Sabtu, 06 Oktober 2018

BERDAMAI DENGAN MASA LALU


Kalian setuju nggak kalo aku bilang semua orang pernah punya dendam? Mungkin dendam secara tidak langsung. Karena dendam ini secara nggak sadar kita lampiaskan bukan kepada orang yang melukai kita secara langsung.



Kita semua terlahir suci dan murni kan? Tanpa mengetahui apa yang salah dan benar. Dan kita tumbuh seiring berjalannya waktu sembari mempelajari itu. Dari orang tua, saudara, lingkungan sekitar, bahkan orang lain. Dari apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasain sendiri. Nggak ada kamus salah dan benar yang ditulis oleh seseorang dan diterbitkan untuk dikomersilkan. Yang ada kitab-kitab agama, norma kehidupan dan hati nurani, yang membimbing diri kita dalam berpikir dan berperilaku.

Apakah beberapa kejadian ini terdengar akrab dengan kalian? Memukul anak atau wanita karena saat kita kecil sering dipukul atau melihat ibu kita dipukul. Memaksakan kehendak karena saat kecil kita hidup penuh dengan doktrin dan nggak punya hak bertindak sesuai kemauan sendiri. Tidak bisa setia dengan satu orang karena riwayat orang tua yang sering berganti pasangan. Sering berkata kasar karena sering mendengar pertengkaran orang lain. Suka membully orang karena kita pernah dibully dan melakukannya karena daripada menjadi korban lebih baik menjadi pelaku. Dan sebagainya.

Apakah kalian menyadarinya? Apakah aku menyadarinya?

Ya. Masa kecil yang membentukku menjadi pribadi yang tertutup dan keras, hingga belasan tahun kemudian. Yang aku baru pahami setelah aku dewasa, bahwa ternyata aku seperti ini karena masa kecil dilingkungan keluargaku. Chely kecil adalah anak yang pendiam dalam artian nggak banyak bicara tapi cukup lincah dan riang. Aku suka bergerak daripada bicara, manjat-manjat dan lari-larian daripada main dakon atau masak-masakan. Main bekel lebih males lagi. Mending olahraga, naik sepeda atau skateboard meski siang bolong. Item, kucel, tomboy.


Sejak punya adik kayaknya aku ngerasa nggak betah dirumah. Penginnya main sama temen-temen dan menghindari disuruh ini itu maupun dimarahin sama ibuk yang jadi sering capek. Entah kenapa ingatan masa kecilku dengan orang tua sejak punya adik kebanyakan adalah kenangan buruk. Salah dikit dimarahinnya ampun deh, apa dikit kena hukuman fisik (dipukul, dicubit, obladi oblada), belum ditambah bapak yang mulai kerja bolak-balik dari luar kota. Resiko menjadi pelampiasan bertambah ketika kedua orang tua sama-sama capek.

Itulah isi kepalaku selama belasan tahun yang semakin hari semakin memburuk. Karena sering mendapat perlakuan keras, akupun menjadi anak yang keras.  Walapun tidak hatiku. Ciaelahaii.. Yang ada dipikiranku hanyalah, sekolah yes, main yes, ibadah yes, tidur yes. Ngobrol seperlunya dengan adik dan ortu. Curhat sepuasnya dengan sahabat-sahabatku. Tiap ada yang ngajak main yukcus, palagi ada yang bayarin.. (((setset whet whettt))).

Aku sangat tertutup dengan orang tua, karena mereka nggak membuatku nyaman untuk membuka diri tentang hal terdalam dihatiku. Yang mereka tau aku sekolah dengan baik, bergaul dengan baik, ibadah pun baik.

Orang tuaku menilai aku adalah anak yang pemalas, pelupa, lemot, dan pasif. Justifikasi seperti itu sering aku dengar sendiri keluar dari mulut mereka. Padahal sering apa yang aku lakuin didepan mereka hanya untuk menghindari kesalahan. aku nggak mau dan berani melakukan kesalahan didepan mereka, makanya aku jarang bicara maupun bertindak. Bahkan mereka jarang tau masalah yang menimpaku. Aku nggak pernah bohong dalam arti membuat cerita palsu untuk menutupi sesuatu, aku hanya nggak cerita sama sekali kalo emang aku nggak pengen ortu tau akan suatu hal, which is a white lies.


Contohnya saat aku pernah dibully secara nggak langsung dengan separuh penghuni kelasku lebih dari setahun. Karena aku emang sengaja nggak cerita, biasanya aku baru cerita ketika ditanya atau setelah masalahnya udah aku selesaiin sendiri. Atau saat aku backstreet pas punya pacar si A karena emang aku nggak serius, tapi aku jalaninnya juga mulus-mulus aja dalam arti aku nggak selingkuh or diselingkuhin dan akhirnya putus karena masalah receh.

