Selasa, 12 Januari 2021

Label Diri

 

Label diri seringkali didapatkan dari orang lain dalam proses pertumbuhan diri seseorang. Saya sendiri juga tidak lepas dari label yang diberikan oleh lingkungan sekitar, baik orang terdekat, maupun orang yang sama sekali tidak mengenal saya secara pribadi, atau hanya mengetahui dan mengenal saya secara visual, yang bisa menyebutkan nama saya ketika melihat wajah saya.

Seringkali yang terdengar dan menancap pada pikiran dan hati adalah label negatif. Seperti pemalas, bodoh, ceroboh, pembohong, lelet (lamban), dan label negatif lainnya pasti pernah Anda dapatkan bukan? Sebaliknya, label positif ini juga biasa kita didapatkan dari orang lain yang puas atas ekspektasinya terhadap diri kita.

Memberi label negatif ini bisa dikatakan sama dengan merundung atau bullying secara verbal. Karena efeknya menjadikan perasaan rendah diri, merasa tidak aman, dan juga sedih. Pemberian label buruk dari orang lain terhadap diri kita mempengaruhi pola pikir kita terhadap diri kita sendiri, dan mempengaruhi sikap kita dalam mengambil keputusan dalam menjalani hidup.

Yang saya ingat, usaha memerangi suara-suara orang lain yang memberikan label buruk kepada saya di usia belasan. Semakin menggeliat setelah saya lulus sekolah dan mulai terjun di lingkungan kerja yang lebih luas saat usia belum genap 17 tahun. Saya bertemu dengan lebih banyak orang dari berbagai kalangan usia, strata, dan latar belakang yang berbeda-beda.

Hal itu yang mengawali semakin terbukanya pikiran, pandangan semakin luas, dan hati yang semakin sering mempertanyakan hal-hal dan memiliki keyakinan terhadap diri sendiri. Untuk sejenak, saya melakukan reka-ulang apa yang telah terjadi di masa lalu. Tentang saya yang tidak pernah mengikuti “tren” teman-teman saya di sekolah yang berhubungan dengan bullying.

Sejak duduk di sekolah dasar, tren panggilan nama orang tua sangat marak dilakukan teman-teman saya. Bagi anak generasi 90an saat itu, hal tersebut sangat lucu dan (mungkin) memuaskan. Merasa jadi yang berkuasa dengan berani menyebut nama orang tua temannya sebagai panggilan tanpa mendapatkan perlawanan. Mungkin. Saya belum pernah mendapat pengakuan jujur dari pelakunya.

Yang jelas bagi saya, itu tidak pernah berhasil membuat saya tertawa, juga adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan, selain itu juga saya sudah paham hal tersebut tidak menunjukkan kesopanan dan penghormatan. Anehnya, ketika saya tidak bereaksi atau merespon yang teman-teman saya lakukan, mereka tidak akan merasa hal tersebut seru untuk ditujukan kepada saya.

Label negatif yang pernah saya dapatkan, pernah juga mempengaruhi pandangan saya terhadap diri saya sendiri selama beberapa saat. Beberapa yang saya ingat adalah saya mendapat julukan “Putri Solo” yang identik dengan gerakan lemah gemulainya, artian yang dimaksudkan adalah orang yang lamban dalam mengerjakan sesuatu.

Saya juga dinilai lamban saat makan, yang sekarang saya pahami, bahwa tingkat lamban dalam mengunyah makanan seorang berusia 20 tahunan dengan anak berusia  5 tahun sangat tidak masuk akal untuk dibandingkan. Namun, label tersebut cukup lama menggelayuti diri saya, saya percaya penuh dengan label tersebut dan merasa tidak perlu berusaha untuk membuktikan sesuatu.

