Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Juni 2020

Untuk dibaca Zac, Suatu Saat Nanti (1)



Zac, anakku sayang.. Pertama-tama mama mau minta maaf pagi ini harus seperti ini. I’ve tried my best but I know you deserve more..
Tenggorokanku masih tercekat, menahan kemarahan, kesedihan, kehancuran hati. Setiap melihat kamu seakan membenciku, melihat kamu berteriak nggak sayang sama aku. Aku tau kamu hanya marah, aku tau kamu nggak berniat menjudge, aku tau kamu tau apa kesalahanmu, aku tau kamu tau apa kesalahanku.


Ada rasa lega kamu bisa tumbuh jadi anak yang merasa aman mengutarakan perasaanmu sejujurnya. Hal yang sedari kecil aku pengen menjadi adalah jadi anak seperti kamu sekarang ini. Meski sering terasa sakit dalam hati ketika kamu bilang nggak sayang mama. Tapi aku tau, mama tau, Zac sayang sekali sama aku. Iya kan?


Dulu saat kecil, aku nggak pernah membenci Bapak dan Ibuk. Sampe saat ini pun aku dewasa, aku nggak pernah nggak sayang mereka. Meski beberapa hal yang pernah dilakukan membuatku marah, tapi aku nggak pernah bilang aku nggak sayang mereka. Seingatku, aku sudah mengerti bahwa kata-kata seperti itu akan membuat mereka sedih. Jadi diriku kecil, sampe diriku sedewasa ini dan menjadi seorang Ibu, aku nggak pernah mengatakan hal seperti itu ke mereka. If I can tell you what kind of our parent-child is : never express love, no bonding, never apologize, one-way communication: parents must be heard-children must listen.


Saat punya kamu, aku belajar dengan menggali diriku lebih dalam. Apa yang sebaiknya aku lakukan dan tidak. Banyak sekali hal terungkit kembali. Memori masa kecil yang tidak nyaman untuk dikenang. Aku tau itu sudah berlalu. Aku nggak pernah minta masa lalu itu ditebus sama sekali pun. Tapi rasa nggak nyaman ini bener-bener nyata. Ketika aku nggak ingin mengulang yang bagiku sebuah kesalahan orang tua di masa lalu, dalam hati rasanya tercekat. Ada yang mencekikku, masa laluku itu sendiri.


Aku rasa semua orang tua juga punya perasaan yang sama. Aku rasa kita semua belajar menjadi orang tua dengan menggali perasaan masa kecil kita. Apa yang dulu kita rasa nggak ingin diperlakukan, nggak akan kita lakukan ke anak. Sedangkan apa yang kita rasa sudah benar ditanamkan ketika kita kecil, kita tanamkan pula dengan lebih baik ke anak. Semua harapan kita punya dasar yang sama, ingin memberikan lebih baik dari yang pernah kita dapatkan dulu. Dan menginginkan anak kita lebih baik dari diri kita.


Diriku yang dewasa bilang, “ayo chel, belajar. Jangan mengeluarkan kata-kata kasar ya. Jangan pukul ya. Jangan cubit. Jangan sakitin Zac”. Lalu kamu nggak koperatif, kamu melawanku. Kamu berteriak, kamu membanting barang, kamu memukul mama didepan orang lain. Seakan kamu ngerasa akan ada yang membela, seakan kamu ngerasa aku akan sungkan untuk marah didepan orang lain. Nggak sakit sama sekali secara fisik. Tapi dalam hatiku kayak ada ingatan-ingatan rasa sakit yang sangat nyata, when they yell at me, hit me, pinch me, hurt me physically and verbally.


Dalam hatiku pengen memproyeksikan gambaran tentang ingatan akan kejadian-kejadian yang terungkit dan menimbulkan rasa nggak nyaman itu agar kamu tau, lihat, dan mengerti, bahwa aku pernah mendapat perlakuan tidak baik lho saat jadi kamu, dan aku sekarang nggak melakukan hal yang sama lho. Nihh, I gave you my best. I am the best mother for you. You should be a nice boy. Because I am a nice girl even I used to not get the best from my parents.


Aku nggak akan terlalu dengerin kata orang Zac, itu yang bikin aku bisa kuat, bertahan, dan bangkit lagi. Karena nggak banyak orang yang bener-bener bisa mengerti kita, merasa empati terhadap apa yang kita lalui dan hadapi, lebih banyak orang hanya bisa menilai dari sudut pandang mereka. Dan mengucapkan kata-kata mutiara yang membuatku muak. Tapi aku akan mendengarkanmu. Aku akan memberi penjelasan sampai tuntas. Aku akan siap berdebat, berdiskusi apapun denganmu, sampai kapanpun.


Aku nggak peduli orang berkomentar tentang aku Ibu macam apa. Aku nggak peduli mereka menilai aku terlalu sabar, atau terlalu jahat, atau terlalu idealis. Aku bukanlah bagaimana mereka menilaiku. Aku adalah diriku dengan segala yang telah aku alami dan hadapi. And I am is how I wanna be. Nggak akan ada yang benar-benar paham menjadi aku. Dan kalopun mereka mengalami dan merasakan apa yang aku rasakan, belum tentu mereka bisa lebih baik dari diriku saat ini. See? Kita sama kan Zac. Kita orang yang gigih dan teguh pendirian.


Terlalu lelah untuk mendengar semua hal yang dikatakan orang, baik maupun buruk. Bahkan ahli parenting sekalipun belum tentu bisa tau apa yang terbaik untuk anak orang lain. Inilah aku seorang Ibu yang juga bekerja. Yang punya banyak kekurangan, banyak sekali, predikat Ibu terbaik rasanya terlalu jauh dan nggak akan bisa pantas disematkan untukku. Aku yang selalu menangis setelah marah sama kamu, aku yang selalu hancur setelah menyakitimu, aku yang selalu bangkit lagi untuk menghadapimu dan diriku. Aku yang selalu, selalu, dan selalu mencintaimu. With my deepest heart.


Aku, orang tuamu, mamamu, aku satu-satunya yang berharap segala hal terbaik untukmu. Aku melakukan kesalahan, banyak sekali kesalahan yang nggak akan aku carikan pembenarannya, tapi aku akan terus belajar untukmu, untuk memperbaiki hal-hal, untuk menjadi dan memberi yang terbaik. Maaf, nggak bosannya aku minta maaf atas kesalahanku. Aku yakin kamu tau, kamu ngerti, perasaanku, maksud dan tujuanku. Aku yang sering nggak ngerti bahasa kamu, nggak melihat kondisi dari kacamatamu, nggak mengerti hal dibalik emosimu. Bantu aku, bantu mama ya Zac untuk bisa selalu mengerti kamu.



I love you, Zac


Chely

Kamis, 18 Juni 2020

PRIORITY IS A BULLSHIT



Denger kata prioritas apa yang terbesit dibenak kalian? Diutamakan? Tapi semudah itu sebuah kata “utama” turun tahta menjadi “kedua”. Ada nggak yang pernah ngerasain percaya diri ketika dibilang jadi prioritas, The One and Only, ceunahna! Tapi kenyataannya nggak selalu seperti itu ya? Upsie.


Well, yeah. Kata prioritas ketika berdiri sendiri memang artinya hal yang diutamakan. Tapi ketika diselipkan menjadi kata sifat, sangat bergantung dengan subjek dan keterangan waktunya. Jadi ketika kita bangga menjadi prioritas seseorang, don’t take it for granted. Sedetik kemudian kita bisa jadi yang kedua bahkan terakhir. Gampangnya, priority is bullshit.


Kalo mau denger penjelasan ribetnya sini, duduk dulu. Aku kasih contoh ya. Misal nih, kita pasti ingin selalu jadi prioritas pasangan. Ingin selalu di nomorsatukan. Hal yang wajar, aku sendiri pun juga. Rasanya nggak dapet kabar sehari aja kayak jadi di nomorduakan sama kesibukan, nggak sih?


Coba sini aku kasih liat lagi sebelum telunjuknya mengarah ke para suami, itu, jari tengah, manis dan kelingkingnya kemana? Iya ke kita sendiri. Aku sebagai ibu yang bekerja, kalo ditanya apa prioritasku sebagai seorang ibu, YA ANAK LAH. Pake ngegas pun. Terus kalo kerja anaknya gimana, ma? Dititipin neneknya/daycare. Ehehehe. How bullshit are we?


Jangan sedih, ibu rumah tangga yang 24/7 sama anaknya terus. Kalian kalo bapaknya anak-anak dateng langsung scrolling media sosial, nonton drakor, nyalon, sama aja kali. Me time menjadi prioritas demi kewarasan diri. Dan itu nggak dosa bun. Kita bukan lah godhong sawi. Kita manusiawi.


Nah, sampe sini ada yang benar? Ya tentu benar. Masih kurang contohnya? Misal Lee Tae Oh, bilang ke Da Kyung kalo dia dan lil Jenny adalah prioritasnya saat ini. Wuhuu mamam lah tu. Setelah bercerai pun Tae Oh nggak bisa lepas dari Ji Sun Woo alih-alih karena hak asuh anak, ternyata belum move on juga. Ini udah pada nonton The World of The Married kan? Yang belum, ya udah ga mudeng paragraf ini. Skip boleh. Ehehe


Jadi harus gimana menghadapi balada prioritas ini, jenderal? Jadi gini..
*benerin kacamata*
Let's talk about the clarity of priority it self. Ini soal mindset kita tentang prioritas sih yang perlu diperluas. Ya memang harus mundur beberapa langkah dari objek prioritasnya biar bisa liat sudut pandang yang lebih luas buat menyikapinya. Jadi mulai dari lihat diri sendiri dulu. Karena kadang kan kita menuntut untuk jadi prioritas seseorang yang kita sendiri prioritaskan, bukan? Kita proyeksikan dulu, gimana wujud nyata prioritas yang kita labelkan ke suatu hal/seseorang.


