Senin, 19 April 2021

Tentang Tersinggung

 

Tersinggung itu ibaratnya dicubit tapi didalem hati ya nggak sih? Valid nggak sih perasaan ini? Ya valid, tapi apa serta merta orang yang bikin kita tersinggung adalah tersangka? Belum tentu. Bisa jadi sih kita yang berlebihan dalam merespon sesuatu. Kadarnya aja yang kadang nggak pas gitu. Bukan berarti kita yang salah karena merasa tersinggung, tapi apa perasaan itu sesuai dengan tempatnya?

Kalo bicara ukuran, seberapa jauh sih batasan sikap kita biar ga bikin orang tersinggung. Susah kan ya gimana ukurnya? Tersinggung adalah respon seseorang yang terjadi diluar kendali ketika kita bersikap atau berkata yang nggak bermaksud dengan sengaja menyerang dia. Tapi ada juga ya orang yang memang dengan sengaja menyinggung.

Terus darimana kita bisa tau orang ini menyinggung kita atau enggak, tersinggung atau enggak dengan perilaku kita? Kalo doi nggak mention kita secara langsung. Ya kalo ada yang mau disampein ngomong langsung aja ga sih? Jadi kalo lo ga bilang langsung ke gue ya ngapain tersinggung? Ribet eiy.

Mending gue ribet-ribet nyari tau pikiran gue sendiri, mau gue sendiri, kalo udah beres sama pikiran dan niat diri sendiri, yakin deh nggak ada waktu buat ribetin hidup orang. Sejatinya apa kan gitu. Apasih ah. Ga nemu istilahnya. Ga jadi bijak dah tu. Cita-cita psikolog hobi ngelawak mulu dah imut. Iiihh kalian pernah gemes sama diri kalian sendiri kayak gue sekarang ini? Apaansiii.

I can’t relate sebenernya dengan kegiatan singgung-menyinggung ini. Karena yang aku tanam ke diriku adalah terbuka dengan hal-hal diluar, tapi nggak mudah juga untuk bisa masuk ke hati dan pikiranku. Mau denger apapun, mau baca apapun, mau ngobrol apapun, tapi yang aku simpen ya yang lolos uji klinis aja. Elah, saring dulu lah bos.

Nggak mau terlalu jauh ngurusin kalo aku ga punya waktu buat cari tau apa latar belakang seseorang dalam bersikap. Makanya aku sering dibilang cuek banget banget. Nggak salah kok, aku emang cuek dalam banyak hal. Tapi juga punya sisi paradoksnya. Aku bisa begitu peduli to the bone dengan hal yang aku ngerasa emang layak buat dipedulikan.

Aku ngerasain banget sekarang ini makin melek perihal mana track tempatku berjalan dan mana track orang lain. Istilahnya bisa menempatkan diri, pahamin diri sendiri itu yang utama. Aku tau mana jalurku, aku tau mana batasku, dari situ aku jadi bisa tau mana batasku terhadap orang lain, pun batas orang lain terhadapku. Penjelasanku jelas nggak sih?

Pasti pernah kan ya, kita masih ada ribet sama pikiran orang lain yang mana kita sendiri nggak yakin bener, atau bahkan seringkali kita sok tau. Padahal siapa yang bisa tau dengan jelas pikiran orang sih kalo bukan dia sendiri yang ngomong langsung.

Misal pas mau ngelakuin suatu hal, kepikiran ntar dikira ini nggak ya sama orang, atau ntar ada yang tersinggung nggak ya kalo gue begitu. Lah kok jadi ragu sama niat dan tujuan sendiri sih? Malah sibuk menerka-nerka lubuk hati orang. Mana bisa kamu tahu, dia kan telor. Aigo.. tempe kemana ya?

Aku ada pengalaman lucu kalo diinget-inget sekarang. Kejadiannya udah lama sih, jadi pernah ada temen yang posting hal-hal emosional nih ya di sosmed. Aku nggak mau menjudge orang yang mau posting masalah atau hal-hal emosional, sosmed dia ya hak dia mau pakenya gimana. Saat itu dia kayak punya masalah sama seseorang gitu, tanpa mention postingannya ditujukan untuk siapa.