Ketika sudah mulai bekerja, saya merasakan pertumbuhan diri saya terpacu untuk berkembang pesat. Setiap satu demi satu apresiasi yang datang atas kinerja baik saya, membuat saya mulai mempertanyakan label-label negatif yang selama ini menggelayuti diri saya bertahun-tahun. Apa benar saya lamban? Apa benar saya ceroboh? Apa benar saya tidak mampu?

Bukan hanya label negatif yang membunuh karakter, namun saya juga mulai mempertanyakan nilai dasar dari label yang pernah saya dapatkan. Bagaimana orang bisa dikatakan cantik? Siapa yang menentukan ukuran tubuh ideal? Apa yang dapat menengahi antara pemikiran orang satu dengan lainnya?

Saya mulai menggali segala hal dalam diri saya yang masih terpendam selama ini dan menemukan banyak harta yang sangat lebih penting untuk diterima dan disyukuri. Betapa banyak hal yang belum pernah saya kenali dan saya sadari telah miliki dari sosok bernama Selina. Saya ingin semakin mengenal diri saya dan memancarkan apa yang selama ini ada di dalam.

Hingga saat ini, saya tidak pernah memiliki stereotype atas apapun yang ada diluar saya. Dan semakin teguh dengan apa yang sudah saya olah sendiri berdasarkan pemikiran, pengalaman, masukan maupun sanggahan yang telah saya proses sedemikian rupa. Saya terbuka dengan hal-hal diluaran, namun juga memiliki batas yang saya kendalikan untuk dalam diri saya.

Anda mungkin juga sudah mengalami hal yang saya ceritakan, mungkin juga belum, atau bahkan sengaja atau tidak sengaja menghindari untuk mengalami. Berkaitan dengan label diri, beberapa pertanyaan bisa Anda ajukan untuk diri sendiri, dengan tujuan menjadi yang lebih dulu mengenali diri Anda sebelum orang lain.

Apa benar Anda sesuai dengan label yang menancap pada pikiran Anda? Apa kekurangan dan kelebihan Anda menurut penilaian Anda sendiri? Apa hal yang mendasari Anda pantas mendapatkan label tersebut? Siapa  yang boleh maupun tidak boleh mempengaruhi atau memberi penilaian terhadap diri Anda? Apakah Anda bisa memiliki kendali penuh untuk menjadi sesuai seperti yang Anda pikirkan, dan bagaimana caranya?

 

Selina

Minggu, 03 Januari 2021

Memanjakan

 



Habis bahas tentang sikap manja, kali ini bahas yang memanjakan. Gue amatin, banyak banget orang yang belum dengan sadar memanjakan secara sehat. Ujung-ujungnya ngerasa kebebanan secara emosional dan nuntut dapetin hal yang sama.

Nggak beda jauh sama pelaku manja, yang memanjakan juga nggak punya batas diri yang jelas. Makanya seringkali yang begini ini cocok satu sama lain. Dasarnya adalah tentang boundaries. Batas diri yang jelas dari tiap individunya. Berani berkata tidak, pun menerima penolakan. Nggak melulu yang manja adalah cewek dan yang manjain adalah cowok.

Faktanya, banyak juga yang sebaliknya terjadi di sekitar kita. Dan memang nggak ada kotaknya tentang perilaku manusia, cowok maupun cewek sama-sama punya potensi berperilaku apapun, menurut gue ya, jadi sila anggap ini pendapat subjektif.

Balik ke – sebut aja pemanja deh. Istilah ngawur baru bikin spontan ini. Si pemanja ini dalam satu sisi ngerasa berperan sebagai pahlawan, penyelamat, pokoknya ngerasa jadi solusi dari permasalahan si manja. “Lu kalo ga ada gue nggak bisa deh”, “Lu nggak bisa nanggung masalah lu sendirian, biar gue aja yang nanggung”. Sebuah peran berasaskan tanggungjawab semu. Nggak gitu konsepnya.