Misal ke pasangan, apakah dalam keadaan apapun kita akan mengutamakan pasangan? Kalo ada selisih paham dengan orang tua, dengan relasi kerja, atau mantan bahkan, kita akan selalu mendahulukan kepentingan pasangan kita? Mikir kan lo.. lihat-lihat dulu masalahnya apa itu udah satu hal, belum hal-hal yang lain, tapi yang pasti.. ketika kita mencintai pasangan, pasti kita akan memikirkan dan memberikan yang terbaik buat dia, bukan?


Sedangkan proses mengurai masalah, menentukan sikap, mengambil langkah, nggak selalu selaras dengan apa yang kita prioritaskan. Entah itu kita harus menenangkan orang tua dulu, atau menyelesaikan secara profesional dengan rekan kerja dulu, bahkan meminta maaf dulu atas sikap cemburu buta pasangan kita ke mantan? Hmmm.. Interesting.


Sebaliknya kita juga harus bisa mengerti bahwa kita juga tidak selalu bisa menjadi prioritas pasangan, yang kita perlu tahu dan yakini, kita adalah orang yang penting baginya, dan percayakan saja ia akan mengambil sikap as the best as they can do and give for us. Simple? Oh tidak juga. Sering membuat hati mencelos pun. Tapi memang seperti itu kenyataannya. Come on, jangan double standard. Kalo kita ternyata nggak melulu menjaga hal/seseorang dalam prioritas utama, ya jangan terlalu keras menuntut itu.



Satu hal yang bisa kita prioritaskan adalah paham akan diri sendiri. Berbeda dengan egois. Karena dengan mengerti kemauan sendiri kita bisa mengambil sikap yang tepat untuk orang lain. Dengan percaya posisi kita bagi seseorang, kita bisa lebih sadar bahwa seseorang itu bakal ambil sikap yang sesuai dengan apa yang kita percayakan kok. Meski nggak harus sak deg sak nyet. Toh keinginan kita nggak harus terkabul di detik pertama kok, let the force be with you. Nomorduakan ekspektasi tentang prioritas itu sendiri, utamakan memahami diri dan keadaan.


Contoh lagi ini biar mudeng, misalnya aku pengen dirawat abang pas lagi sakit berat, barengan ketika abang harus meeting penting dengan orang jauh-jauh dari luar kota. Nggak bisa ditunda. Kalo aku prioritas HARUSNYA abang milih ngerawat aku daripada kerjaannya. Tapi ternyata kerjaan ini nggak bisa ditunda.


Coba turunin dikit aja deh ekspektasi tentang prioritas : aku sedang sakit dan butuh dirawat. Jadi solusinya, minimal harus ada yang gantiin abang buat ngerawat aku. Abang yang coba cariin deh biar lebih keliatan effort nya, habis itu setelah meeting abang pulang ninggalin kerjaan yang bisa ditunda. Bawain obat atau apapun keperluanku buat ikhtiar sehat. See? Lebih enak dibaca kan daripada harus keluar kata-kata “kamu tuh ga pengertian banget sih, aku sakit setahun sekali aja kamu nggak bisa nemenin!” uh oh.. backsound : “Ku menangiiiss membayangkan.. betapa kejamnya dirimu atas diriku~”


That’s all. Udah cukup panjang aja tulisannya meski waktunya singkat. Aku tutup pake quotes yang baru aku bikin sendiri deh. buhbye!



The way to remain the top priority is not to prioritize the priority itself.


Love,


Chely



Kamis, 11 Juni 2020

DOUBLE STANDARD



Setiap orang punya prinsip yang berbeda-beda, dan itu wajar banget yah.. Karena prinsip terbentuk seiring dengan seorang itu tumbuh dan mengalami berbagai macam proses hidup yang berbeda pula. Ini juga yang membuat setiap orang itu unik. Nggak ada yang identik rasanya kalau soal prinsip.

Masalah prinsip ini lah yang mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain. Entah orang tua, pasangan, temen, bos, siapapun itu. Mungkin kalo anak-anak belum punya prinsip yang kuat, belum ngeh juga pastinya, justru kita sebagai orang tua berpengaruh banget dalam pembentukan prinsip anak melalui pola asuh yang kita terapin selama ini. Aku aja baru yang bener-bener ngeh punya prinsip sendiri rasanya sejak lulus SMK deh. Karena  dulu jaman masih sekolah meski udah cukup mandiri tapi tetep aja beberapa keputusan harus nurut orang tua kan..

Sejak kerja dan menghasilkan uang sendiri, beli apa-apa sendiri, nanggung kebutuhan sendiri, jujur aja bikin aku ngerasa lebih PD buat nerapin prinsip-prinsipku. Hal ini juga yang sempet bikin perang dingin sama ortu. Aku sibuk kerja dan kuliah, jarang dirumah kecuali buat tidur. Wajar emang kalo saat itu komunikasi dirumah pun memburuk, ditambah nggak ada yang tau gimana caranya apalagi memulai untuk memperbaiki.

Aku anak yang cukup keras kepala dan berkemauan kuat sejak kecil. Tapi bener-bener aku tunjukin lebih lagi setelah aku mandiri secara finansial. Dan ini sama sekali bukan niat untuk lupa diri atas jasa-jasa orang tua, atau menyombongkan diri karena udah bisa mandiri. Not at all. It’s just natural feelings to feel, rite?

Kita bukan anak durhaka hanya karena kita ingin menjalani hidup sesuai dengan keputusan dan dengan resiko yang kita tanggung sendiri kan? Ada masanya memang seorang anak terlepas dari tangan orang tua. Toh memang setiap anak adalah subject, individu yang berdiri sendiri. Tapi rasanya emang anak dan orang tua pasti punya banyak sekali sudut pandang yang berbeda ya? Pengalaman ini bakalan aku pake untuk pengingat diri sendiri buat ngadepin Zac saat dewasa nanti.

Yang mendasari perselisihanku dengan ortu biasanya karena perihal double standard. Mereka melarang ini, menyalahkan itu, tapi mereka sendiri nggak sadar kalo apa yang mereka permasalahkan itu ternyata mereka sendiri lakuin. Aku jadi bingung harus bersikap gimana kalo ngadepin prinsip yang berubah-ubah perlakuannya. Rasanya kayak serba salah, semua-semua aku lakuin kayak salah terus.

Ada pengalaman yang sampe sekarang aku inget banget. Pas aku masih SMP, jaman HP masih monokrom, SMS masih 350 rupiah. Dulu aku punya nomer HP yang cukup cantik, tetiba aja Bapak nyuruh aku ganti nomer. Pas aku tanya alasannya, bapak nggak jelasin apa-apa. “wis pokoknya seli ganti aja!” dengan muka merengut tanda aku nggak boleh nanya lagi. Dongkol banget rasanya waktu itu. Just WHYYY?!

Aku ngerasa memiliki hak penuh atas nomer HP ku itu. Tapi aku ngerasa diperlakukan nggak adil. Hanya karena aku seorang anak apakah aku nggak punya hak penuh atas barang yang aku miliki? Aku nggak suka emang ganti-ganti nomer dari dulu. Masih inget banget rasanya. Dan sampe sekarang pun aku nggak tau apa alasannya bapak nyuruh aku ganti nomer tiba-tiba. Hal sepele emang, tapi ternyata bisa jangget banget dihati.

Dulu-dulu aku cuma bisa diem, tapi nggak bisa ngapa-ngapain selain akhirnya ngelakuin hal sesuai kemauan mereka meski nggak sesuai sama hatiku. Entah sejak kapan aku baru paham kalo aku ngerasa, apa yang mereka harapkan dari aku nggak berbanding lurus dengan apa yang mereka terapkan ke diri mereka sendiri. Terlalu banyak dicecar ini itu, tapi ngerasa diriku nggak pernah didengar.

Ternyata antara pikiran, perkataan dan perbuatan harus sejalan biar suatu hal bisa masuk ke telinga, diproses otak untuk diingat, dan disimpan dihati untuk dihayati. Ciahhh.. bagus banget bahasa gua tepok tangaaann. Prok prok prok!
*dilempar pengki*

Aku mungkin baru melewati tahap “ngeh” tentang apa-apa yang aku jadiin prinsip, masalah penerapannya ini juga masih belajar terus. Tapi emang tahap “ngeh” itu penting banget loh! Soalnya banyak banget orang yang masih nggak ngeh kalo lagi double standard. Gimana mau ngerubah kalo ngeh aja nggak kan?

