Jumat, 25 Juni 2021

Awareness Atas Pilihan

Suatu pagi buta sekitar jam 01.00, aku mau tidur.

“Bentar, aku pengen cerita.. Bla bla bla bla.. menurut kamu gimana?”

“Oke. Faktanya kan ini itu ono. Terus mas ngerasa masalahnya dimana?”

“Ya karena aku pengennya begini, tapi malah begitu, trus lama-lama makin gini, itu juga gitu, kesel kan.”

“yaudah, liat kenyataan dulu. Dari awal mas udah milih itu, tau risknya apa ndak?”

“iya tau, tapi capek gitulo kalo gitu terus.”

“jadi dari awal mas tau risknya itu ya, tapi ngerasa capek, dan pengen ngubah kenyataan jadi kayak yang mas pengen?”

“iya..”

“Bisa nggak ngubah kenyataan dan lemparin resiko gitu aja?”

“enggak..”

“jadi pertama, tanya sama dirinya apa yang bikin capek, wajar nggak ngerasa capek, oh wajar ternyata, capek ya istirahat, atau berhenti sekalian ya monggo, mas yang pilih. Tentunya dengan risk lain yang mengikuti pilihan mas selanjutnya. Terus tentang nggak bisa jadiin kenyataan sesuai yang mas pengen, ya mau nerima apa mau merutuki? Pilih juga sambil nyadarin efeknya apa.”

“hmm.. iya..”

“yaudah gitu aja sebenernya kan hidup ini? Tentang memilih. Sadarin dengan penuh maunya apa, pilihan yang diambil dan resikonya, pertanggungjawabkan. Kalo tentang perasaan, jangan pernah di tolak, tapi digali lebih dalam. Soalnya hati buatan Allah ini nggak bakalan salah. Justru bisa nunjukin hal-hal yang benar kalo kita bisa ikutin. Masih ada yang ganjel?”

“hmm.. cukup kok, udah agak enteng..”

“Dengan mas coba cari insight dengan mau nanya dan nggak asal ngeluh aja, itu udah sebuah pilihan yang bagus kok.”

*****

Permasalahannya aku sensor ya, semoga tetep bisa dipahamin, kalo nggak paham ya lanjutin baca dulu aja. Hehehe.

Dari bangun tidur sampe tidur lagi, hidup ini isinya tentang memilih. Setiap pilihan yang kita ambil pasti punya resiko sendiri-sendiri. Nggak ada pilihan yang ga punya resiko. Tapi yang belum tentu pasti yaitu kita dengan sadar paham dan mau nerima resiko dari pilihan yang kita ambil itu. Ibarat air setetes aja pasti bikin getaran dipermukaan kolam. Hal sekecil apapun punya dampak untuk hal lain.

Misalnya bangun tidur, “mau bangun sekarang apa males-malesan dulu ya?”, “mandi air dingin apa anget ya?”, “pake baju yang mana ya?”, “minum pake gelas mana ya?”, “nyapa duluan tetangga itu apa nunggu disapa ya?”, “kok ada kucing ditengah jalan, aku pinggirin apa cuek aja ya?”, “nih orang jutek amat, jutekin balik ga ya?”, “kesel banget gue, marah-marah apa sabarin aja ya?”

Sehari kalo dihitung mungkin kita harus berjuta kali ambil pilihan entah hal kecil atau hal besar. Biasanya tingkat resiko juga sejalan dengan besar kecilnya pilihan yang harus diambil. Sadar dengan resiko ini bukan hal otomatis. Harus mau belajar dan melatih diri sendiri, karena ketika ada orang gantiin kita nerima risk dari pilihan yang kita ambil itu pasti terjadi hal buruk kedepannya.

Satu contoh kecil, misalnya kita mau ke ATM ambil uang selembar. Parkir motor nggak sampe semenit udah keluar. Terus tiba-tiba denger peluit padahal tadi nggak ada tukang parkir, motornya juga nggak dijagain gimana-gimana. Begitu keluar ATM enak aja tiba-tiba prat prit prat prit minta duit parkir. Habis dikasih duit langsung ngacir pula nggak dibenerin kek, nggak diseberangin kek.