Hubungan yang sehat adalah saling dukung dan nemenin disetiap saat, bukan yang saling lempar tanggungjawab atas masalah masing-masing. Misalnya lo punya masalah, lo pasti dihadapkan pada pilihan tentang jawaban dari masalah itu. Entah lo bisa dapetin solusi biar masalah selesai, atau lo siap nanggung resikonya karena nggak punya solusi yang bisa nyelesaiin.

Bukannya malah orang lain (bisa pasangan atau orang tua, dsb) yang ambil alih masalah lo, mulai dari mikirin alternatif jalan, ambil keputusan, sampe nanggung resiko. Sedangkan lo nya nggak mau tahu masalah itu. Apa iya bisa di bilang sehat hubungan yang kayak gitu?

Yakin orang lain selain diri lo itu nggak ngerasa kebebanan secara emosional, atau bakalan nuntut sesuatu dibelakang nanti? Ntar kalo si pemanja lagi ada masalah juga, yakin nggak ungkit-ungkit bantuannya biar lo ikut nanggung masalah si pemanja? Peran si manja dan si pemanja, si lemah dan si kuat, si korban dan si penyelamat ini nggak akan bisa seimbang, selalu timpang iya.

Kenapa bisa gitu? Padahal bisa aja kan sepakat saling gantian aja. Ya karena ukuran peran dari suatu masalah itu nggak bisa ditakar secara pasti. Nggak ada nilai pasti dari suatu tanggungjawab atas masalah orang lain yang kalian ambil alih. Bingung?

Misalnya gue mutusin buat nggak nerusin S1 karena saat itu lagi riweuh bikin laporan OJT buat kompre D1 gue ditambah persiapan pernikahan. Ini contoh nyata yang gue alamin. Saat itu gue move on nya lama banget dari masalah ini. Gue sadar tanpa ada paksaan mutusin ini, gue ngerasa saat itu keputusan yang gue ambil emang terbaik.

Di saat awal pernikahan yang mulai berasa lika-likunya, dalam hati selalu ada bisikan “gue udah mutusin nggak nerusin S1 padahal udah bayar uang masuk segala macem bahkan dapet seragam, demi fokus buat menikah sama lo”. Pas lagi kecewa, atau ada perselisihan yang wajar terjadi dalam rumah tangga, selalu keinget keputusan itu, ada rasa hampir aja nyesel disaat lagi emosional banget.

Padahal itu sama sekali bukan salah suami gue, dia nggak pernah nyuruh atau maksain apapun keputusan saat itu, dan gue sadari itu. Milih buat nunda S1 -- Ini masalah gue, sedangkan perselisihan rumah tangga – ini beda lagi, ini masalah kami berdua yang harus saling kompromi buat cari solusi yang terbaik buat bersama.

Intinya, suami gue nggak layak buat merasa kebebanan secara emosional karena S1 gue ketunda sampe saat ini. Ini masalah yang ada dalam kontrol gue sepenuhnya. Toh suami gue nggak pernah menghalangi keinginan nerusin S1 gue, sampe saat ini pun mendukung meski belum ada kesempatannya lagi, dan seiring berjalannya waktu saat ini gue udah legowo tentang masalah itu.

Akan jadi nggak sehat ketika gue nuntut suami bertanggungjawab untuk nurutin mau gue karena ‘pengorbanan’ yang udah gue lakuin buat menikah – sama dia. Mungkin aja gue bisa jadiin itu senjata buat kasih dia tekanan buat selalu membahagiakan, nggak ngecewain, nurutin semua mau gue karena ‘pengorbanan’ itu. Dan mungkin juga dia bakalan nerima tanggungjawab itu.

Tapi apa itu bisa dibilang seimbang? Apa suami gue nggak ngerasa tertekan dan timpang karena gue selalu ngungkit tentang pengorbanan yang gue lakuin disaat kita lagi ada perselisihan, bukannya saling kompromi. Gue bisa aja selalu jadi menang, tapi itu kemenangan kosong. Gue kayak lagi taruhan dan punya kartu bagus. Tapi perasaan menang itu sangat dangkal.