Misal kita pengen punya anak yang cerdas, tapi kita ortunya selalu matahin pendapat dia, selalu ngerasa lebih tau segalanya, kita maksa dia buat ngikutin pendapat kita. Nggak make sense kan? Atau kita berharap punya suami yang selalu jujur, tapi kita selalu ngomelin hal-hal nggak penting. Kita nggak mau kompromi sama kemauan suami atas hal yang nggak sesuai dengan yang kita expect. Of course dia lebih milih buat nyembunyiin hal-hal kecil atau bahkan berbohong daripada harus bertengkar gegara hal sepele.

Contoh terakhir, suami pengen punya istri yang dandan rapi meski dirumah, wangi, nggak berubah dari jaman sebelum nikah sampe punya anak 4. Ya dikasih uang buat perawatan dong, bantuin kerjaan rumahnya, kalo mampu ya pake asisten dan baby sitter, make it balance lah pokoknya. Nggak ada yang sempurna kan? Do you get it? Semuanya tuh kudu seimbang. Tentukan prinsip dan sesuaikan penerapannya. Do it consistently.

Jadi apa yang kita mau dapetin, ya pantesin diri. Perlakukan orang lain sesuai dengan gimana kita ingin diperlakukan. Prinsip ganda ini deket banget sama nilai-nilai moral kehidupan disekitar kita. Yang intinya sebuah ukuran seakan jadi berbeda ketika subjeknya berbeda. Banyak banget quotes yang sesuai sama tema double standard ini. Tapi aku pilih satu yang paling sarcastic buat mengakhiri tulisan ini. Biar nampol. Ehehehe


“Don’t get mad when I pull a YOU on YOU.” 
-unknown-



Love,

Chely

Rabu, 06 Mei 2020

MY OWN BATTLE




FYI, ini draft dari bulan Desember 2019 belum kesentuh lagi. Karena emang hari-hari setelah itu kayak full banget. Sampe rasanya seringkali harus nyari-nyari distraksi untuk "escape" barang sebentar demi menjaga kewarasan. Sekarang ini dibilang udah selesai juga belum bisa, karena efek dominonya masih terasa. Tapi karena ini konteksnya hanya membahas soal pengalaman trauma masa kecilku yang bisa dibilang sudah bisa terlewati, so.. here we go.


Sebelumnya aku pernah menulis tentang pergolakan ku melawan trauma masa kecil. Aku sudah mencoba untuk memaafkan hal-hal pahit yang mempengaruhi kehidupanku setelah menikah dan punya anak. Dan ternyata bagiku, sebuah validasi sangat lah berarti.

Sebelum lanjut bisa baca ini dulu : Trauma masa kecilku


Sekitar 2 minggu lalu aku tertimpa musibah terbesar dalam hidupku. ter-BESAR, selama 25 tahun aku hidup. Yang aku ga pernah sangka bisa terjadi dihidupku yang aku tata sebaik mungkin, karena emang masalah ini nggak dateng dari aku pribadi. But I have to do responsible with it. Like I REALLY have to. Dan aku ga bisa menceritakan masalahnya, karena selain masalahnya belum selesai, aku juga belum memutuskan dan menemukan manfaatnya kalaupun aku buka disini.


Long story short, karena ada masalah ini akhirnya aku speak up tentang uneg-uneg yang terpendam sejak lama ke ortu. For the first time. Aku yang selama ini mencoba mengubur rasa sakit, rasa tidak terima, tiba-tiba menunjukkan segala luka terdalamku. Bahwa aku masih merasakan sakit itu, bahwa aku ingin mengatakan inilah aku yang sesungguhnya, inilah aku yang tidak mau di doktrin, inilah aku yang punya cara pandang yang berbeda, inilah aku yang tidak bisa menerima perlakuan tidak baik, inilah aku yang menuntut perlakuan yang aku harapkan, inilah diriku yang bisa merasa sedih, lemah, menangis, terpuruk. Inilah diriku seutuhnya yang ingin didengar.


Awalnya ortuku alot, mereka tidak benar-benar mendengarkan. Mereka hanya kekeuh dengan prinsip bahwa ortu tidak pernah berniat buruk kepada anaknya. Tujuan mereka baik. Hell I know that. I fuckn now that. Tapi itu tidak bisa menjadikan alasan pembenaran atas perlakuan dan sikap yang salah.

Karena terlanjur ungkapin, aku berusaha untuk tidak mempersulit keadaan yang sudah sulit. Aku tau mereka kaget kenapa aku malah ngungkapin hal ini ditengah masalah besar saat itu. Aku bilang kalau aku cuma pengen didengar. Aku pengen mereka tau apa yang aku rasain. Karena selama ini aku selalu mengikuti apa yang ortuku bilang tanpa membantah hanya karena takut menghadapi konflik, takut dibilang anak durhaka, takut dicap anak yang suka ngelawan, takut ortuku tersakiti karena aku mengemukakan pendapatku yang berbeda.


That was so totally emotional for me. Ungkapin hal-hal yang sudah lama terpendam sangat menguras emosiku. Ibuk cuma bisa telungkup di sofa sambil nangis, bapak diem nunduk sambil berusaha mendengar dan mencerna semua yang aku ungkapin. Aku mengeluarkan segala sisi kelemahanku, menangis, memeluk Bapak dan bisikin sambil sesenggukan, "Kapan terakhir kali Bapak tau, nanya gimana perasaan Seli? Seli bisa nangis pak, Seli nggak selalu kuat, Seli nggak selalu pengen nurut,  Seli keras kepala, Seli selalu punya pendapat sendiri, Seli kangen digendong Bapak, Seli sayang Bapak" Dan pecah.. Tangisanku sakit banget dihati rasanya.


Bertahun-tahun pelukan hanya sebagai syarat momen halal bihalal saat lebaran, nggak ada feelnya. Akhirnya pelukanku dibalas dengan tangan bapak yang mengelus kepala dan punggungku, sangat terasa perasaan rikuh, sakit, dan hangat lebur jadi satu. Bapak bilang, "Bapak tau.. Bapak juga sayang Seli. Bapak nangis pas tahajud malam sebelum Seli Akad nikah. Tanggungjawab Bapak diambil Yockie suamimu. Bapak merasa kehilangan. Maaf kalau Bapak banyak salah sama Seli.."


Kalimat penutup yang seakan meruntuhkan The Great Barrier Wall dalam diriku. Cukup dengan satu permintaan maaf yang mewakilkan diri jadi penyembuh segala luka yang menjadi trauma menahun. Yang menciptakan jarak antara aku dan orang tuaku, yang membuat aku tidak betah tinggal dirumah. Dan memang privilege kayak gini aku dapat dengan cara  yang nggak mudah juga. Aku bisa menyelesaikan masalah dengan orang tua ku melalui datangnya masalah kebangkrutan terbesar. Harus tetap bisa mensyukuri hal baik dalam setiap hal buruk yang terjadi. Aku percaya hikmah selalu ada.



Disini aku cuman berniat sharing pengalamanku, aku yakin banyak sekali yang juga punya pengalaman yang sama, ada yang kadarnya lebih ringan dan bahkan lebih berat dari  yang aku alami. Setiap orang juga punya jalan berbeda dalam menghadapi trauma masing-masing. Mungkin ada yang akhirnya bisa menyembuhkan traumanya dengan melakukan sesuatu dan dapet kesempatan kayak aku, mungkin juga ada yang nggak punya kesempatan untuk speak up, yang jelas.. kita nggak boleh mengecilkan apa yang orang lain hadapi. We never know what other people are dealing with and how it feels.


Yang jelas, aku sebagai seseorang yang juga pernah punya pengalaman traumatis ingin selalu merangkul semua orang yang punya pengalaman yang sama. Kalian pasti punya cara tersendiri untuk terus tumbuh dan memotong rantai trauma itu. Kalian nggak akan membiarkan rasa sakit masa lalu mempengaruhi hidup kalian dimasa depan. Kalian nggak akan meneruskan perlakuan buruk yang kalian pernah terima kepada anak-anak yang berhak punya potensi kehidupan yang lebih baik. Semoga kalian selalu menemukan diri kalian lagi dan lagi, meski harus melawan rasa trauma itu setiap hari. Jangan menyerah ya.. Janji?



Love,


Chely

Senin, 27 Januari 2020

TANTRUM



Apasih yang paling sering bikin kita bertengkar dengan pasangan? Kalo pengalamanku sih karena lagi sama-sama capek. Capek fisik maupun psikis berpengaruh banget loh sama cara kita bersikap. Nah karena capek itu hal yang wajar, jangan sampe kita nyesel ya karena menyikapi sesuatu dengan cara yang salah. Jadi jangan cuma meyakini bahwa capek itu hal yang wajar, tapi cari juga cara buat antisipasi ketika kita lagi capek dan harus  menghadapi kondisi yang butuh kewarasan diri.


Beberapa hari ini Zac lagi kumat-kumat lagi fase threenager nya. Nangis-nangis drama minta dipakein lagi baju  yang basah, minta ke rumah ibuku pas udah jamnya tidur buat ngulur-ngulur waktu doang (FYI aku tetanggaan sama rumah ibuku tapi pas itu udah jam 10 malem keatas dan Zac punya rules yang udah disepakati sama dia bahwa jam 10 harus udah didalem kamar entah itu mau ngobrol-ngobrol, baca buku atau aktifitas apapun sebelum tidur), pokoknya hari-hari diisi dengan tangisan memble karena hal-hal random yang diminta Zac.