“kasih apa nggak nih?”, habis ngasih, “kesel apa ikhlas nih?”

Kalo kita nggak mau nyadarin risk dari pilihan, mungkin kita otomatis mau kesel aja sama kang parkir. Kesel terus sampe rumah ngomel terus dalam hati. Tapi kalo mau berusaha nyari tau lebih dalem tentang pilihan kita tadi, kita nanya ke diri sendiri.

“gue kesel kenapa sih? Oh karena kang parkirnya nggak kerja bener tapi gue kasih duit. Wajar nggak gue kesel? Oh wajar sih. Tapi nggak bikin duit gue balik juga, malah bikin hati nyesek. Yaudah sih anggep aja tadi amal. Bukan tugas gue ngajarin dia ngelakuin kerjaannya dengan bener. Toh berkah enggaknya udah ada yang ngitung, Maha Adil pula. Gue cuma bisa ngatur amal gue sendiri.”

See? Bisa mahamin nggak proses berpikirnya dari contoh yang aku kasih. Duh maaf kalo aku nggak jago ngasih contoh. Intinya sih sering latihan self-talk dan kemauan buat menggali ke dalam diri kita sendiri. Karena pastinya akan sedikit lebih capek diawal dan butuh energi buat mikirin lebih matang pilihan yang kita ambil. Tapi menurutku worth it dan lebih memudahkan diri sendiri banget.

Tentang Berpikir Kritis

So, daripada asal milih yang keliatannya gampang, enak didepan, menuhin ego, tapi belakangannya bikin kita nggak siap nerima resiko dan sibuk nyari siapa yang salah, terus lupa kalo dirinya andil juga bikin pilihan, ya mending kan kita belajar mindfull dalam memilih. Seenggaknya kita siap dan bisa nyikapin sebelum resikonya bener-bener muncul.

 

Selina

 

Selasa, 15 Juni 2021

Tentang Jodoh

Mengartikan kata jodoh sendiri itu bagiku rasanya nggak bisa terwakili dengan kata-kata. Tapi kalo diibaratkan, jodoh itu emang kayak kepingan puzzle yang melengkapi kita. Bicara melengkapi, artinya secara posisi, jodoh kita adalah yang setara dengan diri kita, punya kelebihan yang mengisi kita, juga kekurangan yang bisa kita lengkapi.

Jodoh pasti bertemu? Maybe. I don’t know. Aku selalu menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa iya, bisa tidak, bisa iya tapi akhirnya tidak, bisa tidak akhirnya iya. Semua tergantung dengan setiap langkah yang kita ambil. Setiap orang punya cerita unik yang sama sekali berbeda tentang jodohnya. Dan itu membuat arti jodoh bagi setiap orang berbeda-beda pula.

Yang jelas, orang yang bisa menjelaskan jodoh itu apa, adalah orang yang sudah saling menemukan jodohnya. Karena ketika aku belum bertemu jodohku yaitu Abang, aku punya sedikit bayangan tentang apa itu jodoh, dan ternyata sama sekali nggak seperti yang aku bayangin. It’s just like a, snap! Aku nggak tau siapa, kapan, dimana. Dan kenapa-nya terjawab dalam proses saling belajar.

I don’t even know why can I said Yes. I mean, iya pastinya aku punya alasan saat itu atas pilihanku, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar alasanku saat itu yang bikin aku dan Abang dipertemukan. God’s working on us, that’s true. Bahkan disaat aku sama sekali nggak minta dipertemukan jodoh di usiaku yang baru masuk kepala dua.

Abang dikirim Allah ke aku yang saat itu memang butuh dia untuk bisa melangkah ke step selanjutnya. Dengan kelebihan beserta kekurangannya. Rasanya kayak terlalu cepat, tapi setelah berdiri saat ini dan melihat ke belakang, aku nggak akan bisa sampai titik ini, nggak akan sebertumbuh seperti saat ini, tanpa mengambil kesempatan menikah dengan Abang saat itu.