Lama-lama yang ada hubungan jadi terasa hampa karena nggak pernah ada perasaan yang mendalam atas sikap ‘saling’ yang sehat, sikap yang ‘take and give’. Karena yang ada hanya saling tuntut dan saling hitung peran sendiri. Batasan atas diri masing-masing nggak jelas. Apa ini bikin hubungan toksik? Silahkan dijawab sendiri. Bye.


Selina

 

 

Sabtu, 02 Januari 2021

Manja



Pas denger kata manja, apa yang terdefinisikan di kepala kalian? Gelendotan? Disuapin? Atau yang agak serius – menyerahkan urusan kita untuk dikerjakan orang lain. Apa kalian yakin bukan orang yang manja? Atau malah kalian nggak sadar kalau termasuk orang yang manja?

Manja, kalo mengutip kata Raditya Dika dari salah satu video Youtubenya yaitu memanipulasi emosi seseorang agar bertanggungjawab atas masalah kita. Klik. On point banget menurutku pribadi. Contohnya gimana tuh?

Misalnya pas adek lo ngerengek minta anterin ke warnet buat ngerjain tugas, padahal ada motor nganggur dan dia udah bisa naik motor – ini manja. Beda dengan, diluar ujan, terus lo khawatir adek lo bawa motor masih ga bener. Pas dia mau berangkat lu nawarin diri nganterin – ini bukan manja. Ini inisiatif dan kerelaan lo buat bantuin adek. Ga ada beban emosional pas ngelakuinnya.

Contoh lagi, misalnya lo pasangan menikah. Pas weekend suami lo pengen ketemu temen-temen lamanya, dia bilang mau nobar sama temen-temen cowok. Lo dalam hati pengen ngabisin waktu sama dia. Bukannya ungkapin dan obrolin biar bagi waktunya sama-sama enak, lu ngasih syarat boleh ikut atau suami lo ga boleh berangkat nobar – ini manja.

Kecuali suami lo emang suka ngajakin lo buat ikut kemana-mana karena mungkin aja temen-temennya juga ngajakin pasangannya, jadi suami lo nggak ada beban pas asik nonton bola atau kumpul sama temen-temennya dan nganggurin lo disana – ini bukan manja.

Satu contoh lagi biar manteb. Misalnya lo pengen beli smartphone baru, karena ga punya duit buat beli cash lo kredit deh. Terus sehari sebelum deadline bayar cicilan lo pengen beli tas yang seharga cicilan pertama smartpone tadi.

Lo milih nurutin beli tas yang lo pengen, terus bilang ke suami, “yang tolong bayarin cicilan hapeku ya besok. Soalnya budget nyicilnya aku beliin tas yang lagi diskon, kan belum tentu besok-besok ada lagi diskonnya”.

Padahal lo udah dikasih budget buat kebutuhan bulanan. Sehinga bikin suami lo jadi ngorbanin uang lebih, atau waktu buat overtime biar dapet lemburan, atau tabungan dia yang sebenernya juga lagi pengen beli sesuatu. Intinya suami lo jadi harus bertanggungjawab deh sama keputusan yang lo ambil sendiri.

Beda lagi kalo suami lo orang yang merdeka finansial tujuh turunan, meski lo suka ngasi serangan dadakan gitu bisa tanpa beban aja nge-iyain, bayarin, tanpa beban emosional sama sekali. Bisa mulai keliatan nggak definisi manja tadi?

Jadi, orang mandiri – tidak manja, bukan berarti orang yang semua-muanya dikerjain sendiri tanpa campur tangan bantuan orang lain. Tapi lebih seperti, orang yang bisa mengantisipasi dan bertanggunjawab untuk menyelesaikan ataupun menanggung resiko atas segala keputusan dan permasalaannya – terlepas ada orang yang berinisiatif menawarkan bantuan dengan suka rela.