Ceritanya sebut aja hari ke-1 ini aku dan abang sama-sama pulang kerja dan Zac menyambut dengan rewelnya. Nangis kenceng sambil berulang kali bilang kerandoman yang dia pengen. Terus aku cuma duduk didepan dia nungguin dia nangis dan bilang, “nggak semua yang Zac pengen harus mama turutin”, dengan nada yang datar dan tegas. Disaat itu abang yang nggak ikut handle Zac malah ikut ngomelin Zac “Doh Berisikkkk!!!”, mulai sadar bayi gede ikut rewel akhirnya abang aku suruh keluar rumah dulu aja biar daripada aku kewalahan dan ikut rewel juga.

Sedangkan Zac makin nangis ngulang-ngulang lagi pengennya dia, dan aku pun juga ngulang lagi bilang bahwa nggak semua yang dia mau harus mama turutin, kalo Zac kecewa silahkan menangis, kalo Zac mau peluk mama akan peluk, kalo Zac mau sendirian dulu silahkan nangis dikamar. Alhasil aku disuruh keluar dari kamar sama Zac sambil nangis-nangis kek sinetron. Sebelum nutup pintu kamar aku bilang sekali lagi “mama tunggu Zac didepan kalo nangisnya udah selesai”.

Aku dengerin sayup-sayup Zac nangis sambil ngomel ga jelas kedengerannya. Dan beberapa saat kemudian dia keluar kamar minta pangku aku. Kebetulan aku nunggu dia diluar kamar sambil nonton TV dan ada magic show, langsung aja aku alihkan perhatiannya ke TV, “wow Zac liat deh ada sulap keren banget, wahhh uangnya bisa hilang!” dengan ekspresi dan intonasi yang agak hiperbola. Dan berhasil. Dia nimbrung aja seperti nggak terjadi apa-apa sebelumnya. Meh.

Setelah nidurin Zac aku ajak abang ngobrol dong (dan  sedikit ngomel! Ehe..)
Jangan ikutan rewel kalo Zac lagi rewel, toh tadi aku yang handle karena kebetulan secara psikis aku lagi adem jadi bisa menyikapi dengan waras. Klo merasa berisik yaudah keluar rumah dulu, jaga jarak dulu, tapi ya ga perlu lama-lama dan kejauhan juga perginya, inget kalo ini anak tanggungjawab berdua, harus bisa saling bantu dan sama-sama dampingin dia. Ya karena siapa lagi yang paling bertanggungjawab, yang harus bisa ngertiin, kalo bukan kita orang tuanya. Masa kita yang udah hidup puluhan tahun mau minta dingertiin sama anak batita? Dan syukurnya obrolan saat itu bisa masuk ke abang. Jadi dia sadar dan minta maaf saat itu juga sama aku dan Zac.

Nah sekarang cerita hari ke-2 nih. Ceritanya aku pulang telat karena harus ketemu temen dulu, ada masalah yang harus dibahas. Pulang-pulang ditinggal tidur duluan sm abang, sekitar jam setengah 10 malem. Si Zac tetiba kumat rewel lagi nih. Nangis kenceng banget dirumah ibuku sampe kedengeran dari rumahku. Aku samperin lah, what’s going on.. Zac gamau digantiin baju tidur, maunya pake baju yang basah tadi. Aku coba bujuk baik-baik malah ngamuk dianya. Akhirnya aku gendong aja pulang kerumah sambil sekomplek keberisikan denger dia teriak nangis malem-malem. Karena susah banget kalo mau ambil sikap dirumah ibuku, yang ada makin ribet. U know lah..

Dirumah aku bawa Zac masuk kekamar biar nangisnya nggak ganggu tetangga. Abang kebangun dong. Aku saat itu ngerasa exhausted banget banget! Karena banyak banget masalah hari itu, ditambah pulang-pulang pengen curcol malah suami tidur, nggak sanggup mau ngadepin Zac dengan hati yang lapang. Udah penuh sesak euy toxicnya hari itu. Akhirnya abang yang handle Zac. Dan aku? Nangis dong dikamar. Huhuw ~

Nangis sambil dalem hati ngobrol sama Tuhan. Ya Tuhan.. ini ono ini ono obladi oblada bla bla bla.. mayan lama, 10-15 menit abang masuk dan nanya aku kenapa. Aku jawab nggak apa-apa. Karena ya emang udah agak legaan aja abis nangis dan curhat sama Tuhan. Tapi belum pengen ngebahas masalah hari itu. Sedangkan abang malah kayak sensi gitu makin nyerocos nanya dan bahas masalah dengan bahasa yang nggak ngademin banget. Malah nangis lagi lah aku woy. Etdah.

Terus Abang mulai emosi dan keluar, Zac tau aku nangis dan dia nanyain dengan lembuuuuuutt banget, mama kenapa kok nangis, terus dia minta maaf aja gitu tiba-tiba soalnya tadi udah rewel gamau ganti baju bobo. Wow sungguh rendah hati sekali Zac, dia kayak ngerasa bersalah gitu karena merasa ikut andil dalam bikin aku nangis. Terus dia usap-usap rambut sama pipiku, nenangin aku sambil hapus air mataku, dan natap aku dengan pandangan yang Wow begitu lembut bangetttt. Emang bener anak kecil itu sama dengan orang dewasa. Mereka mengerti.

Akhirnya aku mulai tenang dan dianter Zac wudhu buat sholat isya, dia juga ambilin aku minum sama selimut, wow wow wow. Daebak! Bangganya aku. Ngerasa berhasil jadi seorang ibu ketika anak bisa merawat kita dengan baik. Huhuhu terharuu.

Long story short aku tidur sama Zac dan abang tidur sendiri. Besok paginya when I feel better aku nyamperin abang dan peluk dia. Dia nyambut aku dan minta maaf. Aku jelasin permasalahan yang aku hadapin kemarin ke dia, kenapa aku saat itu ga bisa handle Zac as good as before, kenapa aku kemarin belum mau jelasin masalahnya, jadi ada saatnya aku pengen bahas masalah, ada saatnya aku pengen Cuma dipeluk, ada saatnya aku Cuma pengen ditanya “apa yang kamu rasain sekarang” bukannya “apa masalahmu”, dan kita baikan nah.. dan begitu Zac bangun langsung aku kasih tau juga kalo Ayah dan Mama udah baikan. aku tunjukin kalo kita udah sayang-sayangan lagi. Dan aku bilang terimakasih karena Zac udah nenangin mama kemarin.

Jadi apa nih intinya? Haha
Yah gitu. Jangan sampe masalah kita jadi pemakluman diri atas pelampiasan ke anak maupun pasangan. Harus punya alert sendiri atas apa yang sedang terjadi sama diri kita, eh gue lagi BT karena ini nih, eh gue lagi capek karena itu, jadi mending gue gini dulu deh biar anak / pasangan kita nggak kena pelampiasan. Dan baiknya udah komunikasiin ini jauh-jauh hari sebelum terjadi. Bahkan kadang emang harus mengulang kesalahan beberapa kali, namanya juga manusia kadang suka lupa. Yaudah nggak apa-apa belajar lagi. Tapi jangan sering-sering atuh, masa iya hari ini udah belajar besok udah lupa, setahun sekali kek.




Love,


Chely

Selasa, 14 Januari 2020

SELF-ACCEPTANCE





Salah satu alasan kenapa aku harus punya waktu untuk menyendiri adalah karena aku butuh mengobrol dengan diriku sendiri. Bisa dibilang proses introspeksi diri. Dan seseorang butuh suasana hening dan sendiri kan untuk bisa melakukan self-talk? Nggak ada waktu yang sengaja dijadwalkan sih. Kapanpun aku punya waktu sendirian pasti aku bisa nikmatin banget. Bahkan kalo aku berniat merencanakan sesuatu aku sering menumpahkan pikiranku ke dalam catatan. Misalkan aku lagi pengen bikin resolusi, atau parenting yang mau aku terapkan buat Zac, atau hal-hal yang pengen aku bahas sama abang tentang our marriage. Banyak hal lah.

Self-talk ini juga berpengaruh banget dengan caraku menghadapi masalah apapun. Misal aku lagi ada perselisihan alot sama abang, yang bikin perdebatan nggak menemukan jalan tengahnya. Aku pasti milih buat masing-masing saling berpikir dulu. Menganalisa apa inti masalahnya, apa tujuannya, apa yang diperdebatkan, apa yang dikorbankan untuk bisa kompromi. Kalo lagi gini kan aku berdebat dengan diriku sendiri, melawan egoku, melawan rasa penolakan diri untuk legowo. Karena aku dan abang sama-sama orang  yang berprinsip kuat. Jadi aku harus punya data yang kuat pula untuk meruntuhkan prinsipku. Dan hasil dari self-talk ini adalah self-acceptance. Penerimaan diri atas segala keadaan, kekurangan, hal-hal yang nggak sesuai harapanku.

Dan ternyata proses self-talk dan self-acceptance ini belum semua orang terbiasa lakukan yah. Padahal buatku pribadi, itu adalah cara untuk menghadapi masalah secara objektif. Biar kita nggak saling menyalahkan, nggak sekedar nurutin ego. Ada beberapa orang yang menyelesaikan masalah dengan menganggap masalah itu nggak ada. Jadi bukannya dicari jalan keluarnya, tapi sekedar di “skip” aja. Padahal dengan begitu kan the problems are still left behind. Pasti akan terungkit, akan menumpuk, bahkan kayak bom waktu. Meledak disaat yang nggak tepat.