Kurang lebih sampai aku menikah dan punya anak, rasa memaafkan masa lalu itu berangsur-angsur datang seperti air yang membasuh hatiku. Ketika  aku merasakan belajar menjadi orang tua, rasa maklum mulai menyembuhkan luka yang lama terpendam. Sejak aku dilarikan ke UGD pas pembukaan ke-2 sebelum lahiran hingga proses lahiran selesai, sampai rasa keibuanku yang mendadak timbul dengan sendirinya dan terus bertambah setiap hari. Aku merasa hubunganku semakin membaik pula dengan orang tua.

Sebenarnya mungkin aku orang yang juga cukup sabar dalam menyimpan lubang dihatiku sendiri. Aku nggak pernah melampiaskannya melalui perbuatan yang merugikan orang lain dengan tindakan maupun lisanku. Aku hanya menjadi orang yang sangat tertutup demi melindungi hatiku sendiri. Aku ngerasa haus akan perhatian orang yang lebih dewasa dariku. Aku selalu pengen ngerasain punya kakak. Dan itulah yang aku lakukan sepanjang memenuhi lubang hatiku, mencari teman dengan dalih memenuhi rasa pengen punya kakak cowok.

Aku juga nggak terlalu suka anak-anak. Bukan yang sampe nggak pengen punya anak. Tapi beneran dulunya aku orang yang nggak bisa luwes ngemong anak kecil. Karena ngemong adek pun jarang. Aku baru lumayan deket sama adek setelah dia bukan bayi dan balita lagi. Mungkin sekitar seusia SD dan bisa diajak seru-seruan main bareng. Sebelum itu aku ngerasa jadi kakak hanyalah status yang menjelaskan aku harus mengalah dalam segala hal. Ngalah tentang hal channel tv, ngalah aku yang harus belajar sendiri karena ortu ngajarin adek, ngalah tentang keinginanku yang nggak terpenuhi sedangkan adekku terpenuhi karena dia lebih vokal (nangisan), ngalah yang nganter dia kemana-mana (sampe sekarang dia segede gaban pun), harsh.

Dalam hatiku yang paling dalam tetaplah sebagai kakak yang sangat bertanggungjawab dan sayang sama adeknya. Aku nggak melampiaskan apapun ke adekku. Justru aku ngelindungin dia waktu kecil dan jadi kena pukul pas sapu ibu melayang, aku juga yang ngajak dia belajar perkalian didepan rumah karena dia dimarahin sampe nangis pas belajar sama bapak, aku yang tau seleranya dalam hal fashion maupun makanan, aku yang ngehibur dan ngajak hangout kalo dia lagi tengkurep dikamar.

Diawal punya baby Zac, drama-drama riweuhnya reminds me to my mom. Why did I scream out when he cried so loud constantly, why can’t I handle it patiently,  why did I wanna do violence to him, it’s so stressed me out. Kenapa aku begini? He is just an innocent baby. Dan disitulah aku sadar, I haven’t forgiven my childhood yet.

Dan aku belajar untuk menerima semua yang pernah terjadi, I tried to embrace that feelings, nobody is perfect, so are my parents. Menjadikannya sebuah pelajaran dan mengambil hikmah, bahwa aku bukanlah orang tuaku dan baby Zac bukanlah aku. Aku bertindak dengan tangan dan hatiku sendiri. I determine consciously, what I have to do and don’t. Aku harus lebih baik dan memberikan yang terbaik untuk Zac. Aku nggak boleh memaksa Zac hidup dan merasakan hal yang pernah aku rasain.

Tapi beberapa tahun belakangan aku juga bersyukur, karena dengan semua yang terjadi aku menjadi pribadi yang kuat, disiplin, mandiri, pun merasa dekat dengan Tuhan karena aku sering menumpahkan perasaanku lewat doa selain menulis diary. Dan emang Tuhan nggak pernah meninggalkanku selama ini.

Sebelumnya aku pernah bilang tentang memaafkan, bahwa memaafkan adalah cara untuk kita berdamai dengan diri sendiri sebelum dengan orang lain. Cara untuk melepaskan beban yang memberatkan kita untuk maju kedepan. Cara terbaik untuk membalaskan dendam bahkan bila tidak ada yang meminta maaf meskipun telah melakukan kesalahan kepada kita. Dengan memaafkan, kita melepaskan diri dari rasa sakit dimasa lalu sekaligus dari rasa trauma yang akan kita lampiaskan kepada orang lain dimasa kini dan masa depan.


Memaafkan membuatku menjadi ibu yang lebih baik untuk zac. Lebih bisa menyesuaikan diri hidup dengan suami yang punya kehidupan sebelumnya yang pastinya berbeda dari aku. Menjadi lebih dekat lagi secara hati ke hati dengan orang tuaku. Mengingat lagi lebih dalam, bahwa banyak sekali hal-hal indah yang juga terjadi dimasa lalu dalam hubungan keluargaku yang selama ini tertutupi oleh rasa sakit yang lama terpendam dalam diam. Membuat aku merasa menjadi orang yang baru dan jauh lebih baik kedepannya.

Aku juga berharap, semoga kalian semua juga bisa memaafkan masa lalu, dan tidak melampiaskan rasa sakit itu kepada orang lain.



Love,

Chely