Bertemu jodoh bukan berarti kita bakalan cocok dalam segala hal dan semua berjalan lancar. Justru, disini jawaban tentang “kenapa seorang dia” bakalan kita temukan. Setiap permasalahan yang menghadang, satu demi satu kita bisa lalui dengan cara mudah maupun sulit dengan dia. That’s why, ada kemungkinan juga sebuah pertemuan harus berpisah, dengan jalan perceraian.

Apa itu artinya kita salah mengira jodoh kita? Terserah gimana kalian menyebutnya, tapi bukan itu poin pentingnya. Jodoh bagiku bukan tentang nama spesifik yang tertulis di takdir kita. Jodoh itu tentang kita ditemukan dengan apa yang kita cari. Lucunya, seringkali kita sendiri nggak menyadari apa yang kita cari dan butuhkan. Manusiawi, ketika kita lebih sering peduli dengan keinginan.

Again, God’s hands working on us.

So, bisa jadi, sebuah perpisahan atau perceraian diakibatkan kita yang mendahulukan memenuhi keinginan dan mengesampingkan kebutuhan kita. Dan dalam perjalanan menghadapi ujian, kita baru menyadari bahwa hal-hal yang kita cari dan butuhkan selama ini nggak terpenuhi dengan seseorang yang sudah sesuai keinginan kita. See?

Kalau ada temen single yang cerita or nanyain, kapan aku ketemu jodohku? Aku cuma bisa bilang, jangan fokus dengan pertanyaan itu. Because no one knows. Aku cuman bisa kasih saran buat temuin dirimu sendiri dulu, penuhi dirimu sendiri dulu. Jangan berpatokan kebahagiaanmu belum lengkap tanpa bertemu jodoh. Jangan menggantungkan tujuanmu pada orang lain.

It’s okay untuk berdoa, minta ke Tuhan dipertemukan jodoh, bahkan dengan spesifik menyebutkan jodoh seperti apa yang diinginkan. Berdoa adalah kebutuhan kita untuk menyadari hal-hal yang kita butuhkan dan kita nggak punya kuasa untuk mewujudkan, dan kesadaran itu akan membimbing langkah kita mendekat menuju hal-hal terjadi dalam hidup kita.

Itu lebih baik dilakukan daripada kita hanya fokus dengan bertanya-tanya dan nggak sabar menunggu jawaban atas keinginan kita, padahal Allah yang paling mengerti kebutuhan kita. Trust Him. Jangan membuat diri sendiri kesulitan menjalani hidup dengan rasa syukur karena melewatkan hal-hal baik yang sudah Tuhan kasih, dan terus mengungkit hal yang belum tepat waktu untuk hadir.

Seperti yang sudah aku bocorin sebelumnya, ketika kita sudah dipertemukan jodoh nanti, kita maupun jodoh kita juga harus saling siap dengan rentetan ujian didepan yang mengikuti. Yup, it takes two to tango. Nggak bisa terus berjalan baik ketika hanya ada salah satu yang siap. Aku sendiri pun nggak tau apa yang akan terjadi didepan, apa aku bisa sama-sama dengan Abang seterusnya.

I have to be ready for whatever happens next, are you ready?

 


Selina

 

Senin, 07 Juni 2021

Mengenal Kesepian

 


Mikir apa sih pas nulis judul ini di draft? Wkwkwk

Kayaknya aku pas lagi ngerasa dan menerima perasaan kesepian hadir di usiaku yang ke 27 tahun. Dulu-dulu kayak cringe banget denger kata kesepian. “idih, nggak pernah tu gue.” Ngerasa suka banget sendirian dan nggak pernah ngerasa kesepian. Eh dasar congkak ya, sering banget diingetin Tuhan kalo habis ngebatin songong gitu langsung ditunjukin hal-hal. Ampun Gusti..

Kesepian tuh beda ya sama kesendirian? Kalo sendiri ya kondisinya nggak ada orang lain selain diri sendiri. Kalo kesepian itu ngerasa sendirian meski ada diantara keramaian ataupun ada yang nemenin. Aku orang yang suka dan sering banget menyendiri, bisa nyampur diantara keramaian juga. Tapi esensi dari judul ini apaan sih? Suka ngadi-ngadi kalo bikin draft deh.