Baca : my 4th anniversary

Contoh terdekatnya ketika pasangan lupa hari anniversary, ketika pasangan asik main HP pas kita lagi repot butuh bantuan,  atau pasangan malah ketiduran dan lupa angkat jemuran.. “kamu tuh SELALU egois, SELALU aku yang ngalah”, “aku tuh capek DARI DULU kamu bohongin terus”, “aku tuh KURANG APA sama kamu?”, “kamu tuh NGGAK PERNAH ngertiin aku”,  familiar sama kalimat-kalimat ini? Kalimat yang keluar ketika masalah merembet dari inti masalah sebenernya. Karena kita nggak sadar menumpuk masalah dibelakang tanpa pernah diselesaikan. Dan akhirnya terungkit disaat masalah lain yang harusnya dibahas.

Baca : Perbedaan kecil dalam rumah tangga

Makanya penting banget buat punya alarm ketika ada sesuatu nggak beres, harus mau menyadari bahwa ini adalah masalah, sekecil apapun itu. Entah ketika kita ngerasa kurang apresiasi dari pasangan, ketika ada kebiasaan buruk pasangan yang nggak kita suka, atau ada hal yang kita harapkan dari pasangan. Semuanya harus dikomunikasikan untuk bisa kompromi. Karena gimana pasangan tau apa maunya kita kalo kita nggak pernah komunikasikan? Ini berlaku juga diluar hubungan kita sama pasangan, bisa juga antara kita dengan anak, dengan teman, orang tua pun.

Dan hubungannya sebuah masalah dengan self-acceptance adalah agar kita bisa mengambil keputusan jalan keluar seperti apa yang kita ambil. Karena hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah melawan diri kita sendiri untuk kepentingan bersama. Kita harus bisa jujur dengan diri kita ketika kita melakukan kesalahan, dan ini susah banget kalo nggak kita latih. Perdebatan terjadi karena salah satu atau masing-masing saling melakukan pembenaran diri. Aku bisa ngomong gini bukan berarti aku udah expert ya, tapi aku juga masih belajar terus, masih sering salah pun, masih kasih kesempatan diri buat mencoba lagi memperbaiki diri, tapi proses mencari self-acceptance ini membantu banget buatku pribadi biar bisa lebih legowo dan jujur dengan diri sendiri.

Contohnya, aku yang punya trauma masa kecil yang berpengaruh banget setelah punya anak. Harus melewati proses panjang banget buat menyadari bahwa yang dilakukan Zac itu cerminan aku dan suami. Jadi ketika Zac nakal aku harus cari tau apa yang bikin Zac melakukan itu, ohh karena aku nemenin dia tapi pikiranku nggak beneran disitu sama Zac. Badanku ada dideket dia tapi pikiranku ke balesin WA meskipun soal kerjaan. Makanya Zac mencari perhatianku dengan nakal, biar perhatianku beralih dari HP ke dia. Ohh oke kalo gitu aku yang salah dong, harusnya kalo aku mau nemenin Zac main ya aku harus bener-bener main bareng dia, berekspresi yang seru, ngobrol dua arah tentang permainan itu. Harusnya aku bilang sama Zac kalo mau minta waktu bales WA sebentar terus taruh HP dan lanjut main lagi.

See? Beda banget ketika kita nggak bisa menyadari keadaan yang sebenarnya terjadi saat itu kan. Pasti kita marah kalo anak nakal padahal kita udah nemenin dia main. Malah jadi ngomel, menjudge / memberi cap nakal pada anak, bahkan bisa sampe menyakiti fisiknya (cubit, pukul, etc). Hanya karena kita nggak bisa memahami keadaan dan menerima kesalahan kita sendiri. Sayang banget kan kalo sampe hal itu membekas dihati anak.. huhuhuhuu.

Tapi ternyata ada juga yang mengecilkan rasa trauma orang lain. Yang merasa aku terlalu melebih-lebihkan kejadian masa kecilku. Ah gitu aja sakit hati, jaman dulu lebih parah, guru pukul pake penggaris gede, anak dididik keras itu biar kuat, anak dihukum fisik itu udah biasa. Itu adalah contoh orang yang nggak self-acceptance. Karena berarti dia nggak pernah merasa bersikap salah ke orang lain. Karena dia merasa disakiti secara fisik/psikis adalah hal biasa, otomatis dia juga terbiasa melakukan hal itu ke orang lain dan parahnya dia nggak pernah menyadari bahwa itu sebuah kesalahan. Artinya dia menyambung rantai kesalahan  atau melampiaskannya ke orang lain. Bukannya malah memutus rantai kesalahan tersebut.

Padahal kita hidup ini nggak ada sekolahnya, cara belajarnya ya dengan mengambil hikmah disetiap kejadian. Entah yang dialami sendiri ataupun orang lain. Jadi salah dan dosa itu manusiawi to, nggak apa-apa diakui saja. Karena langkah pertama kita sebelum berubah adalah menerima bahwa yang kita lakukan salah. Kalo kita nggak menyadari kita salah, kita nggak mungkin juga ambil langkah untuk berubah. Dan tentunya kita harus punya tujuan untuk menjadi lebih baik. Itu inti dari self-acceptance menurut aku.

To sum up, nggak apa-apa MELAKUKAN kesalahan, nggak apa-apa MERASA bersalah, nggak apa-apa MINTA MAAF, nggak apa-apa NGGAK TERLIHAT lebih baik dari orang lain, nggak apa-apa MENCOBA dari awal lagi. Jujur dengan diri sendiri dulu baru orang akan jujur dengan kita. Percaya aja kalo kita bisa menularkan virus kebaikan yang kita mulai dari diri kita sendiri.  Tanamkan jujur sama diri sendiri disegala hal, luangkan self-talk, temukan self-acceptance.


Love,

Chely

Sabtu, 06 Oktober 2018

BERDAMAI DENGAN MASA LALU


Kalian setuju nggak kalo aku bilang semua orang pernah punya dendam? Mungkin dendam secara tidak langsung. Karena dendam ini secara nggak sadar kita lampiaskan bukan kepada orang yang melukai kita secara langsung.



Kita semua terlahir suci dan murni kan? Tanpa mengetahui apa yang salah dan benar. Dan kita tumbuh seiring berjalannya waktu sembari mempelajari itu. Dari orang tua, saudara, lingkungan sekitar, bahkan orang lain. Dari apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasain sendiri. Nggak ada kamus salah dan benar yang ditulis oleh seseorang dan diterbitkan untuk dikomersilkan. Yang ada kitab-kitab agama, norma kehidupan dan hati nurani, yang membimbing diri kita dalam berpikir dan berperilaku.

Apakah beberapa kejadian ini terdengar akrab dengan kalian? Memukul anak atau wanita karena saat kita kecil sering dipukul atau melihat ibu kita dipukul. Memaksakan kehendak karena saat kecil kita hidup penuh dengan doktrin dan nggak punya hak bertindak sesuai kemauan sendiri. Tidak bisa setia dengan satu orang karena riwayat orang tua yang sering berganti pasangan. Sering berkata kasar karena sering mendengar pertengkaran orang lain. Suka membully orang karena kita pernah dibully dan melakukannya karena daripada menjadi korban lebih baik menjadi pelaku. Dan sebagainya.

Apakah kalian menyadarinya? Apakah aku menyadarinya?

Ya. Masa kecil yang membentukku menjadi pribadi yang tertutup dan keras, hingga belasan tahun kemudian. Yang aku baru pahami setelah aku dewasa, bahwa ternyata aku seperti ini karena masa kecil dilingkungan keluargaku. Chely kecil adalah anak yang pendiam dalam artian nggak banyak bicara tapi cukup lincah dan riang. Aku suka bergerak daripada bicara, manjat-manjat dan lari-larian daripada main dakon atau masak-masakan. Main bekel lebih males lagi. Mending olahraga, naik sepeda atau skateboard meski siang bolong. Item, kucel, tomboy.


Sejak punya adik kayaknya aku ngerasa nggak betah dirumah. Penginnya main sama temen-temen dan menghindari disuruh ini itu maupun dimarahin sama ibuk yang jadi sering capek. Entah kenapa ingatan masa kecilku dengan orang tua sejak punya adik kebanyakan adalah kenangan buruk. Salah dikit dimarahinnya ampun deh, apa dikit kena hukuman fisik (dipukul, dicubit, obladi oblada), belum ditambah bapak yang mulai kerja bolak-balik dari luar kota. Resiko menjadi pelampiasan bertambah ketika kedua orang tua sama-sama capek.

Itulah isi kepalaku selama belasan tahun yang semakin hari semakin memburuk. Karena sering mendapat perlakuan keras, akupun menjadi anak yang keras.  Walapun tidak hatiku. Ciaelahaii.. Yang ada dipikiranku hanyalah, sekolah yes, main yes, ibadah yes, tidur yes. Ngobrol seperlunya dengan adik dan ortu. Curhat sepuasnya dengan sahabat-sahabatku. Tiap ada yang ngajak main yukcus, palagi ada yang bayarin.. (((setset whet whettt))).

Aku sangat tertutup dengan orang tua, karena mereka nggak membuatku nyaman untuk membuka diri tentang hal terdalam dihatiku. Yang mereka tau aku sekolah dengan baik, bergaul dengan baik, ibadah pun baik.