Karena dia termasuk temen baik (aku ngerasanya saat itu), ya aku tanyain. Hei what’s wrong? Ada masalah apa? Aku ngerasa itu track ku. Bentuk peduli dariku untuk temenku. Ya karena aku mikirnya kalo orang posting masalah dia di sosmed karena pengen ada orang yang tau dan peduli nggak sih? Kalo nggak pengen orang tau kan nggak mungkin di share to?

Berbekal pemikiran apa adanya anak-anak itu aku nanya baik-baik, kali aja dia butuh tempat meluapkan perasaan. Sekedar dengerin curhat, atau ngasih solusi kalo dia minta. Berakhir dijawab gapapa kok. Ya sudah aku simpulkan aku bukan orang yang dibutuhkan saat itu, atau ya mungkin dia ngerasa lega aja setelah berekspresi online, kali?

I don’t know. Aku tidak berspekulasi apapun selain oh ini orang butuh waktu selesai sama dirinya mungkin, aku step back dulu aja kalo gitu. Kan aku sudah nunjukin kepedulianku dengan nanya secukupnya tadi. Batasku ya sampe disitu karena dia ga mau membuka diri kan. Fair enough.

Long story short, sosmedku di block. Bahaha. Bego ga tuh gue?

Lah dia kenapa? Gue kenapa? Apaan sih ngapain gimana?

Berdebat nggak jelaslah saat itu karena gue nanya salah gue apa nggak dapet jawaban dan malah berakhir dia nggak mau kontakan lagi. I’m okay with that. Yang bikin ngganjel apa coba? Ya ngerasa bego aja, mikir, lhah ternyata yang dikata-katain di sosmed itu gue dan gue nggak ngeh, malah nawarin kuping meski ditolak. Lah? Mana ku tahu aku kan bebek~

Ya jadi dobel dobel kan begonya yak. Udah dikata-katain, pun nggak ngeh, malah ngasih effort, ternyata anu. Sampe speechless saking dongkolnya diposisi demikian saat itu. Ini tadi salah satu contohnya yang gue udah dapet validasi dari orangnya langsung, karena sekarang kita udah saling memperbaiki hubungan lagi. Hehe. Hai imut I love you tomat. Wkwkwk.

Usah risau, aku dan temenku satu ini udah baik-baik aja sekarang. Lebih baik dari sebelumnya malahan. Aku tuh nggak menghindari perdebatan, dengan niat fokus nyari solusi bersama. Jadi menurutku hal biasa ada gesekan dalam hubungan apapun. Justru aku ngerasanya, kita bisa makin mahamin seseorang kalo bisa solve problem diantara kita dengan baik.

Gitu lho guys. Jadi aku itu nggak gampang tersinggungan banget. Nggak gampang ngerasa berhak tersinggung kalo nggak nyebut nama. Gue itu peka, bersikap pake perasaan (logika juga pastinya), tapi nggak gampang tersinggung. Keduanya beda banget lho tracknya, yakaan? Mindset paling pas buat aku pegang ya buat tau apa yang dipikirkan diri sendiri daripada nebak-nebak orang.

Nggak perlu nebak-nebak pikiran orang, ke GR-an kalo orang mikirin kita, peduli perilaku kita. Kayak kita ini bagian dari dunia seseorang banget. Gapapa kita bego buat nebak-nebak pikiran orang sih, menurutku sangat aman cuy, hati kita bersih cuy. Kasian hatinya kalo ngerasa tersakiti atas pikiran kita sendiri yang mengira seseorang jahatin kita.

Aku tau niatku, tujuanku, sikapku, dan terbuka dengan apapun. Mau masukan, teguran, asal dikomunikasikan dengan baik. Aku pasti berusaha banget ngasih effort terbaik kok kalo emang ada hal-hal yang aku lakukan menyinggung seseorang dan dia mau bilang or nanya langsung. Nggak gengsi juga buat minta maaf asal sudah saling clear dengan persepsi masing-masing.

Dah cukup lah capek edit mulu dasar perfeksionis. Buruan posting. Bye.

 

"The version of me you created in your mind is not my responsibility"

-Unknown- 



Chely 

Jumat, 26 Februari 2021

Persahabatan Lawan Jenis

 


“cowok sama cewek nggak mungkin bisa sahabatan.” katanya. Aku hanya diam memikirkannya sambil mengingat-ingat setelah Dico dikhitan, aku yang mengipasi penisnya saat mengeluh kepanasan. Atau saat aku menghiburnya dengan cerita lucu, senang mendengar tawanya yang seperti sedang kumur. Klek-klek-klek-klek-klek.