Kuncinya di kata manipulasi tadi sih. Ada juga kasus hubungan toksik yang secara emosional melakukan manipulasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan dasar egonya. Belum tentu orang manja itu secara langsung menyampaikan sebuah ‘permintaan’ kepada korbannya. Cie korban.

Ada yang juga menggunakan teknik pasif-agresif biar korbannya tertekan dan mengabulkan keinginan terselubung yang disiratkan secara emosional.  Misalnya, lo lagi pergi ke salon disuatu mall sendirian pas suami lagi kerja. Terus dompet lo ketinggalan dan baru sadar pas baru nyampe salon. Lo telepon suami bilang dompet ketinggal dirumah padahal lo tau suami lagi kerja.

Bukannya sadar itu kesalahan lo sendiri dan peduli kalo suami lo harusnya profesional, terus balik pulang ambil dompet atau ke salon lain waktu aja, lo malah bilang “yaudah gapapa,  aku telepon ‘sebut nama mantan’ aja, kan dia kerja jadi kepala toko di supermarket sini”. Yang pastinya bikin suami lo dipertaruhin harga dirinya dan ngerasa nggak ada pilihan selain nurutin mau lo.

Silahkan tersinggung. Itu proses yang bagus sekali buat diri lo sadar. Gue bahas gini bukan karena gue ngerasa lebih mandiri dari siapa. Tapi karena dulu gue pernah juga kok ternyata nggak sadar diri kalo lagi annoying banget manjanya. Dan sekarang sudah berlalu. Gimana bisa berubah kalo nggak sadar dulu kan?

Jadi poinnya disini buat biar pada nanya aja sama dirinya sendiri, “gue annoying nggak sih?”, “Oh ternyata meski secara finansial gue mandiri, ternyata ada sikap-sikap manja yang toksik banget yah.” Dan seterusnya. Kalo ada yang ngerasa korban lo dengan senang hati aja ngadepin kemanjaan lo, ya syukur deh kalian cocok.

Ada dari kalian yang merasa jadi korban manja? Alias yang memanjakan orang? Ngerasa kebebanan secara emosional? Ini beda bahasan lagi, tapi relevan banget sama topik ini. Ternyata kalian – yang memanjakan, juga turut andil dalam kegiatan toksik ini. Lebih mengacu ke bahasan tentang batasan diri. Next semoga ketemu lagi. See ya!

 

Selina


Sabtu, 19 Desember 2020

Hak Istimewa

 


Ada yang merasa hidupnya mudah dan punya banyak hak istimewa atau privilege? Atau malah merasa menderita dan paling kurang? *angkat tangan*

Iya.. Saya. Aku. Gue. Abdi. Dalem. Me. Moi. Mich. ‘Ana. Мне. 나를. ฉัน.

Dah ah google translate sendiri sana.

Pernah banget merasa punya privilege atau hak istimewa yang kita sendiri nggak bisa memilih, pernah juga ngerasa kalah dengan privilege orang lain yang aku nggak miliki. Yeah, as you know betapa kecantikan saya menyaingi galgadot sampe bisa masuk bandara tanpa antri.

*becanda ding*

*belom pernah masuk bandara*

*paspor aja nggak punya*

*masuk bandara emangnya nggak harus antri ya emang?*

*tapi emang kata Zac aku paling cantik*

Ngelawak lagi gua tampol ya.

Kalau mau coba sebutin privilege yang aku sadari di hidupku, apa ya? Mmm.. let say lahir di Indonesia di saat perang dunia II usai, punya keluarga inti yang utuh dan sehat walafiat, punya anak yang terlahir sehat mental dan jasmaninya, punya imun tubuh yang cukup baik sehingga nggak pernah rawat inap di RS kecuali pas melahirkan, dan buanyak lagi pastinya.