Orang tuaku menilai aku adalah anak yang pemalas, pelupa, lemot, dan pasif. Justifikasi seperti itu sering aku dengar sendiri keluar dari mulut mereka. Padahal sering apa yang aku lakuin didepan mereka hanya untuk menghindari kesalahan. aku nggak mau dan berani melakukan kesalahan didepan mereka, makanya aku jarang bicara maupun bertindak. Bahkan mereka jarang tau masalah yang menimpaku. Aku nggak pernah bohong dalam arti membuat cerita palsu untuk menutupi sesuatu, aku hanya nggak cerita sama sekali kalo emang aku nggak pengen ortu tau akan suatu hal, which is a white lies.


Contohnya saat aku pernah dibully secara nggak langsung dengan separuh penghuni kelasku lebih dari setahun. Karena aku emang sengaja nggak cerita, biasanya aku baru cerita ketika ditanya atau setelah masalahnya udah aku selesaiin sendiri. Atau saat aku backstreet pas punya pacar si A karena emang aku nggak serius, tapi aku jalaninnya juga mulus-mulus aja dalam arti aku nggak selingkuh or diselingkuhin dan akhirnya putus karena masalah receh.

Kurang lebih sampai aku menikah dan punya anak, rasa memaafkan masa lalu itu berangsur-angsur datang seperti air yang membasuh hatiku. Ketika  aku merasakan belajar menjadi orang tua, rasa maklum mulai menyembuhkan luka yang lama terpendam. Sejak aku dilarikan ke UGD pas pembukaan ke-2 sebelum lahiran hingga proses lahiran selesai, sampai rasa keibuanku yang mendadak timbul dengan sendirinya dan terus bertambah setiap hari. Aku merasa hubunganku semakin membaik pula dengan orang tua.

Sebenarnya mungkin aku orang yang juga cukup sabar dalam menyimpan lubang dihatiku sendiri. Aku nggak pernah melampiaskannya melalui perbuatan yang merugikan orang lain dengan tindakan maupun lisanku. Aku hanya menjadi orang yang sangat tertutup demi melindungi hatiku sendiri. Aku ngerasa haus akan perhatian orang yang lebih dewasa dariku. Aku selalu pengen ngerasain punya kakak. Dan itulah yang aku lakukan sepanjang memenuhi lubang hatiku, mencari teman dengan dalih memenuhi rasa pengen punya kakak cowok.

Aku juga nggak terlalu suka anak-anak. Bukan yang sampe nggak pengen punya anak. Tapi beneran dulunya aku orang yang nggak bisa luwes ngemong anak kecil. Karena ngemong adek pun jarang. Aku baru lumayan deket sama adek setelah dia bukan bayi dan balita lagi. Mungkin sekitar seusia SD dan bisa diajak seru-seruan main bareng. Sebelum itu aku ngerasa jadi kakak hanyalah status yang menjelaskan aku harus mengalah dalam segala hal. Ngalah tentang hal channel tv, ngalah aku yang harus belajar sendiri karena ortu ngajarin adek, ngalah tentang keinginanku yang nggak terpenuhi sedangkan adekku terpenuhi karena dia lebih vokal (nangisan), ngalah yang nganter dia kemana-mana (sampe sekarang dia segede gaban pun), harsh.

Dalam hatiku yang paling dalam tetaplah sebagai kakak yang sangat bertanggungjawab dan sayang sama adeknya. Aku nggak melampiaskan apapun ke adekku. Justru aku ngelindungin dia waktu kecil dan jadi kena pukul pas sapu ibu melayang, aku juga yang ngajak dia belajar perkalian didepan rumah karena dia dimarahin sampe nangis pas belajar sama bapak, aku yang tau seleranya dalam hal fashion maupun makanan, aku yang ngehibur dan ngajak hangout kalo dia lagi tengkurep dikamar.

Diawal punya baby Zac, drama-drama riweuhnya reminds me to my mom. Why did I scream out when he cried so loud constantly, why can’t I handle it patiently,  why did I wanna do violence to him, it’s so stressed me out. Kenapa aku begini? He is just an innocent baby. Dan disitulah aku sadar, I haven’t forgiven my childhood yet.

Dan aku belajar untuk menerima semua yang pernah terjadi, I tried to embrace that feelings, nobody is perfect, so are my parents. Menjadikannya sebuah pelajaran dan mengambil hikmah, bahwa aku bukanlah orang tuaku dan baby Zac bukanlah aku. Aku bertindak dengan tangan dan hatiku sendiri. I determine consciously, what I have to do and don’t. Aku harus lebih baik dan memberikan yang terbaik untuk Zac. Aku nggak boleh memaksa Zac hidup dan merasakan hal yang pernah aku rasain.

Tapi beberapa tahun belakangan aku juga bersyukur, karena dengan semua yang terjadi aku menjadi pribadi yang kuat, disiplin, mandiri, pun merasa dekat dengan Tuhan karena aku sering menumpahkan perasaanku lewat doa selain menulis diary. Dan emang Tuhan nggak pernah meninggalkanku selama ini.

Sebelumnya aku pernah bilang tentang memaafkan, bahwa memaafkan adalah cara untuk kita berdamai dengan diri sendiri sebelum dengan orang lain. Cara untuk melepaskan beban yang memberatkan kita untuk maju kedepan. Cara terbaik untuk membalaskan dendam bahkan bila tidak ada yang meminta maaf meskipun telah melakukan kesalahan kepada kita. Dengan memaafkan, kita melepaskan diri dari rasa sakit dimasa lalu sekaligus dari rasa trauma yang akan kita lampiaskan kepada orang lain dimasa kini dan masa depan.


Memaafkan membuatku menjadi ibu yang lebih baik untuk zac. Lebih bisa menyesuaikan diri hidup dengan suami yang punya kehidupan sebelumnya yang pastinya berbeda dari aku. Menjadi lebih dekat lagi secara hati ke hati dengan orang tuaku. Mengingat lagi lebih dalam, bahwa banyak sekali hal-hal indah yang juga terjadi dimasa lalu dalam hubungan keluargaku yang selama ini tertutupi oleh rasa sakit yang lama terpendam dalam diam. Membuat aku merasa menjadi orang yang baru dan jauh lebih baik kedepannya.

Aku juga berharap, semoga kalian semua juga bisa memaafkan masa lalu, dan tidak melampiaskan rasa sakit itu kepada orang lain.



Love,

Chely

Selasa, 25 September 2018

JUJUR DENGAN ANAK




Gara-gara semalem sempet ngobrol yang quality topic sama Abang, aku jadi bahas tentang jujur dengan anak. Jujur  tentang kalo orang tuanya ini nggak sempurna. Sebagai pelajaran hidup yang nyata untuk dia. Bahwa orang tuanya ini ingin Zac nggak begini karena dulu mama begini, Zac jangan melakukan itu karena dulu ayah pernah begitu. Mama dan ayah bisa seperti ini bukan karena kami sempurna dan tau segalanya, tapi karena kami pun juga pernah bersalah, belajar, berproses dan berusaha jadi lebih baik.

Aku lebih dominan dalam memikirkan sesuatu yang terarah untuk anak. Mungkin karena aku sekarang seorang Full mom yang bisa fokus dengan keluarga khususnya anak. Dan aku selalu brandstorming sama abang sih gimana-gimananya biar bisa kompromi. Trus kemarin aku bilang kalo aku mau jadi orang tua yang anak bisa nyaman cerita apa aja, terbuka sama aku tentang semuanya. So, aku pengin kita sebagai orang tua juga harus terbuka sama anak.

Contohnya aku nggak mau kalo misal Zac gede nanti dia diem-diem ngerokok dan aku nggak tau. Aku orang yang anti banget sama rokok padahal dari kecil Bapak ku bekerja di perusahaan rokok. Bahkan abang nggak pernah merokok didepanku sejak menikah walaupun belum berhenti juga sih. Tapi aku pengen banget kalo Zac nanti memutuskan merokok, aku jadi orang pertama yang tau itu. Dan itu berlaku dalam segala hal.

Aku tau nantinya aku nggak berhak mengatur hidup Zac. Aku nggak bakal bisa ngelarang ini itu kalo Zac udah besar. Tapi setidaknya aku akan maksimal dalam membimbing dan mengarahkan Zac bahwa merokok itu hal yang nggak bermanfaat sama sekali, malah merugikan kesehatan dia, uangnya pun bisa dipake yang lain, dan waktu luangnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat daripada merokok, pokoknya aku berusaha membuat dia bener-bener sadar akan pilihannya sebelum dia hanya bisa menyesali dan menyalahkan ketergantungan zat adiktif dalam rokok.

Abang dulu pernah salah pergaulan. Bisa dibilang hampir semua kenakalan remaja pernah dilakuin, hhhh.. bukan tipeku banget pokoknya. HAHAHA. Tapi abang ngelakuinnya bukan karena kurang perhatian. Mungkin lebih ke dia itu dulunya mudah sekali terpengaruh ditambah terjebak dipergaulan yang salah. Karena menurut cerita abang dia ngelakuinnya dengan sepengetahuan Ibunya. Dan pas aku nanya apa yang dilakuin ibunya, beliau Cuma bisa nangis. Mungkin karena abang sudah diusia anak yang sudah nggak bisa dipaksa nurut maupun dikerasin. Dan emang dia bener-bener lepas dari pergaulan buruknya karena pilihannya sendiri. Karena dia keinget ibunya nangis terus. God.. I can’t imagine if it happens to me..