Dico selalu datang kerumah tanpa mengetuk pintu, kadang tiba-tiba membuka gorden kamarku yang sedang ganti baju. Seringkali saling ngobrol dengan berteriak saat mandi, karena kamar mandi rumah kami berdempetan. “Adus ta dik..??”, “aku sek sikatan sel..!!!”, “iyoo! Aku sek pipis..!!!”, “mari adus ta nang omahmu yo..!!!”. Dungdungdung! Kami berbalas klotekan tembok jeding.

Mengobrol tentang UFO, dajjal, siksa kubur, sejarah injil, hal-hal kontroversial, cewek pertama yang ia taksir di SMP, atau sekedar memanjat portal setelah sahur sambil menunggu subuh. Aku bahkan lebih sering memakai skateboard milik Dico daripada ia sendiri.

Aku pernah tidak sengaja menusukkan pensil hingga bauksitnya patah dan tertinggal dibalik telapak tangannya, aku juga pernah mencoret dahinya dengan pensil hingga menangis. Dia pernah mendorongku masuk ke got, juga pernah meminum es moni yang aku titipkan dikulkasnya.

Kami sering saling jahil, tapi juga sering saling berbagi es wawan. Jika dipikir begini, aku baru sadar kalau kami tidak pernah bertengkar. Diingat-ingat lagi, Dico kecil memang lebih sering menangis karena aku daripada sebaliknya. Chely kecil jarang menangis kecuali karena di ‘hajar’ orang tua. Hehe.

Dimana ada Chely, disitu ada Dico. Sempat menyebar seantero RT wilayah rumahku. Saking lengketnya persahabatan kami. Selisih usia kami setahun, ia lebih tua. Tapi kita menjadi teman sekelas saat SD. Dan tetap dekat hingga ia lulus kuliah dan aku bekerja meski tidak lagi satu sekolah sejak SMP.

Mundur ke masa SD, saat mas Bagus mengajakku bermain basket di lapangan di jam istirahat. Saat Fery meminta uang seratus rupiah karena kehausan setelah olahraga. Atau saat Eko dan Dion meminta maaf setelah menjegalku saat berlarian di sekolah, dan Fery yang membersihkan lukaku dengan revanol, mengelapnya dengan kertas bekas ujian. Bekas lukanya masih ada setelah 20 tahun.

Anak laki-laki tidak buruk untuk dijadikan sahabat, bagiku yang perempuan. Mereka meminta maaf ketika candaannya membuatku menangis, menyampaikan permintaan dengan jujur dan sopan, tidak melirik sinis kulitku yang tersengat matahari, tidak peduli dengan gigi kelinciku yang besar. Bahkan mereka merasa tidak perlu membahas hidungku yang pesek.

Anak lelaki sungguh solid. Beberapa pendatang baru di kelas menyukaiku, mungkin karena aku menjadi ‘keset welcome’ atau penyambut agar mereka tidak merasa asing, dan selalu membela saat mereka di bully. Ada yang menyatakannya langsung, dengan surat, atau lewat teman. Sekelompok dari mereka bahkan membuat kesepakatan siapa yang boleh menyatakan dan siapa yang mengalah.

Kiyowo sekali hyung.

Anak lelaki sangat simpel. Aku tidak perlu pura-pura baik dengan teman yang tidak aku sukai. Ketika aku kesal dengan kenakalan mereka, marah atau menangis saja, mereka akan meminta maaf. Jika ingin membalas, aku melaporkan mereka pada guru untuk melihat mereka dimarahi atau di hukum sebagai balasannya. Jika terpaksa, aku kadang menggigit tangannya. Ehehe.

Namun mereka tidak mengelak atas kenakalannya. Justru setelah dihukum, mereka akan melirikku dan berbalas senyum geli. Kami akan main bersama lagi tanpa ada dendam. Anak laki-laki memang nakal dan mengganggu, itu cara mereka untuk mencari dan mencuri perhatian. Kalau terganggu tinggal lawan atau menangis saja. Seringnya, mereka tidak akan membalas anak perempuan.