Kalau pernah kalah atas privilege orang lain, contohnya ya bisa beli buku cetak pas sekolah karena orang tuanya mampu sedangkan aku harus fotokopi, punya motor pas masih sekolah sedangkan aku harus jalan kaki jauh demi nggak oper angkot, bangun lebih pagi karena harus ngetem dulu, dan nunggu reda pas hujan biar bisa pulang, buaanyak lagi kalau mau di kulik.

Jadi intinya, kita semua punya privilege,lho! Sekecil dan seremeh apapun bagi kita bisa jadi hal yang berharga dan nggak dimiliki orang lain. Jadi daripada fokus iri dan nyinyir dengan keistimewaan yang dimiliki orang dan nggak kita punya, mending kita hitung sendiri privilege kita dan merasa bertanggungjawab atas itu.

Misalnya kamu merasa cantik, ya alangkah baiknya kamu lebih berperan untuk membuat orang bisa merasa, membuat, dan menyadari bahwa dirinya cantik. Kamu mewarisi kekayaan tujuh turunan, ya buat hartamu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Atau kamu terkenal, buat kepopuleranmu itu bisa membuat suara-suara orang yang punya nilai baik tapi tidak terdengar jadi tersebar luas.

Nggak perlu hal besar, mulai aja satu langkah kecil, mulai untuk kebaikan satu orang, yang terdekat, atau yang lewat didepan matamu, yang kamu nggak kenal bahkan. Membela temanmu yang korban bully di kelas mungkin, beliin sarapan buat polisi cepek yang rutin nyebrangin kamu, atau iseng aja doain ojek online yang habis anter orderanmu lewat chat biar selalu sehat dan lancar rejeki.

Yuk mulai satu hari ini.

 

Love,

 

Chely

 

Jumat, 18 Desember 2020

Review Ramuan Cinta by Muti

 



Disini aku mau kasih review jujur tentang Ramuan Cinta by Kak Muti. Ini udah kali ke tiga repeat order Ramuan Cinta. Yang belum tau, Ramuan Cinta apa sih? No, bukan jampi-jampi biar percintaan kalian bisa lancar. Ini adalah ramuan herbal yang dapat mencegah dan mengobati bermacam-macam penyakit.

Berawal dari follow IG @rumah.jljaksaagung.tour travel dari lama karena aku pernah di bidang perhotelan dulu. Liat feed promosinya Ramcin by Kak Muti kok rasanya pengen cobain pas aku punya keluhan kesehatan.

Aku orang yang nggak asal dalam melangkah (cie!). Jadi aku cari tahu dulu tentang Ramcin ini sebelum beli. Baca testimonial, baca penjelasan lengkap dari Kak Muti, cari tahu bahan dan proses pembuatannya. Setelah udah mantapin hati, baru mutusin buat order.

Oh iya, aku juga mau bilang ini review jujur secara cuma-cuma karena mau bagi info bermanfaat aja. Bukan endorse ataupun promosi berbayar ya. So, langsung aja aku kasih tahu apa aja manfaat Ramcin yang sudah aku rasakan sendiri.

1.       Keputihan Hilang

Tahun ini kayaknya tahun stress buat banyak orang, ya nggak? Banyak hal yang bertubi-tubi menimpa kita semua. Termasuk juga efek pandemi seperti kondisi keuangan, sosial, karir, semuanya ikut berubah kan? Sampai-sampai disebut dengan istilah new normal.

Aku yang selama ini belum pernah bermasalah dengan keputihan tiba-tiba aja merasakan. Mungkin banyak juga yang dulunya belum pernah mengalami terus tahun ini juga lagi terganggu dengan keputihan yang nggak normal. Sudah coba obat apotek yang disaranin temen, sempet reda beberapa bulan, terus kambuh lagi karena badai susulan. Ehe..