“oke, gue ngerasa kesepian.” Adalah ketika aku ngerasa butuh seseorang, entah seseorang itu tau atau enggak kalo aku lagi butuh dia, dan diluar konteks dia nggak mau or nggak bisa ada buat memenuhi kebutuhanku. Padahal ada orang lain yang nemenin aku ataupun disekitarku, tapi aku malah berekspektasi ke seseorang yang nggak bisa ada buat aku.

Udah dasarnya aku jarang bisa bergantung sama orang, sekalinya ngerasa butuh sama seseorang, resiko handling rasa kecewa ketika orang itu nggak memenuhi kebutuhanku jadi sangat besar. Make sense sih sama kepribadianku yang nggak bisa nanggung-nanggung ini. Ya karena udah tau kelemahanku yang ini, mau gimana lagi kalo nggak dipeluk aja perasaannya.

Tayang aku.. uh..

*puk-pukin diri*

Iya udah diterima yok.. semua perasaan boleh dirasain kan? Yaudah ga apa-apa kecewa. Ga apa-apa kesepian. Yook diperbaiki lagi ekspektasinya biar nggak sedih-sedih banget ya. Udah sering denger kan jangan berharap sama makhluk, ya dasar makhluk juga tempat khilaf. Kan gue makhluk juga yakan? Dah yuk cup-cup, kayak nggak ada Allah aja sih.

***

Itu tadi aku recalled perasaanku yang ngendon di draft. Hehehehe

Sekarang mah udah nggak apa-apa, baek-baek. Alhamdulillah.

Jalan lagi ya? Cus gaskeun.

 

Chely

Senin, 19 April 2021

Tentang Tersinggung

 

Tersinggung itu ibaratnya dicubit tapi didalem hati ya nggak sih? Valid nggak sih perasaan ini? Ya valid, tapi apa serta merta orang yang bikin kita tersinggung adalah tersangka? Belum tentu. Bisa jadi sih kita yang berlebihan dalam merespon sesuatu. Kadarnya aja yang kadang nggak pas gitu. Bukan berarti kita yang salah karena merasa tersinggung, tapi apa perasaan itu sesuai dengan tempatnya?

Kalo bicara ukuran, seberapa jauh sih batasan sikap kita biar ga bikin orang tersinggung. Susah kan ya gimana ukurnya? Tersinggung adalah respon seseorang yang terjadi diluar kendali ketika kita bersikap atau berkata yang nggak bermaksud dengan sengaja menyerang dia. Tapi ada juga ya orang yang memang dengan sengaja menyinggung.

Terus darimana kita bisa tau orang ini menyinggung kita atau enggak, tersinggung atau enggak dengan perilaku kita? Kalo doi nggak mention kita secara langsung. Ya kalo ada yang mau disampein ngomong langsung aja ga sih? Jadi kalo lo ga bilang langsung ke gue ya ngapain tersinggung? Ribet eiy.

Mending gue ribet-ribet nyari tau pikiran gue sendiri, mau gue sendiri, kalo udah beres sama pikiran dan niat diri sendiri, yakin deh nggak ada waktu buat ribetin hidup orang. Sejatinya apa kan gitu. Apasih ah. Ga nemu istilahnya. Ga jadi bijak dah tu. Cita-cita psikolog hobi ngelawak mulu dah imut. Iiihh kalian pernah gemes sama diri kalian sendiri kayak gue sekarang ini? Apaansiii.

I can’t relate sebenernya dengan kegiatan singgung-menyinggung ini. Karena yang aku tanam ke diriku adalah terbuka dengan hal-hal diluar, tapi nggak mudah juga untuk bisa masuk ke hati dan pikiranku. Mau denger apapun, mau baca apapun, mau ngobrol apapun, tapi yang aku simpen ya yang lolos uji klinis aja. Elah, saring dulu lah bos.

Nggak mau terlalu jauh ngurusin kalo aku ga punya waktu buat cari tau apa latar belakang seseorang dalam bersikap. Makanya aku sering dibilang cuek banget banget. Nggak salah kok, aku emang cuek dalam banyak hal. Tapi juga punya sisi paradoksnya. Aku bisa begitu peduli to the bone dengan hal yang aku ngerasa emang layak buat dipedulikan.