Abang pun sepakat kalo dia pun mau jujur sama Zac tentang masalalunya. Dia nggak ingin meminta Zac harus begini begitu tapi suatu hari nanti entah gimana caranya Zac tau masalalu ayahnya dari orang lain atau dengan caranya sendiri dan membuatnya berpikir ‘ternyata Ayah yang selama ini menuntutku ini itu nggak lebih baik dari aku’ . Dan aku nggak bisa menjamin apakah Zac bakalan bisa nerima kalo dia tau belakangan. Apakah Zac nantinya akan bisa punya karakter yang cenderung stabil atau labil.

Aku berharap banget Zac nantinya tumbuh menjadi anak yang punya karakter. Dan untuk bisa mewujudkan itu aku sangat mengerti bahwa nggak semudah menjentikkan jari. Butuh melewati proses panjang dan terjal. Zac harus bisa melewati rintangan kehidupannya. Dan aku ingin dia selalu menyelesaikan masalahnya sendiri dalam hal menimbang mana yang terbaik dan apa hal terburuk yang akan terjadi ketika memutuskan suatu pilihan. Dia juga harus menyadari dan siap menanggung resikonya. Aku dan abang berperan sebagai pembimbing yang memberikan arahan berdasarkan pengalaman hidup yang sudah kami lalui.

Ada pepatah ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Itu 99% bener sih menurutku. Karena lingkungan keluarga yang paling berpengaruh dalam membentuk karakter seorang anak. Yang aku tekankan disini bahwa aku ingin Zac nanti menyadari bahwa dia bisa belajar dari pengalaman orang tuanya. Mengambil pelajaran positif dan membuang jauh-jauh hal yang negatif. Aku berharap Zac bisa memaafkan kesalahan orang tuanya, dan menyadari bahwa kami nggak sempurna, supaya dia nggak perlu mengulangi hal yang sama.

Jujur disini nggak melulu soal masa lalu dijaman Zac belum lahir sih. Tapi juga jujur pada masa sekarang. Misalnya Zac pernah di umur sekitar setahun keatas, disaat dia sudah bisa ngomong, pernah ngeliat aku dan abang bertengkar yang lumayan parah sih. Jangan ditiru ya gengs. Hiks. Sehabis itu dia ngomong ke aku kayak cerita gitu, “tadi ayah lempar-lempar HP. Nakal. Nggak boleh..” dengan logat pelatnya. Disitu aku cukup kaget sih. Ternyata selama ini nasehatku masuk ke Zac walaupun kadang dia keliatan antara nangkep omonganku apa nggak kalo dia lagi lemparin mainannya. Sekaligus merasa sangat bersalah dan malu banget, masa selama ini ngomelin dia ini itu tapi orang tuanya sendiri malah kasih contoh. Langsung deh aku minta maaf sama Zac. “maafin Ayah sama Mama ya Zac.. tadi Ayah marah terus Mama sedih, jadi mama nangis. Sekarang udah nggak sedih lagi kok. Maaf ya..”

Sejak itu sih aku langsung inisiatif minta maaf kalo aku bersalah sama Zac. Karena dia udah ngerti nasehat yang sehari-hari aku sampein ke dia. Dan dia mencerna melalui teladan orang tuanya. kalo aku dan abang sebagai orang tua melanggar sendiri, maka kita wajib dong minta maaf ke Zac. Supaya dia paham kalo emang hal itu salah makanya orang tuanya minta maaf sama dia. Dan alhamdulillah juga Zac selalu jawab IYA dengan nada riang kalo aku minta maaf. Bersyukur banget bisa punya Zac yang seperti ini. Jadi makin semangat terus belajar jadi teladan yang baik buat dia.

Kadang sebelum dia tidur kan aku selalu bacain buku cerita atau nyanyiin dia, kadang aku juga ngobrol sepanjang hari itu ngapain aja. Dan kalo hari itu aku marah-marah sama Zac aku bilang minta maaf udah marah-marah sama Zac tadi, soalnya Zac nakal nggak dengerin mama terus malah ngomel balik nggak berenti-berenti, trus akhirnya dia sendiri yang bikin moodnya rusak dan nangis. Dia sekarang kan lagi fase ngomel balik kalo dikasihtau yang bener. Calon kekeuh banget anaknya. Dan dia kayaknya ngerti sebenernya kalo dia salah. Cuman dia belum tau kekeuh yang bener tuh begimana jadi semua aja di eyelin.  Beuhh. Namanya juga anak-anak.

Jadi orang tua itu emang nggak ada kata buat berhenti belajar, dan luas banget kalo dibahas nggak akan tuntas. Yang menjawab adalah gimana jadinya anak kita nanti di masa depannya. Karena anak adalah titipan Tuhan yang menjadi tanggungjawab kita. Yang terpenting adalah kita nggak lengah sama tanggungjawab itu. Karena tanggungjawab itu nggak sampai separuh hidupnya kok. Paling setelah 20 tahun seorang anak udah penginnya lepas aja dari naungan wilayah orang tua.

Buat para emak-emak dan bapak-bapak, SEMANGAT!!!


Love,

Chely

Senin, 17 September 2018

SEX BEFORE MARRIAGE



Bahasan kali ini masuk kategori bimbingan orang tua kayaknya yah buat teenager.. karena aku mau bahas tentang sex before marriage. Why? Karena kemarin malem pas aku sama abang lagi beli diapers buat Zac di minimarket, ada sepasang muda mudi yang aku yakin masih usia 15-17 tahun ngeliat dari kumis tipis si cowok dan badan singset cenderung kerempeng si cewek, mereka cekikikan dan gelagat aneh berdiri disebelahku waktu bayar ke kasir, and guess what? Mereka beli alat kontrasepsi yang mejeng di etalase depan meja kasir.


Awalnya aku nggak ngeh, aku cuma ngerasa nggak nyaman ngeliat mereka bermesraan yang bener-bener aura meresahkan disebelahku sambil ngelirik kearahku yang lagi transaksi bayar. Mbak kasirnya aja juga keliatan risih. Baru dikasih tau sama abang pas udah dijalan mau pulang kalo mereka beli alat kontrasepsi instan itu. Dan yang aku pikirin detik itu adalah.. ibunya.

Ibu dari dua anak puber tipis-tipis itu. Mungkin kalo itu terjadi dimasa aku belum punya anak aku bakalan yang nggak peduli sama sekali karena toh kenal aja enggak. Tapi kemarin beneran yang aku sampe bengong sepanjang jalan wondering gimana kalo aku jadi ibunya, gimana kalo sampe anak gue yang begitu. Dan berlanjut sepanjang hari tadi mulai dari bersih-bersih rumah, setrika baju, masak, nyuci piring, aku masih sambil yang ngomong sendiri dalam hati. Akhirnya aku mutusin buat bahas ini di blog dengan sudut pandang seorang ibu.

Tolong dibaca dari awal sampai akhir ya biar kalian ngerti dan nggak salah paham kalo aku disini sama sekali nggak menjudge ataupun menggurui. Aku justru ingin merangkul. Aku nggak bisa cuek kayak dulu gitu aja, dan sekalian juga biar tulisan ini bisa dibaca Zac kalo udah gede. Sebenernya banyak kasus begini dari dulu disekitarku. Tapi I didn’t feel anything ketika dapet berita si ini nggak perawan, si itu nggak perjaka, si anu hamil duluan. Sekedar oh.. ehm.. skip. Karena aku nggak berminat ngomongin or judge orang itu. Idk why sejak kemarin malem aku beneran liat sendiri pelakunya lagi mau praktek ena-ena aku jadi miris. Pengin yang melakukan sesuatu tapi nggak tau gimana. Nggak mungkin aku mau cegah mereka dan tiba-tiba ceramah kan?

So aku mau sharing aja, menuangkan pikiranku, pendapatku, saranku, disini. Aku sebagai seorang ibu akan berusaha mendidik anak mengenai seks sejak dini. Sudah banyak kok artikel dan tulisan tentang ini. Tinggal kita sebagai orang tua memahami bahwa pendidikan seks itu penting. Jangan dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan sama anak. Ini sama sekali beda dengan cerita mesum. Kita nggak ngajarin hal yang porno. Justru awal pendidikan seks ini harus diajarkan oleh orang tua. Bukan guru IPA disekolah yang hanya menjelaskan sistem reproduksi

 Aku belum ngobrol lebih jauh sama abang tentang ini sih karena Zac juga masih kecil banget. Aku yang masih Cuma ngajarin nama bagian-bagian tubuhnya dengan benar. Contohnya aku menjelaskan bahwa yang untuk pipis itu namanya penis, bukan pake istilah burung, titit, or any other. Dan itu bagian yang nggak boleh dilihat orang. Alhamdulillah dia udah bisa ngerasa malu sama orang kalo nggak pake diapers dan celana.

Kali ini aku mau brainstorm aja tentang logika dan realita yang terjadi sama pelaku SBM. Aku bahas yang ngelakuinnya dengan sukarela ya, azas sama-sama suka. Bukan sebuah kasus pelecehan seksual or syndrome akibat pengalaman traumatis karena itu wilayah dan butuh bantuan psikolog/psikiater. Juga bukan bahas tentang kupu-kupu malam karena itu adalah pilihan sadar mereka.