Saat SMP, jam istirahat aku duduk dikelas sendirian, Saka mendekatkan kursinya dan bertanya “Chely kenapa diam saja? kamu sedang sedih kah?” lucu mendengarnya selalu memakai bahasa baku dengan nada gagap padaku. Atau Rocky yang tiba-tiba menarik tanganku dan mendudukkanku diujung belakang ruangan kelas, “Chel, kamu kok diem ae kenapa? Ceritao ke aku kalo ada masalah.”

Saat SMA pun, ada si kikuk cerdas dan ikonik yang mendukungku secara underground. Si jahil yang memanggilku teteh dan sering membantu tugas pemrogramanku dan juga berbagi cerita. Dan Si cerewet menyebalkan namun jadi kontak pertama saat butuh kehadirannya. Tidak perlu aku sebut namanya karena kemungkinan besar kalian membaca dan aku merasa geli menyatakan ini. Haha

Ada juga teman luar sekolah yang tidak tau cerita hari-hariku, namun selalu menjadi pembeli pertama apa yang aku jual melalui sosmed. Atau randomly bertukar cerita tentang masalah hidup dan meminta pandanganku, tanpa harus sering bertemu. Atau menjadikanku orang pertama yang mengetahui kabar baik maupun buruk darinya.

Bukannya tidak punya sahabat perempuan. Tapi kenyataannya, perempuan cenderung sering mengganggu kenyamanan hidup perempuan lainnya. Akan aku ceritakan di post lain nanti. Disini aku hanya ingin mematahkan stigma dengan menceritakan tentang diriku yang cenderung nyaman bersahabat dengan laki-laki.

Emangnya apa asiknya bersahabat dengan laki-laki?

Mereka tidak perlu validasi ataupun syarat tentang persahabatan.

Tidak perlu memakai gelang persahabatan dan sering kemanapun bersama, tidak perlu mengumumkan bahwa Seli adalah sahabatku dan sebaliknya, aku adalah teman yang selalu ada untuk Seli dan sebaliknya. Tidak ada yang boleh menggantikan posisiku dan sebaliknya. Enteng, tapi ada saatnya juga menyelam begitu dalam. Tidak kecipak-kecipuk di permukaan saja. Duh. Analogiku.

Intinya adalah simpel nan tidak rumit. Saling support dan terbuka. Bahkan meski seiring berjalannya waktu kami tidak lagi berbicara atau kontak karena kesibukan ataupun sudah berkeluarga, mereka tidak akan terlupa. Yang aku tau, mereka ada dan pernah sangat berjasa di perjalanan hidupku. Bukankan itu gunanya sahabat?

Mereka tidak akan membicarakan tentangmu di belakang. Mereka akan membelamu bahkan. Jika tidak memungkinkan, mereka akan menjadi informan. Menanyakan hal rancu yang mereka dengar tentangmu, tanpa segan menegur dan menasehatimu jika ada yang salah. Yang pasti, memberimu support.

Bukan, aku tidak sedang men-judge persahabatan sesama perempuan adalah fake. No. Aku juga punya sahabat perempuan. Sekali lagi aku tekankan, aku ingin mengangkat cerita tentang “cowok dan cewek bisa bersahabat juga kok”. Titik.

“cowok dan cewek kalo bersahabat, pasti salah satunya ada yang punya perasaan lebih” katanya. Kalian yakin suami kalian tidak ada apa-apa dengan sahabat laki-lakinya? Atau sebaliknya juga. Perempuan yang bersahabat dengan perempuan tidak ada yang menaruh curiga bahwa diantara mereka ada apa-apa. Kenapa seyakin itu?

Think.


Love,


Chely

Selasa, 12 Januari 2021

Label Diri

 

Label diri seringkali didapatkan dari orang lain dalam proses pertumbuhan diri seseorang. Saya sendiri juga tidak lepas dari label yang diberikan oleh lingkungan sekitar, baik orang terdekat, maupun orang yang sama sekali tidak mengenal saya secara pribadi, atau hanya mengetahui dan mengenal saya secara visual, yang bisa menyebutkan nama saya ketika melihat wajah saya.

Seringkali yang terdengar dan menancap pada pikiran dan hati adalah label negatif. Seperti pemalas, bodoh, ceroboh, pembohong, lelet (lamban), dan label negatif lainnya pasti pernah Anda dapatkan bukan? Sebaliknya, label positif ini juga biasa kita didapatkan dari orang lain yang puas atas ekspektasinya terhadap diri kita.

