Selasa, 12 Januari 2021

Label Diri

 

Label diri seringkali didapatkan dari orang lain dalam proses pertumbuhan diri seseorang. Saya sendiri juga tidak lepas dari label yang diberikan oleh lingkungan sekitar, baik orang terdekat, maupun orang yang sama sekali tidak mengenal saya secara pribadi, atau hanya mengetahui dan mengenal saya secara visual, yang bisa menyebutkan nama saya ketika melihat wajah saya.

Seringkali yang terdengar dan menancap pada pikiran dan hati adalah label negatif. Seperti pemalas, bodoh, ceroboh, pembohong, lelet (lamban), dan label negatif lainnya pasti pernah Anda dapatkan bukan? Sebaliknya, label positif ini juga biasa kita didapatkan dari orang lain yang puas atas ekspektasinya terhadap diri kita.

Memberi label negatif ini bisa dikatakan sama dengan merundung atau bullying secara verbal. Karena efeknya menjadikan perasaan rendah diri, merasa tidak aman, dan juga sedih. Pemberian label buruk dari orang lain terhadap diri kita mempengaruhi pola pikir kita terhadap diri kita sendiri, dan mempengaruhi sikap kita dalam mengambil keputusan dalam menjalani hidup.

Yang saya ingat, usaha memerangi suara-suara orang lain yang memberikan label buruk kepada saya di usia belasan. Semakin menggeliat setelah saya lulus sekolah dan mulai terjun di lingkungan kerja yang lebih luas saat usia belum genap 17 tahun. Saya bertemu dengan lebih banyak orang dari berbagai kalangan usia, strata, dan latar belakang yang berbeda-beda.

Hal itu yang mengawali semakin terbukanya pikiran, pandangan semakin luas, dan hati yang semakin sering mempertanyakan hal-hal dan memiliki keyakinan terhadap diri sendiri. Untuk sejenak, saya melakukan reka-ulang apa yang telah terjadi di masa lalu. Tentang saya yang tidak pernah mengikuti “tren” teman-teman saya di sekolah yang berhubungan dengan bullying.

Sejak duduk di sekolah dasar, tren panggilan nama orang tua sangat marak dilakukan teman-teman saya. Bagi anak generasi 90an saat itu, hal tersebut sangat lucu dan (mungkin) memuaskan. Merasa jadi yang berkuasa dengan berani menyebut nama orang tua temannya sebagai panggilan tanpa mendapatkan perlawanan. Mungkin. Saya belum pernah mendapat pengakuan jujur dari pelakunya.

Yang jelas bagi saya, itu tidak pernah berhasil membuat saya tertawa, juga adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan, selain itu juga saya sudah paham hal tersebut tidak menunjukkan kesopanan dan penghormatan. Anehnya, ketika saya tidak bereaksi atau merespon yang teman-teman saya lakukan, mereka tidak akan merasa hal tersebut seru untuk ditujukan kepada saya.

Label negatif yang pernah saya dapatkan, pernah juga mempengaruhi pandangan saya terhadap diri saya sendiri selama beberapa saat. Beberapa yang saya ingat adalah saya mendapat julukan “Putri Solo” yang identik dengan gerakan lemah gemulainya, artian yang dimaksudkan adalah orang yang lamban dalam mengerjakan sesuatu.

Saya juga dinilai lamban saat makan, yang sekarang saya pahami, bahwa tingkat lamban dalam mengunyah makanan seorang berusia 20 tahunan dengan anak berusia  5 tahun sangat tidak masuk akal untuk dibandingkan. Namun, label tersebut cukup lama menggelayuti diri saya, saya percaya penuh dengan label tersebut dan merasa tidak perlu berusaha untuk membuktikan sesuatu.

Ketika sudah mulai bekerja, saya merasakan pertumbuhan diri saya terpacu untuk berkembang pesat. Setiap satu demi satu apresiasi yang datang atas kinerja baik saya, membuat saya mulai mempertanyakan label-label negatif yang selama ini menggelayuti diri saya bertahun-tahun. Apa benar saya lamban? Apa benar saya ceroboh? Apa benar saya tidak mampu?

Bukan hanya label negatif yang membunuh karakter, namun saya juga mulai mempertanyakan nilai dasar dari label yang pernah saya dapatkan. Bagaimana orang bisa dikatakan cantik? Siapa yang menentukan ukuran tubuh ideal? Apa yang dapat menengahi antara pemikiran orang satu dengan lainnya?

Saya mulai menggali segala hal dalam diri saya yang masih terpendam selama ini dan menemukan banyak harta yang sangat lebih penting untuk diterima dan disyukuri. Betapa banyak hal yang belum pernah saya kenali dan saya sadari telah miliki dari sosok bernama Selina. Saya ingin semakin mengenal diri saya dan memancarkan apa yang selama ini ada di dalam.

Hingga saat ini, saya tidak pernah memiliki stereotype atas apapun yang ada diluar saya. Dan semakin teguh dengan apa yang sudah saya olah sendiri berdasarkan pemikiran, pengalaman, masukan maupun sanggahan yang telah saya proses sedemikian rupa. Saya terbuka dengan hal-hal diluaran, namun juga memiliki batas yang saya kendalikan untuk dalam diri saya.

Anda mungkin juga sudah mengalami hal yang saya ceritakan, mungkin juga belum, atau bahkan sengaja atau tidak sengaja menghindari untuk mengalami. Berkaitan dengan label diri, beberapa pertanyaan bisa Anda ajukan untuk diri sendiri, dengan tujuan menjadi yang lebih dulu mengenali diri Anda sebelum orang lain.

Apa benar Anda sesuai dengan label yang menancap pada pikiran Anda? Apa kekurangan dan kelebihan Anda menurut penilaian Anda sendiri? Apa hal yang mendasari Anda pantas mendapatkan label tersebut? Siapa  yang boleh maupun tidak boleh mempengaruhi atau memberi penilaian terhadap diri Anda? Apakah Anda bisa memiliki kendali penuh untuk menjadi sesuai seperti yang Anda pikirkan, dan bagaimana caranya?

 

Selina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hi ^^ Thank you for reading.. and your comment means a lot to me!
if you need a quick response please poke me on my Instagram @chelychelo :)