Kamis, 18 Juni 2020

PRIORITY IS A BULLSHIT



Denger kata prioritas apa yang terbesit dibenak kalian? Diutamakan? Tapi semudah itu sebuah kata “utama” turun tahta menjadi “kedua”. Ada nggak yang pernah ngerasain percaya diri ketika dibilang jadi prioritas, The One and Only, ceunahna! Tapi kenyataannya nggak selalu seperti itu ya? Upsie.


Well, yeah. Kata prioritas ketika berdiri sendiri memang artinya hal yang diutamakan. Tapi ketika diselipkan menjadi kata sifat, sangat bergantung dengan subjek dan keterangan waktunya. Jadi ketika kita bangga menjadi prioritas seseorang, don’t take it for granted. Sedetik kemudian kita bisa jadi yang kedua bahkan terakhir. Gampangnya, priority is bullshit.


Kalo mau denger penjelasan ribetnya sini, duduk dulu. Aku kasih contoh ya. Misal nih, kita pasti ingin selalu jadi prioritas pasangan. Ingin selalu di nomorsatukan. Hal yang wajar, aku sendiri pun juga. Rasanya nggak dapet kabar sehari aja kayak jadi di nomorduakan sama kesibukan, nggak sih?


Coba sini aku kasih liat lagi sebelum telunjuknya mengarah ke para suami, itu, jari tengah, manis dan kelingkingnya kemana? Iya ke kita sendiri. Aku sebagai ibu yang bekerja, kalo ditanya apa prioritasku sebagai seorang ibu, YA ANAK LAH. Pake ngegas pun. Terus kalo kerja anaknya gimana, ma? Dititipin neneknya/daycare. Ehehehe. How bullshit are we?


Jangan sedih, ibu rumah tangga yang 24/7 sama anaknya terus. Kalian kalo bapaknya anak-anak dateng langsung scrolling media sosial, nonton drakor, nyalon, sama aja kali. Me time menjadi prioritas demi kewarasan diri. Dan itu nggak dosa bun. Kita bukan lah godhong sawi. Kita manusiawi.


Nah, sampe sini ada yang benar? Ya tentu benar. Masih kurang contohnya? Misal Lee Tae Oh, bilang ke Da Kyung kalo dia dan lil Jenny adalah prioritasnya saat ini. Wuhuu mamam lah tu. Setelah bercerai pun Tae Oh nggak bisa lepas dari Ji Sun Woo alih-alih karena hak asuh anak, ternyata belum move on juga. Ini udah pada nonton The World of The Married kan? Yang belum, ya udah ga mudeng paragraf ini. Skip boleh. Ehehe


Jadi harus gimana menghadapi balada prioritas ini, jenderal? Jadi gini..
*benerin kacamata*
Let's talk about the clarity of priority it self. Ini soal mindset kita tentang prioritas sih yang perlu diperluas. Ya memang harus mundur beberapa langkah dari objek prioritasnya biar bisa liat sudut pandang yang lebih luas buat menyikapinya. Jadi mulai dari lihat diri sendiri dulu. Karena kadang kan kita menuntut untuk jadi prioritas seseorang yang kita sendiri prioritaskan, bukan? Kita proyeksikan dulu, gimana wujud nyata prioritas yang kita labelkan ke suatu hal/seseorang.


Misal ke pasangan, apakah dalam keadaan apapun kita akan mengutamakan pasangan? Kalo ada selisih paham dengan orang tua, dengan relasi kerja, atau mantan bahkan, kita akan selalu mendahulukan kepentingan pasangan kita? Mikir kan lo.. lihat-lihat dulu masalahnya apa itu udah satu hal, belum hal-hal yang lain, tapi yang pasti.. ketika kita mencintai pasangan, pasti kita akan memikirkan dan memberikan yang terbaik buat dia, bukan?


Sedangkan proses mengurai masalah, menentukan sikap, mengambil langkah, nggak selalu selaras dengan apa yang kita prioritaskan. Entah itu kita harus menenangkan orang tua dulu, atau menyelesaikan secara profesional dengan rekan kerja dulu, bahkan meminta maaf dulu atas sikap cemburu buta pasangan kita ke mantan? Hmmm.. Interesting.


Sebaliknya kita juga harus bisa mengerti bahwa kita juga tidak selalu bisa menjadi prioritas pasangan, yang kita perlu tahu dan yakini, kita adalah orang yang penting baginya, dan percayakan saja ia akan mengambil sikap as the best as they can do and give for us. Simple? Oh tidak juga. Sering membuat hati mencelos pun. Tapi memang seperti itu kenyataannya. Come on, jangan double standard. Kalo kita ternyata nggak melulu menjaga hal/seseorang dalam prioritas utama, ya jangan terlalu keras menuntut itu.



Satu hal yang bisa kita prioritaskan adalah paham akan diri sendiri. Berbeda dengan egois. Karena dengan mengerti kemauan sendiri kita bisa mengambil sikap yang tepat untuk orang lain. Dengan percaya posisi kita bagi seseorang, kita bisa lebih sadar bahwa seseorang itu bakal ambil sikap yang sesuai dengan apa yang kita percayakan kok. Meski nggak harus sak deg sak nyet. Toh keinginan kita nggak harus terkabul di detik pertama kok, let the force be with you. Nomorduakan ekspektasi tentang prioritas itu sendiri, utamakan memahami diri dan keadaan.


Contoh lagi ini biar mudeng, misalnya aku pengen dirawat abang pas lagi sakit berat, barengan ketika abang harus meeting penting dengan orang jauh-jauh dari luar kota. Nggak bisa ditunda. Kalo aku prioritas HARUSNYA abang milih ngerawat aku daripada kerjaannya. Tapi ternyata kerjaan ini nggak bisa ditunda.


Coba turunin dikit aja deh ekspektasi tentang prioritas : aku sedang sakit dan butuh dirawat. Jadi solusinya, minimal harus ada yang gantiin abang buat ngerawat aku. Abang yang coba cariin deh biar lebih keliatan effort nya, habis itu setelah meeting abang pulang ninggalin kerjaan yang bisa ditunda. Bawain obat atau apapun keperluanku buat ikhtiar sehat. See? Lebih enak dibaca kan daripada harus keluar kata-kata “kamu tuh ga pengertian banget sih, aku sakit setahun sekali aja kamu nggak bisa nemenin!” uh oh.. backsound : “Ku menangiiiss membayangkan.. betapa kejamnya dirimu atas diriku~”


That’s all. Udah cukup panjang aja tulisannya meski waktunya singkat. Aku tutup pake quotes yang baru aku bikin sendiri deh. buhbye!



The way to remain the top priority is not to prioritize the priority itself.


Love,


Chely



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)