Memberi label negatif ini bisa dikatakan sama dengan merundung atau bullying secara verbal. Karena efeknya menjadikan perasaan rendah diri, merasa tidak aman, dan juga sedih. Pemberian label buruk dari orang lain terhadap diri kita mempengaruhi pola pikir kita terhadap diri kita sendiri, dan mempengaruhi sikap kita dalam mengambil keputusan dalam menjalani hidup.

Yang saya ingat, usaha memerangi suara-suara orang lain yang memberikan label buruk kepada saya di usia belasan. Semakin menggeliat setelah saya lulus sekolah dan mulai terjun di lingkungan kerja yang lebih luas saat usia belum genap 17 tahun. Saya bertemu dengan lebih banyak orang dari berbagai kalangan usia, strata, dan latar belakang yang berbeda-beda.

Hal itu yang mengawali semakin terbukanya pikiran, pandangan semakin luas, dan hati yang semakin sering mempertanyakan hal-hal dan memiliki keyakinan terhadap diri sendiri. Untuk sejenak, saya melakukan reka-ulang apa yang telah terjadi di masa lalu. Tentang saya yang tidak pernah mengikuti “tren” teman-teman saya di sekolah yang berhubungan dengan bullying.

Sejak duduk di sekolah dasar, tren panggilan nama orang tua sangat marak dilakukan teman-teman saya. Bagi anak generasi 90an saat itu, hal tersebut sangat lucu dan (mungkin) memuaskan. Merasa jadi yang berkuasa dengan berani menyebut nama orang tua temannya sebagai panggilan tanpa mendapatkan perlawanan. Mungkin. Saya belum pernah mendapat pengakuan jujur dari pelakunya.

Yang jelas bagi saya, itu tidak pernah berhasil membuat saya tertawa, juga adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan, selain itu juga saya sudah paham hal tersebut tidak menunjukkan kesopanan dan penghormatan. Anehnya, ketika saya tidak bereaksi atau merespon yang teman-teman saya lakukan, mereka tidak akan merasa hal tersebut seru untuk ditujukan kepada saya.

Label negatif yang pernah saya dapatkan, pernah juga mempengaruhi pandangan saya terhadap diri saya sendiri selama beberapa saat. Beberapa yang saya ingat adalah saya mendapat julukan “Putri Solo” yang identik dengan gerakan lemah gemulainya, artian yang dimaksudkan adalah orang yang lamban dalam mengerjakan sesuatu.

Saya juga dinilai lamban saat makan, yang sekarang saya pahami, bahwa tingkat lamban dalam mengunyah makanan seorang berusia 20 tahunan dengan anak berusia  5 tahun sangat tidak masuk akal untuk dibandingkan. Namun, label tersebut cukup lama menggelayuti diri saya, saya percaya penuh dengan label tersebut dan merasa tidak perlu berusaha untuk membuktikan sesuatu.

Ketika sudah mulai bekerja, saya merasakan pertumbuhan diri saya terpacu untuk berkembang pesat. Setiap satu demi satu apresiasi yang datang atas kinerja baik saya, membuat saya mulai mempertanyakan label-label negatif yang selama ini menggelayuti diri saya bertahun-tahun. Apa benar saya lamban? Apa benar saya ceroboh? Apa benar saya tidak mampu?

Bukan hanya label negatif yang membunuh karakter, namun saya juga mulai mempertanyakan nilai dasar dari label yang pernah saya dapatkan. Bagaimana orang bisa dikatakan cantik? Siapa yang menentukan ukuran tubuh ideal? Apa yang dapat menengahi antara pemikiran orang satu dengan lainnya?

Saya mulai menggali segala hal dalam diri saya yang masih terpendam selama ini dan menemukan banyak harta yang sangat lebih penting untuk diterima dan disyukuri. Betapa banyak hal yang belum pernah saya kenali dan saya sadari telah miliki dari sosok bernama Selina. Saya ingin semakin mengenal diri saya dan memancarkan apa yang selama ini ada di dalam.

