Denger kata prioritas apa yang terbesit dibenak kalian? Diutamakan? Tapi semudah itu sebuah kata “utama” turun tahta menjadi “kedua”. Ada nggak yang pernah ngerasain percaya diri ketika dibilang jadi prioritas, The One and Only, ceunahna! Tapi kenyataannya nggak selalu seperti itu ya? Upsie.
Well, yeah. Kata prioritas
ketika berdiri sendiri memang artinya hal yang diutamakan. Tapi ketika
diselipkan menjadi kata sifat, sangat bergantung dengan subjek dan keterangan
waktunya. Jadi ketika kita bangga menjadi prioritas seseorang, don’t take it for granted. Sedetik kemudian
kita bisa jadi yang kedua bahkan terakhir. Gampangnya, priority is bullshit.
Kalo mau denger penjelasan ribetnya sini, duduk dulu. Aku kasih
contoh ya. Misal nih, kita pasti ingin selalu jadi prioritas pasangan. Ingin
selalu di nomorsatukan. Hal yang wajar, aku sendiri pun juga. Rasanya nggak
dapet kabar sehari aja kayak jadi di nomorduakan sama kesibukan, nggak sih?
Coba sini aku kasih liat lagi sebelum telunjuknya mengarah
ke para suami, itu, jari tengah, manis dan kelingkingnya kemana? Iya ke kita sendiri.
Aku sebagai ibu yang bekerja, kalo ditanya apa prioritasku sebagai seorang ibu,
YA ANAK LAH. Pake ngegas pun. Terus kalo kerja anaknya gimana, ma? Dititipin neneknya/daycare. Ehehehe. How bullshit are we?
Jangan sedih, ibu rumah tangga yang 24/7 sama anaknya terus.
Kalian kalo bapaknya anak-anak dateng langsung scrolling media sosial, nonton drakor, nyalon, sama aja kali. Me time menjadi prioritas demi kewarasan
diri. Dan itu nggak dosa bun. Kita bukan lah godhong sawi. Kita manusiawi.
Nah, sampe sini ada yang benar? Ya tentu benar. Masih kurang
contohnya? Misal Lee Tae Oh, bilang ke Da Kyung kalo dia dan lil Jenny adalah
prioritasnya saat ini. Wuhuu mamam lah tu. Setelah bercerai pun Tae Oh nggak
bisa lepas dari Ji Sun Woo alih-alih karena hak asuh anak, ternyata belum move on juga. Ini udah pada nonton The World of The Married kan? Yang belum,
ya udah ga mudeng paragraf ini. Skip boleh.
Ehehe
Jadi harus gimana menghadapi balada prioritas ini, jenderal?
Jadi gini..
*benerin kacamata*
Let's talk about the clarity of priority it self. Ini soal mindset kita tentang prioritas sih yang perlu diperluas. Ya memang harus mundur beberapa langkah dari objek prioritasnya biar bisa liat sudut pandang yang lebih luas buat
menyikapinya. Jadi mulai dari lihat diri sendiri dulu. Karena kadang kan kita
menuntut untuk jadi prioritas seseorang yang kita sendiri prioritaskan, bukan? Kita
proyeksikan dulu, gimana wujud nyata prioritas yang kita labelkan ke suatu
hal/seseorang.
Misal ke pasangan, apakah dalam keadaan apapun kita akan
mengutamakan pasangan? Kalo ada selisih paham dengan orang tua, dengan relasi
kerja, atau mantan bahkan, kita akan selalu mendahulukan kepentingan pasangan
kita? Mikir kan lo.. lihat-lihat dulu masalahnya apa itu udah satu hal, belum
hal-hal yang lain, tapi yang pasti.. ketika kita mencintai pasangan, pasti kita
akan memikirkan dan memberikan yang terbaik buat dia, bukan?
Sedangkan proses mengurai masalah, menentukan sikap,
mengambil langkah, nggak selalu selaras dengan apa yang kita prioritaskan. Entah
itu kita harus menenangkan orang tua dulu, atau menyelesaikan secara
profesional dengan rekan kerja dulu, bahkan meminta maaf dulu atas sikap
cemburu buta pasangan kita ke mantan? Hmmm.. Interesting.
Sebaliknya kita juga harus bisa mengerti bahwa kita juga
tidak selalu bisa menjadi prioritas pasangan, yang kita perlu tahu dan yakini,
kita adalah orang yang penting baginya, dan percayakan saja ia akan mengambil
sikap as the best as they can do and give
for us. Simple? Oh tidak juga. Sering
membuat hati mencelos pun. Tapi memang seperti itu kenyataannya. Come on, jangan double standard. Kalo kita
ternyata nggak melulu menjaga hal/seseorang dalam prioritas utama, ya jangan
terlalu keras menuntut itu.
Baca : Jangan Double Standard!
Satu hal yang bisa kita prioritaskan adalah paham akan diri
sendiri. Berbeda dengan egois. Karena dengan mengerti kemauan sendiri kita bisa
mengambil sikap yang tepat untuk orang lain. Dengan percaya posisi kita bagi
seseorang, kita bisa lebih sadar bahwa seseorang itu bakal ambil sikap yang
sesuai dengan apa yang kita percayakan kok. Meski nggak harus sak deg sak nyet. Toh keinginan kita nggak
harus terkabul di detik pertama kok, let
the force be with you. Nomorduakan ekspektasi tentang prioritas itu sendiri,
utamakan memahami diri dan keadaan.
Contoh lagi ini biar mudeng, misalnya aku pengen dirawat
abang pas lagi sakit berat, barengan ketika abang harus meeting penting dengan orang jauh-jauh dari luar kota. Nggak bisa
ditunda. Kalo aku prioritas HARUSNYA abang milih ngerawat aku daripada
kerjaannya. Tapi ternyata kerjaan ini nggak bisa ditunda.
Coba turunin dikit aja deh ekspektasi tentang prioritas : aku
sedang sakit dan butuh dirawat. Jadi solusinya, minimal harus ada yang gantiin
abang buat ngerawat aku. Abang yang coba cariin deh biar lebih keliatan effort nya, habis itu setelah meeting abang pulang ninggalin kerjaan
yang bisa ditunda. Bawain obat atau apapun keperluanku buat ikhtiar sehat. See? Lebih enak dibaca kan daripada
harus keluar kata-kata “kamu tuh ga pengertian banget sih, aku sakit setahun
sekali aja kamu nggak bisa nemenin!” uh oh.. backsound : “Ku menangiiiss membayangkan.. betapa kejamnya dirimu atas
diriku~”
That’s all. Udah cukup panjang aja tulisannya meski waktunya
singkat. Aku tutup pake quotes yang baru aku bikin sendiri deh. buhbye!
The way to remain the top priority is not to prioritize the priority itself.
Love,
Chely
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)