Aku sampe bingung, hati dan pikiran udah merasa nggak ada (baca: sudah kebal) masalah. Minum obat apotek lagi udah nggak mempan. Tapi setelah cobain rutin minum Ramcin dan ngikutin sesuai instruksi, dalam 2-3 hari udah bisa merasakan prosesnya. Semakin hari makin berkurang rasa gatal, keputihan mulai normal dan berangsur sembuh!^^

2.       Stamina Terjaga

Bu ibu, siapa yang sering kesemutan, cung? Hehehe. Sejak jadi ibu rumah tangga pasti lebih banyak kegiatan rutin yang nggak bisa di samakan dengan olahraga. Meskipun sering gerak seperti nyapu, ngepel, nyuci, masak, tapi otot yang dilatih itu nggak sama dengan olahraga yang benar. Jadi memang harusnya kita itu rajin olahraga ya, eonnie!

Nah, awalnya cuman niat menormalkan keputihan. Aku yang biasanya merasa pegel-pegel, kesemutan karena terlalu lama baca buku atau main HP, atau berbagai keluhan tubuh usia 25 ke atas (xixixi). Setelah minum Ramcin secara rutin, rasanya badan lebih enak aja, nggak gampang capek, lebih segar dan bugar setelah bangun tidur.

3.       Pencernaan Membaik

Aku punya maag yang sering kumat-kumatan. Udah bobrok banget ini lambung karena pola makan yang buruk. Suka pedes, soda, kopi, telat makan. Jadi kalau kondisi lambung lagi nggak pas, salah makan dikit langsung kambuh.

Saking parahnya, udah nggak bisa lepas dari stok jahe keraton di rumah karena nggak mempan mau minum obat maag, selain aku juga nggak suka minum obat dari dulu. Sampe pernah di bully temen yang owner sebuah cafe, masa temen-temen pada pesen minuman yang enak-enak, aku malah minum wedhang uwuh. Huhuhu.

Suatu pagi setelah rutin minum Ramcin, aku buka kulkas dan ada susu cokelat yang menggodaku, aih. Aku ambil dan aku teguk, glek glek glek ah..

Allah! Baru inget belum sarapan, pasti kambuh bentar lagi deh, kataku dalam hati. Ternyata sampe di kantor pun seharian perutku aman-aman aja. Terharu banget.

Makan pedes sewajarnya, minum kopi secukupnya, udah bisa menikmati hidup lagi. Huhuhuhu. Nggak 100% hilang begitu saja maag dari hidupku. Masih ada kumatnya kalau aku lagi keterlaluan bandelnya, hiks. Tapi ini udah Alhamdulillah banget jauh membaik dari sebelumnya.

4.       BAB Lancar

Sekitar hari ke 1 sampai ke 5 konsumsi Ramcin, aku jadi bolak-balik ke kamar mandi. Sering banget pipis dan BAB. Bahkan pernah yang sehari 4 kali, tapi nggak sakit perut yang gimana-gimana. Ya mules biasa aja berasa kebelet gitu. Ternyata banyak sampah di dalam tubuhku yang harus di detoks kayaknya.

Perut berasa lebih enteng dan nyaman kalau kotoran yang harus dibuang hilang kan? Bukan tipu-tipu memang. Aku merasakan sendiri enaknya punya pencernaan lancar dan tubuh yang bersih dari ‘sampah’. Rasanya seperti menjadi Iron Woman! *pegang setrika*

5.       Jerawat Berkurang

Masih nyambung dengan tahun penuh tekanan ini. Selain nggak pernah keputihan, aku juga nggak pernah jerawatan parah. Sejak pertengahan tahun kemarin jerawat nggak pernah absen dari wajahku. Padahal biasanya aku tumbuh jerawat 1-2 aja kalau mau menstruasi.

Sejak minum Ramcin, jerawat lebih cepet mengering dan berkurang meski nggak serta-merta menghilang. Usut punya usut, aku baru ngeh ternyata skincare ku expired dong! Itu juga punya andil penyebab jerawatanku ternyata. Hehehehe.