Hingga saat ini, saya tidak pernah memiliki stereotype atas apapun yang ada diluar saya. Dan semakin teguh dengan apa yang sudah saya olah sendiri berdasarkan pemikiran, pengalaman, masukan maupun sanggahan yang telah saya proses sedemikian rupa. Saya terbuka dengan hal-hal diluaran, namun juga memiliki batas yang saya kendalikan untuk dalam diri saya.

Anda mungkin juga sudah mengalami hal yang saya ceritakan, mungkin juga belum, atau bahkan sengaja atau tidak sengaja menghindari untuk mengalami. Berkaitan dengan label diri, beberapa pertanyaan bisa Anda ajukan untuk diri sendiri, dengan tujuan menjadi yang lebih dulu mengenali diri Anda sebelum orang lain.

Apa benar Anda sesuai dengan label yang menancap pada pikiran Anda? Apa kekurangan dan kelebihan Anda menurut penilaian Anda sendiri? Apa hal yang mendasari Anda pantas mendapatkan label tersebut? Siapa  yang boleh maupun tidak boleh mempengaruhi atau memberi penilaian terhadap diri Anda? Apakah Anda bisa memiliki kendali penuh untuk menjadi sesuai seperti yang Anda pikirkan, dan bagaimana caranya?

 

Selina

Minggu, 03 Januari 2021

Memanjakan

 



Habis bahas tentang sikap manja, kali ini bahas yang memanjakan. Gue amatin, banyak banget orang yang belum dengan sadar memanjakan secara sehat. Ujung-ujungnya ngerasa kebebanan secara emosional dan nuntut dapetin hal yang sama.

Nggak beda jauh sama pelaku manja, yang memanjakan juga nggak punya batas diri yang jelas. Makanya seringkali yang begini ini cocok satu sama lain. Dasarnya adalah tentang boundaries. Batas diri yang jelas dari tiap individunya. Berani berkata tidak, pun menerima penolakan. Nggak melulu yang manja adalah cewek dan yang manjain adalah cowok.

Faktanya, banyak juga yang sebaliknya terjadi di sekitar kita. Dan memang nggak ada kotaknya tentang perilaku manusia, cowok maupun cewek sama-sama punya potensi berperilaku apapun, menurut gue ya, jadi sila anggap ini pendapat subjektif.

Balik ke – sebut aja pemanja deh. Istilah ngawur baru bikin spontan ini. Si pemanja ini dalam satu sisi ngerasa berperan sebagai pahlawan, penyelamat, pokoknya ngerasa jadi solusi dari permasalahan si manja. “Lu kalo ga ada gue nggak bisa deh”, “Lu nggak bisa nanggung masalah lu sendirian, biar gue aja yang nanggung”. Sebuah peran berasaskan tanggungjawab semu. Nggak gitu konsepnya.

Hubungan yang sehat adalah saling dukung dan nemenin disetiap saat, bukan yang saling lempar tanggungjawab atas masalah masing-masing. Misalnya lo punya masalah, lo pasti dihadapkan pada pilihan tentang jawaban dari masalah itu. Entah lo bisa dapetin solusi biar masalah selesai, atau lo siap nanggung resikonya karena nggak punya solusi yang bisa nyelesaiin.

Bukannya malah orang lain (bisa pasangan atau orang tua, dsb) yang ambil alih masalah lo, mulai dari mikirin alternatif jalan, ambil keputusan, sampe nanggung resiko. Sedangkan lo nya nggak mau tahu masalah itu. Apa iya bisa di bilang sehat hubungan yang kayak gitu?

Yakin orang lain selain diri lo itu nggak ngerasa kebebanan secara emosional, atau bakalan nuntut sesuatu dibelakang nanti? Ntar kalo si pemanja lagi ada masalah juga, yakin nggak ungkit-ungkit bantuannya biar lo ikut nanggung masalah si pemanja? Peran si manja dan si pemanja, si lemah dan si kuat, si korban dan si penyelamat ini nggak akan bisa seimbang, selalu timpang iya.

Kenapa bisa gitu? Padahal bisa aja kan sepakat saling gantian aja. Ya karena ukuran peran dari suatu masalah itu nggak bisa ditakar secara pasti. Nggak ada nilai pasti dari suatu tanggungjawab atas masalah orang lain yang kalian ambil alih. Bingung?