Kira-kira apa sih alasan seorang wanita mau menyerahkan virginity nya? Cinta?  Terus apa cinta itu bisa bikin kalian dijamin dapet pertanggungjawaban? Banyak tuh yang setelah hamil ditinggal lari, disuruh aborsi, bahkan dibunuh. Yang dinikahin juga banyak. Tapi yang pernikahannya nggak langgeng pun banyak. Karena alasan menikah itu karena siap lahir batin, bukan karena hamdul.

Once again I am not judge anyone. Aku cuma mau mengembalikan logika para pemuja cinta. Cinta itu perasaaan yang suci guys. Jangan mengambil/menyerahkan kesucian atas nama cinta. Buat para wanita, kira-kira apa kalian mau menyerahkan virginity meskipun nggak dinikahi? Apa kalian berpikir akan putus sama doi setelah kalian digagahi? Aku yakin banyak sekali yang menyesal setelah nggak virgin lagi. Banyak sekali yang hidupnya hancur. Memilih mengulangi lagi dan lagi karena terlanjur melewati batas. Toh nggak ada perbedaan sekalinya sudah jebol pertahanan. Hanya karena satu kebodohan yang membuat benci sama diri sendiri dan merusak hidup selamanya.

Buat para lelaki, kira-kira kalian mau nggak lahir dari peristiwa MBA beserta resiko sosialnya? kalo kalian punya adik or anak cewek mau nggak diambil virginity nya duluan sama kekasihnya? Ada nggak cita-cita punya menantu brengsek? Or punya cucu yang ditinggal lari bapaknya?

Dulu jaman SMA ada temen cowok yang curhat kalo keperjakaannya diambil sama ceweknya. Shit dalam hati gue napa dunia tebalik dan napa dia curhat sama gue. Mungkin beberapa dari kalian ada yang bakalan marah ketika ada temen cowok yang cerita begitu ya. Tapi emang ini temen yang sering curhat sama aku dulu. Bukan temen yang jarang ngobrol ujug-ujug cerita begituan. Dan aku orang yang realistis banget. Yang harus punya alasan logis untuk berbuat sesuatu. Dan aku tau temenku hanya berniat curhat. Nggak yang melecehkan aku sama sekali. Dan aku emang sering jadi pendengar curhatan temen mulai dari masalah ringan sampe berat. Sampe kadang aku rikuh sendiri kalo lagi dengerin masalah yang mungkin agak berat karena kok mereka bisa ya cerita seterbuka itu ke aku, tapi ya aku seneng juga kalo bisa bantu mereka dengan jadi pendengar yang baik. Kadang orang Cuma butuh sharing kan biar lega dan bisa berpikir jernih. Meskipun kadang aku juga nggak kasih solusi apa-apa.

Jadi temenku itu bilang rasanya kehilangan keperjakaan adalah MENYESAL. Jarang-jarang dapet cerita begini dari sisi cowoknya guys. Katanya yang dia pikirin setelah itu adalah apa yang bisa diberikan ke istri sahnya nanti. Karena dia udah putus sama cewek yang udah ambil perjakanya dia. Ini beneran yang dia sampein ke aku guys, aku nggak yang menduga-duga sendiri.

Padahal kalo pemikiranku sebagai sisi wanita mungkin kalo laki-laki itu kan nggak berbekas yah. Nggak ada bedanya perjaka atau nggak, hanya Tuhan dan dirinyalah yang tahu. Tapi ternyata ada rasa guilty yang menghantui karena merasa telah membohongi istri sahnya nanti. Dan penyesalan adalah penyesalan. Datangnya dibelakang karena nggak antisipasi didepan. Aku nggak bisa anggap enteng sebuah penyesalan yang kayak gitu. Karena itu bukan sekedar penyesalan yang elo lupa nggak pasang alarm terus bangun kesiangan. Itu adalah penyesalan yang efeknya luas banget guys.

Cobalah sebisa mungkin ambil keputusan besar dengan sadar. Apa bener ini keputusan terbaik? Apa kemungkinan terburuk yang terjadi? Apa aku bisa tanggung resikonya? Apa aku bakalan nyesel setelahnya? Sebisa mungkin pikirin itu semua. Dia janji tanggungjawab? Bikin hitam diatas putihnya! Coba sih aku pengin tau kalo ada pacar lagi minta kalian nyerahin virginity, terus kalian bikin hitam diatas putih bahwa dia bakalan tanggungjawab nikahin, kalo perlu ada deadline kapan nikahnya, apa kira-kira dia jadi ngelakuinnya? Go ahead. Setidaknya nggak ada yang lari dari tanggungjawab. Satu resiko terhapuskan. Resiko lain monggo ditanggung pemenang.

Sebenernya lebih banyak alasan untuk nggak ngelakuin itu daripada sekedar hanya karena cinta loh.
1.       Diri sendiri
Yup, karena kita harus mencintai diri kita sendiri sebelum mencintai orang lain biar nggak dibutakan cinta. Segala keputusan hidup harus kita ambil sendiri karena seumur hidup kita bakalan melangkah dengan kaki, mendengar dengan telinga, melihat dengan mata, berpikir dengan kepala dan merasa dengan hati kita sendiri.
2.       Orang tua
Aku yakin kedua orang tua merawat anaknya, menjaga kesehatannya, mendidik kebaikan, bukan untuk melakukan SBM dan menanggung resikonya. Termasuk orang tua yang dulunya adalah pelaku SBM itu sendiri.
3.       Calon istri/suami sah
Banyak sekali orang baik hati didunia ini yang mau menerima seseorang yang tidak perawan/perjaka meskipun mereka sendiri masih segel utuh. Tapi aku yakin akan sangat lebih membahagiakan bagi seseorang yang pernah menyesal itu bisa menghapus feeling guilty nya meskipun itu nggak mungkin. Kayak temen yang curhat ke aku itu.
4.       Anak
Nggak ada yang namanya anak haram. Semua anak terlahir suci meskipun terlahir dari orang tua yang MBA. Tapi gimana perasaannya ketika ada orang lain yang tau dan punya niat jahat terus nyampein kalo dia terlahir karena peristiwa seperti itu? Marah? Malu? Bahkan mengulangi kesalahan orang tuanya? tapi aku juga yakin bahwa banyak anak yang bisa memaafkan dan menerima bahwa orang tuanya nggak sempurna dan punya kesalahan. tergantung dari cara orang tua menjelaskan dan mau meminta maaf kepada anaknya. Karena itu sudah resiko yang nggak bisa dihindari.

Disini aku sama sekali nggak bahas soal agama ataupun norma sosial. Pure hanya logika dan realita sekitar kehidupanku. Aku juga nggak bermaksud sama sekali buat menyinggung pihak tertentu. Aku hanya mau berperan menyampaikan pikiran bahwa aku sangat menyayangkan hal seperti itu terjadi. Istilahnya aku “ngeman” banget ke sesama perempuan khususnya.

Jangan bandingkan hidupmu dengan orang luar yang mereka nggak menyesal kok ngelakuin SBM. Itu sudah hal yang lumrah disana. Dan jarang terjadi penelantaran anak. Bahkan meskipun mereka nggak menikah tapi kesadaran dalam bertanggungjawab soal anak sangat tinggi. Tingkat kedewasaan disana sudah lebih baik dibandingkan disini. Yang aku tekankan disini adalah JANGAN MENYESAL. Aku cuma semacam memberikan spoiler resiko kehidupan para pelaku SBM di Indonesia yang sebenernya masing-masih sudah sangat mengerti tapi terkadang karena dibutakan cinta atau nafsu sesaat atau juga karena kurang kepedulian ataupun ketidaktahuan orang tua tentang pentingnya seks education, pentingnya untuk selalu mengingatkan dan menasehati anak karena memang itulah tugas orang tua.

Last but not least, untuk para pelaku SBM maupun MBA, Move on. Kalian nggak perlu menyesali yang sudah terjadi. Lanjutkan hidup dengan baik. Hadapi semua resiko yang sudah kalian ambil. Kita nggak bakal bisa balikin waktu tapi kita semua sama-sama berhak punya masa depan. Dan kalo ada anak hasil SBM, mau menikah atau enggak itu pilihan kalian. Jangan mikirin apa kata orang lain. Jangan menikah karena malu. Menikahlah karena siap. Jangan mengemis pertanggungjawaban kalo emang ada yang nggak mau tanggungjawab. Anak terlahir dengan rezeki masing-masing. Rawatlah anak kalian dengan baik, dan usahakan terus terang tentang keadaan di usianya yang tepat. Orang tualah yang tau kapan waktu dancara yang baik untuk menjelaskan pada anak. Jangan gengsi untuk minta maaf agar anak bisa mengerti dan menerima orang tuanya. semakin angkuh orang tua, semakin nggak akan saling mengerti. Dan untuk orang tua tunggal, tetap semangat dan kuat. Banyak kok diluaran sana yang punya kisah sama bahkan lebih buruk. Syukuri hal-hal kecil yang masih kita miliki daripada harus menghitung apa yang hilang dan kurang. Tuhan Maha baik dan nggak pernah meninggalkan kita meskipun kita melakukan kesalahan.

Love,

Chely