Aku ngerasain banget sekarang ini makin melek perihal mana track tempatku berjalan dan mana track orang lain. Istilahnya bisa menempatkan diri, pahamin diri sendiri itu yang utama. Aku tau mana jalurku, aku tau mana batasku, dari situ aku jadi bisa tau mana batasku terhadap orang lain, pun batas orang lain terhadapku. Penjelasanku jelas nggak sih?

Pasti pernah kan ya, kita masih ada ribet sama pikiran orang lain yang mana kita sendiri nggak yakin bener, atau bahkan seringkali kita sok tau. Padahal siapa yang bisa tau dengan jelas pikiran orang sih kalo bukan dia sendiri yang ngomong langsung.

Misal pas mau ngelakuin suatu hal, kepikiran ntar dikira ini nggak ya sama orang, atau ntar ada yang tersinggung nggak ya kalo gue begitu. Lah kok jadi ragu sama niat dan tujuan sendiri sih? Malah sibuk menerka-nerka lubuk hati orang. Mana bisa kamu tahu, dia kan telor. Aigo.. tempe kemana ya?

Aku ada pengalaman lucu kalo diinget-inget sekarang. Kejadiannya udah lama sih, jadi pernah ada temen yang posting hal-hal emosional nih ya di sosmed. Aku nggak mau menjudge orang yang mau posting masalah atau hal-hal emosional, sosmed dia ya hak dia mau pakenya gimana. Saat itu dia kayak punya masalah sama seseorang gitu, tanpa mention postingannya ditujukan untuk siapa.

Karena dia termasuk temen baik (aku ngerasanya saat itu), ya aku tanyain. Hei what’s wrong? Ada masalah apa? Aku ngerasa itu track ku. Bentuk peduli dariku untuk temenku. Ya karena aku mikirnya kalo orang posting masalah dia di sosmed karena pengen ada orang yang tau dan peduli nggak sih? Kalo nggak pengen orang tau kan nggak mungkin di share to?

Berbekal pemikiran apa adanya anak-anak itu aku nanya baik-baik, kali aja dia butuh tempat meluapkan perasaan. Sekedar dengerin curhat, atau ngasih solusi kalo dia minta. Berakhir dijawab gapapa kok. Ya sudah aku simpulkan aku bukan orang yang dibutuhkan saat itu, atau ya mungkin dia ngerasa lega aja setelah berekspresi online, kali?

I don’t know. Aku tidak berspekulasi apapun selain oh ini orang butuh waktu selesai sama dirinya mungkin, aku step back dulu aja kalo gitu. Kan aku sudah nunjukin kepedulianku dengan nanya secukupnya tadi. Batasku ya sampe disitu karena dia ga mau membuka diri kan. Fair enough.

Long story short, sosmedku di block. Bahaha. Bego ga tuh gue?

Lah dia kenapa? Gue kenapa? Apaan sih ngapain gimana?

Berdebat nggak jelaslah saat itu karena gue nanya salah gue apa nggak dapet jawaban dan malah berakhir dia nggak mau kontakan lagi. I’m okay with that. Yang bikin ngganjel apa coba? Ya ngerasa bego aja, mikir, lhah ternyata yang dikata-katain di sosmed itu gue dan gue nggak ngeh, malah nawarin kuping meski ditolak. Lah? Mana ku tahu aku kan bebek~

Ya jadi dobel dobel kan begonya yak. Udah dikata-katain, pun nggak ngeh, malah ngasih effort, ternyata anu. Sampe speechless saking dongkolnya diposisi demikian saat itu. Ini tadi salah satu contohnya yang gue udah dapet validasi dari orangnya langsung, karena sekarang kita udah saling memperbaiki hubungan lagi. Hehe. Hai imut I love you tomat. Wkwkwk.

Usah risau, aku dan temenku satu ini udah baik-baik aja sekarang. Lebih baik dari sebelumnya malahan. Aku tuh nggak menghindari perdebatan, dengan niat fokus nyari solusi bersama. Jadi menurutku hal biasa ada gesekan dalam hubungan apapun. Justru aku ngerasanya, kita bisa makin mahamin seseorang kalo bisa solve problem diantara kita dengan baik.