Misalnya gue mutusin buat nggak nerusin S1 karena saat itu lagi riweuh bikin laporan OJT buat kompre D1 gue ditambah persiapan pernikahan. Ini contoh nyata yang gue alamin. Saat itu gue move on nya lama banget dari masalah ini. Gue sadar tanpa ada paksaan mutusin ini, gue ngerasa saat itu keputusan yang gue ambil emang terbaik.

Di saat awal pernikahan yang mulai berasa lika-likunya, dalam hati selalu ada bisikan “gue udah mutusin nggak nerusin S1 padahal udah bayar uang masuk segala macem bahkan dapet seragam, demi fokus buat menikah sama lo”. Pas lagi kecewa, atau ada perselisihan yang wajar terjadi dalam rumah tangga, selalu keinget keputusan itu, ada rasa hampir aja nyesel disaat lagi emosional banget.

Padahal itu sama sekali bukan salah suami gue, dia nggak pernah nyuruh atau maksain apapun keputusan saat itu, dan gue sadari itu. Milih buat nunda S1 -- Ini masalah gue, sedangkan perselisihan rumah tangga – ini beda lagi, ini masalah kami berdua yang harus saling kompromi buat cari solusi yang terbaik buat bersama.

Intinya, suami gue nggak layak buat merasa kebebanan secara emosional karena S1 gue ketunda sampe saat ini. Ini masalah yang ada dalam kontrol gue sepenuhnya. Toh suami gue nggak pernah menghalangi keinginan nerusin S1 gue, sampe saat ini pun mendukung meski belum ada kesempatannya lagi, dan seiring berjalannya waktu saat ini gue udah legowo tentang masalah itu.

Akan jadi nggak sehat ketika gue nuntut suami bertanggungjawab untuk nurutin mau gue karena ‘pengorbanan’ yang udah gue lakuin buat menikah – sama dia. Mungkin aja gue bisa jadiin itu senjata buat kasih dia tekanan buat selalu membahagiakan, nggak ngecewain, nurutin semua mau gue karena ‘pengorbanan’ itu. Dan mungkin juga dia bakalan nerima tanggungjawab itu.

Tapi apa itu bisa dibilang seimbang? Apa suami gue nggak ngerasa tertekan dan timpang karena gue selalu ngungkit tentang pengorbanan yang gue lakuin disaat kita lagi ada perselisihan, bukannya saling kompromi. Gue bisa aja selalu jadi menang, tapi itu kemenangan kosong. Gue kayak lagi taruhan dan punya kartu bagus. Tapi perasaan menang itu sangat dangkal.

Lama-lama yang ada hubungan jadi terasa hampa karena nggak pernah ada perasaan yang mendalam atas sikap ‘saling’ yang sehat, sikap yang ‘take and give’. Karena yang ada hanya saling tuntut dan saling hitung peran sendiri. Batasan atas diri masing-masing nggak jelas. Apa ini bikin hubungan toksik? Silahkan dijawab sendiri. Bye.


Selina

 

 

Sabtu, 02 Januari 2021

Manja



Pas denger kata manja, apa yang terdefinisikan di kepala kalian? Gelendotan? Disuapin? Atau yang agak serius – menyerahkan urusan kita untuk dikerjakan orang lain. Apa kalian yakin bukan orang yang manja? Atau malah kalian nggak sadar kalau termasuk orang yang manja?

Manja, kalo mengutip kata Raditya Dika dari salah satu video Youtubenya yaitu memanipulasi emosi seseorang agar bertanggungjawab atas masalah kita. Klik. On point banget menurutku pribadi. Contohnya gimana tuh?

Misalnya pas adek lo ngerengek minta anterin ke warnet buat ngerjain tugas, padahal ada motor nganggur dan dia udah bisa naik motor – ini manja. Beda dengan, diluar ujan, terus lo khawatir adek lo bawa motor masih ga bener. Pas dia mau berangkat lu nawarin diri nganterin – ini bukan manja. Ini inisiatif dan kerelaan lo buat bantuin adek. Ga ada beban emosional pas ngelakuinnya.

Contoh lagi, misalnya lo pasangan menikah. Pas weekend suami lo pengen ketemu temen-temen lamanya, dia bilang mau nobar sama temen-temen cowok. Lo dalam hati pengen ngabisin waktu sama dia. Bukannya ungkapin dan obrolin biar bagi waktunya sama-sama enak, lu ngasih syarat boleh ikut atau suami lo ga boleh berangkat nobar – ini manja.

