gini bukan berarti aku udah expert ya, tapi aku juga masih belajar terus, masih sering salah pun, masih kasih kesempatan diri buat mencoba lagi memperbaiki diri, tapi proses mencari self-acceptance ini membantu banget buatku pribadi biar bisa lebih legowo dan jujur dengan diri sendiri.

Contohnya, aku yang punya trauma masa kecil yang berpengaruh banget setelah punya anak. Harus melewati proses panjang banget buat menyadari bahwa yang dilakukan Zac itu cerminan aku dan suami. Jadi ketika Zac nakal aku harus cari tau apa yang bikin Zac melakukan itu, ohh karena aku nemenin dia tapi pikiranku nggak beneran disitu sama Zac. Badanku ada dideket dia tapi pikiranku ke balesin WA meskipun soal kerjaan. Makanya Zac mencari perhatianku dengan nakal, biar perhatianku beralih dari HP ke dia. Ohh oke kalo gitu aku yang salah dong, harusnya kalo aku mau nemenin Zac main ya aku harus bener-bener main bareng dia, berekspresi yang seru, ngobrol dua arah tentang permainan itu. Harusnya aku bilang sama Zac kalo mau minta waktu bales WA sebentar terus taruh HP dan lanjut main lagi.

See? Beda banget ketika kita nggak bisa menyadari keadaan yang sebenarnya terjadi saat itu kan. Pasti kita marah kalo anak nakal padahal kita udah nemenin dia main. Malah jadi ngomel, menjudge / memberi cap nakal pada anak, bahkan bisa sampe menyakiti fisiknya (cubit, pukul, etc). Hanya karena kita nggak bisa memahami keadaan dan menerima kesalahan kita sendiri. Sayang banget kan kalo sampe hal itu membekas dihati anak.. huhuhuhuu.

Tapi ternyata ada juga yang mengecilkan rasa trauma orang lain. Yang merasa aku terlalu melebih-lebihkan kejadian masa kecilku. Ah gitu aja sakit hati, jaman dulu lebih parah, guru pukul pake penggaris gede, anak dididik keras itu biar kuat, anak dihukum fisik itu udah biasa. Itu adalah contoh orang yang nggak self-acceptance. Karena berarti dia nggak pernah merasa bersikap salah ke orang lain. Karena dia merasa disakiti secara fisik/psikis adalah hal biasa, otomatis dia juga terbiasa melakukan hal itu ke orang lain dan parahnya dia nggak pernah menyadari bahwa itu sebuah kesalahan. Artinya dia menyambung rantai kesalahan  atau melampiaskannya ke orang lain. Bukannya malah memutus rantai kesalahan tersebut.

Padahal kita hidup ini nggak ada sekolahnya, cara belajarnya ya dengan mengambil hikmah disetiap kejadian. Entah yang dialami sendiri ataupun orang lain. Jadi salah dan dosa itu manusiawi to, nggak apa-apa diakui saja. Karena langkah pertama kita sebelum berubah adalah menerima bahwa yang kita lakukan salah. Kalo kita nggak menyadari kita salah, kita nggak mungkin juga ambil langkah untuk berubah. Dan tentunya kita harus punya tujuan untuk menjadi lebih baik. Itu inti dari self-acceptance menurut aku.

To sum up, nggak apa-apa MELAKUKAN kesalahan, nggak apa-apa MERASA bersalah, nggak apa-apa MINTA MAAF, nggak apa-apa NGGAK TERLIHAT lebih baik dari orang lain, nggak apa-apa MENCOBA dari awal lagi. Jujur dengan diri sendiri dulu baru orang akan jujur dengan kita. Percaya aja kalo kita bisa menularkan virus kebaikan yang kita mulai dari diri kita sendiri.  Tanamkan jujur sama diri sendiri disegala hal, luangkan self-talk, temukan self-acceptance.


Love,

Chely

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)