Gitu lho guys. Jadi aku itu nggak gampang tersinggungan banget. Nggak gampang ngerasa berhak tersinggung kalo nggak nyebut nama. Gue itu peka, bersikap pake perasaan (logika juga pastinya), tapi nggak gampang tersinggung. Keduanya beda banget lho tracknya, yakaan? Mindset paling pas buat aku pegang ya buat tau apa yang dipikirkan diri sendiri daripada nebak-nebak orang.

Nggak perlu nebak-nebak pikiran orang, ke GR-an kalo orang mikirin kita, peduli perilaku kita. Kayak kita ini bagian dari dunia seseorang banget. Gapapa kita bego buat nebak-nebak pikiran orang sih, menurutku sangat aman cuy, hati kita bersih cuy. Kasian hatinya kalo ngerasa tersakiti atas pikiran kita sendiri yang mengira seseorang jahatin kita.

Aku tau niatku, tujuanku, sikapku, dan terbuka dengan apapun. Mau masukan, teguran, asal dikomunikasikan dengan baik. Aku pasti berusaha banget ngasih effort terbaik kok kalo emang ada hal-hal yang aku lakukan menyinggung seseorang dan dia mau bilang or nanya langsung. Nggak gengsi juga buat minta maaf asal sudah saling clear dengan persepsi masing-masing.

Dah cukup lah capek edit mulu dasar perfeksionis. Buruan posting. Bye.

 

"The version of me you created in your mind is not my responsibility"

-Unknown- 



Chely 

Jumat, 26 Februari 2021

Persahabatan Lawan Jenis

 


“cowok sama cewek nggak mungkin bisa sahabatan.” katanya. Aku hanya diam memikirkannya sambil mengingat-ingat setelah Dico dikhitan, aku yang mengipasi penisnya saat mengeluh kepanasan. Atau saat aku menghiburnya dengan cerita lucu, senang mendengar tawanya yang seperti sedang kumur. Klek-klek-klek-klek-klek.

Dico selalu datang kerumah tanpa mengetuk pintu, kadang tiba-tiba membuka gorden kamarku yang sedang ganti baju. Seringkali saling ngobrol dengan berteriak saat mandi, karena kamar mandi rumah kami berdempetan. “Adus ta dik..??”, “aku sek sikatan sel..!!!”, “iyoo! Aku sek pipis..!!!”, “mari adus ta nang omahmu yo..!!!”. Dungdungdung! Kami berbalas klotekan tembok jeding.

Mengobrol tentang UFO, dajjal, siksa kubur, sejarah injil, hal-hal kontroversial, cewek pertama yang ia taksir di SMP, atau sekedar memanjat portal setelah sahur sambil menunggu subuh. Aku bahkan lebih sering memakai skateboard milik Dico daripada ia sendiri.

Aku pernah tidak sengaja menusukkan pensil hingga bauksitnya patah dan tertinggal dibalik telapak tangannya, aku juga pernah mencoret dahinya dengan pensil hingga menangis. Dia pernah mendorongku masuk ke got, juga pernah meminum es moni yang aku titipkan dikulkasnya.

Kami sering saling jahil, tapi juga sering saling berbagi es wawan. Jika dipikir begini, aku baru sadar kalau kami tidak pernah bertengkar. Diingat-ingat lagi, Dico kecil memang lebih sering menangis karena aku daripada sebaliknya. Chely kecil jarang menangis kecuali karena di ‘hajar’ orang tua. Hehe.

Dimana ada Chely, disitu ada Dico. Sempat menyebar seantero RT wilayah rumahku. Saking lengketnya persahabatan kami. Selisih usia kami setahun, ia lebih tua. Tapi kita menjadi teman sekelas saat SD. Dan tetap dekat hingga ia lulus kuliah dan aku bekerja meski tidak lagi satu sekolah sejak SMP.

Mundur ke masa SD, saat mas Bagus mengajakku bermain basket di lapangan di jam istirahat. Saat Fery meminta uang seratus rupiah karena kehausan setelah olahraga. Atau saat Eko dan Dion meminta maaf setelah menjegalku saat berlarian di sekolah, dan Fery yang membersihkan lukaku dengan revanol, mengelapnya dengan kertas bekas ujian. Bekas lukanya masih ada setelah 20 tahun.