Kecuali suami lo emang suka ngajakin lo buat ikut kemana-mana karena mungkin aja temen-temennya juga ngajakin pasangannya, jadi suami lo nggak ada beban pas asik nonton bola atau kumpul sama temen-temennya dan nganggurin lo disana – ini bukan manja.

Satu contoh lagi biar manteb. Misalnya lo pengen beli smartphone baru, karena ga punya duit buat beli cash lo kredit deh. Terus sehari sebelum deadline bayar cicilan lo pengen beli tas yang seharga cicilan pertama smartpone tadi.

Lo milih nurutin beli tas yang lo pengen, terus bilang ke suami, “yang tolong bayarin cicilan hapeku ya besok. Soalnya budget nyicilnya aku beliin tas yang lagi diskon, kan belum tentu besok-besok ada lagi diskonnya”.

Padahal lo udah dikasih budget buat kebutuhan bulanan. Sehinga bikin suami lo jadi ngorbanin uang lebih, atau waktu buat overtime biar dapet lemburan, atau tabungan dia yang sebenernya juga lagi pengen beli sesuatu. Intinya suami lo jadi harus bertanggungjawab deh sama keputusan yang lo ambil sendiri.

Beda lagi kalo suami lo orang yang merdeka finansial tujuh turunan, meski lo suka ngasi serangan dadakan gitu bisa tanpa beban aja nge-iyain, bayarin, tanpa beban emosional sama sekali. Bisa mulai keliatan nggak definisi manja tadi?

Jadi, orang mandiri – tidak manja, bukan berarti orang yang semua-muanya dikerjain sendiri tanpa campur tangan bantuan orang lain. Tapi lebih seperti, orang yang bisa mengantisipasi dan bertanggunjawab untuk menyelesaikan ataupun menanggung resiko atas segala keputusan dan permasalaannya – terlepas ada orang yang berinisiatif menawarkan bantuan dengan suka rela.

Kuncinya di kata manipulasi tadi sih. Ada juga kasus hubungan toksik yang secara emosional melakukan manipulasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan dasar egonya. Belum tentu orang manja itu secara langsung menyampaikan sebuah ‘permintaan’ kepada korbannya. Cie korban.

Ada yang juga menggunakan teknik pasif-agresif biar korbannya tertekan dan mengabulkan keinginan terselubung yang disiratkan secara emosional.  Misalnya, lo lagi pergi ke salon disuatu mall sendirian pas suami lagi kerja. Terus dompet lo ketinggalan dan baru sadar pas baru nyampe salon. Lo telepon suami bilang dompet ketinggal dirumah padahal lo tau suami lagi kerja.

Bukannya sadar itu kesalahan lo sendiri dan peduli kalo suami lo harusnya profesional, terus balik pulang ambil dompet atau ke salon lain waktu aja, lo malah bilang “yaudah gapapa,  aku telepon ‘sebut nama mantan’ aja, kan dia kerja jadi kepala toko di supermarket sini”. Yang pastinya bikin suami lo dipertaruhin harga dirinya dan ngerasa nggak ada pilihan selain nurutin mau lo.

Silahkan tersinggung. Itu proses yang bagus sekali buat diri lo sadar. Gue bahas gini bukan karena gue ngerasa lebih mandiri dari siapa. Tapi karena dulu gue pernah juga kok ternyata nggak sadar diri kalo lagi annoying banget manjanya. Dan sekarang sudah berlalu. Gimana bisa berubah kalo nggak sadar dulu kan?

Jadi poinnya disini buat biar pada nanya aja sama dirinya sendiri, “gue annoying nggak sih?”, “Oh ternyata meski secara finansial gue mandiri, ternyata ada sikap-sikap manja yang toksik banget yah.” Dan seterusnya. Kalo ada yang ngerasa korban lo dengan senang hati aja ngadepin kemanjaan lo, ya syukur deh kalian cocok.

Ada dari kalian yang merasa jadi korban manja? Alias yang memanjakan orang? Ngerasa kebebanan secara emosional? Ini beda bahasan lagi, tapi relevan banget sama topik ini. Ternyata kalian – yang memanjakan, juga turut andil dalam kegiatan toksik ini. Lebih mengacu ke bahasan tentang batasan diri. Next semoga ketemu lagi. See ya!

 

Selina