Aku belum ada budget buat beli yang baru. Maaf ya wajahku, aku dudul dan pelit sekali sama kamu. Viva face tonic aja dulu ya. Yang penting Ramcinnya rutin juga. Wink.

6.       Wajah Cerah

Bangun tidur ku terus ngaca. Hehehe. Kebiasaan pas perawan bangun tidur langsung bercermin karena ngerasa cantik alami. Setelah menikah, kantung mata makin hitam, garis halus mulai menyapa, wajah kusam karena uap kompor atau jemur baju. Masih tetep merasa cantik karena punya anak yang bucin sama mamanya.

Sering banget Zac bilang, “mmm.. cantiknya mama”, “mama cantik meski ndak pake listip”, “mama cantik meski ndak dandan”, “mama tambah cantik kalo dandan”.

Tapi sejak minum Ramcin, kata-kata itu nggak kayak abang-abange lambe saja karena merasa tervalidasi liat wajahku cerah, segar, merona. Yang paling jelas itu dari bibirku yang biasanya pucat karena cenderung darah rendah, jadi lebih berwarna alami.

Sepertinya karena darah yang lancar jadi efeknya kemana-mana ya. Aku nggak lebih paham dan bisa jelasin secara ilmiah, makanya aku bicara sesuai manfaat apa yang aku rasakan.

7.       Kulit Halus

Ampas dari Ramcin ini aku nggak langsung buang gitu aja. Selalu aku simpan dulu di kulkas karena bisa dipakai masker atau lulur pas luang. Efeknya, jerawat diwajah makin cepat matang, kulit juga halus sekali setelah pakai lulur dari ampas Ramcin. Biasanya aku pakai pas weekend sebelum mandi.

Setelah di bilas dengan sabun pasti masih ada bekas kuning dari kunyit, tapi nggak yang sampai kayak Minion dan Sponge Bob gitu kok, hyung. Mungkin bekas kuning di kuku jari aja yang agak bertahan lebih lama. Tidak terlalu kentara dan mengganggu penampilan sih menurutku.

Itu tadi efek nyata yang udah aku rasain dengan konsumsi Ramcin. Tapi selain mengandalkan Ramcin, kita juga harus jaga asupan dan perbaiki pola hidup ya. Penting juga untuk mengikuti instruksi cara mengkonsumsi yang benar biar hasilnya bisa didapatkan secara maksimal. Seringkali, tubuh kita ini rusak karena kemalasan kita sendiri buat menjaga kok.

Aku mutusin terus konsumsi ini buat jadi salah satu upaya menjaga kesehatan tubuh. Banyak manfaat lain yang kalian bisa lihat dari testimoninya. Yang aku pernah tau bisa untuk diet, bahkan program kehamilan. Masya Allah.. Keren ya! Sangat inspiratif dan punya banyak impact. Semoga suatu saat aku bisa punya bisnis yang keren dan berkah seperti Kak Muti. Aamiin.

Sekali lagi, aku nggak promosi maupun di bayar sama sekali. Postingan ini tribute to Kak Muti, karena aku merasa dia berbisnis dengan sepenuh hati, nggak hanya berorientasi uang saja. Aku juga pengen aja membagi info bermanfaat biar kita semua bisa sehat sama-sama dengan ramuan herbal.

Jadi kalau kalian bisa bikin sendiri tanpa harus beli Ramcin ya, monggo, malah bagus. Allah menciptakan segala penyakit beserta obatnya, aku percaya banget itu. Jadi jangan terlalu bergantung dengan obat-obatan ya.

Saranku, konsumsi yang alami dan berasal dari tanaman herbal lebih diprioritaskan daripada obat buatan para ahli yang teruji secara klinis. Kenapa? Nggak akan aku jawab lebih lanjut disini karena nanti dibilang konspirasi. Hehehe. Bubye!