Anak laki-laki tidak buruk untuk dijadikan sahabat, bagiku yang perempuan. Mereka meminta maaf ketika candaannya membuatku menangis, menyampaikan permintaan dengan jujur dan sopan, tidak melirik sinis kulitku yang tersengat matahari, tidak peduli dengan gigi kelinciku yang besar. Bahkan mereka merasa tidak perlu membahas hidungku yang pesek.

Anak lelaki sungguh solid. Beberapa pendatang baru di kelas menyukaiku, mungkin karena aku menjadi ‘keset welcome’ atau penyambut agar mereka tidak merasa asing, dan selalu membela saat mereka di bully. Ada yang menyatakannya langsung, dengan surat, atau lewat teman. Sekelompok dari mereka bahkan membuat kesepakatan siapa yang boleh menyatakan dan siapa yang mengalah.

Kiyowo sekali hyung.

Anak lelaki sangat simpel. Aku tidak perlu pura-pura baik dengan teman yang tidak aku sukai. Ketika aku kesal dengan kenakalan mereka, marah atau menangis saja, mereka akan meminta maaf. Jika ingin membalas, aku melaporkan mereka pada guru untuk melihat mereka dimarahi atau di hukum sebagai balasannya. Jika terpaksa, aku kadang menggigit tangannya. Ehehe.

Namun mereka tidak mengelak atas kenakalannya. Justru setelah dihukum, mereka akan melirikku dan berbalas senyum geli. Kami akan main bersama lagi tanpa ada dendam. Anak laki-laki memang nakal dan mengganggu, itu cara mereka untuk mencari dan mencuri perhatian. Kalau terganggu tinggal lawan atau menangis saja. Seringnya, mereka tidak akan membalas anak perempuan.

Saat SMP, jam istirahat aku duduk dikelas sendirian, Saka mendekatkan kursinya dan bertanya “Chely kenapa diam saja? kamu sedang sedih kah?” lucu mendengarnya selalu memakai bahasa baku dengan nada gagap padaku. Atau Rocky yang tiba-tiba menarik tanganku dan mendudukkanku diujung belakang ruangan kelas, “Chel, kamu kok diem ae kenapa? Ceritao ke aku kalo ada masalah.”

Saat SMA pun, ada si kikuk cerdas dan ikonik yang mendukungku secara underground. Si jahil yang memanggilku teteh dan sering membantu tugas pemrogramanku dan juga berbagi cerita. Dan Si cerewet menyebalkan namun jadi kontak pertama saat butuh kehadirannya. Tidak perlu aku sebut namanya karena kemungkinan besar kalian membaca dan aku merasa geli menyatakan ini. Haha

Ada juga teman luar sekolah yang tidak tau cerita hari-hariku, namun selalu menjadi pembeli pertama apa yang aku jual melalui sosmed. Atau randomly bertukar cerita tentang masalah hidup dan meminta pandanganku, tanpa harus sering bertemu. Atau menjadikanku orang pertama yang mengetahui kabar baik maupun buruk darinya.

Bukannya tidak punya sahabat perempuan. Tapi kenyataannya, perempuan cenderung sering mengganggu kenyamanan hidup perempuan lainnya. Akan aku ceritakan di post lain nanti. Disini aku hanya ingin mematahkan stigma dengan menceritakan tentang diriku yang cenderung nyaman bersahabat dengan laki-laki.

Emangnya apa asiknya bersahabat dengan laki-laki?

Mereka tidak perlu validasi ataupun syarat tentang persahabatan.

Tidak perlu memakai gelang persahabatan dan sering kemanapun bersama, tidak perlu mengumumkan bahwa Seli adalah sahabatku dan sebaliknya, aku adalah teman yang selalu ada untuk Seli dan sebaliknya. Tidak ada yang boleh menggantikan posisiku dan sebaliknya. Enteng, tapi ada saatnya juga menyelam begitu dalam. Tidak kecipak-kecipuk di permukaan saja. Duh. Analogiku.

Intinya adalah simpel nan tidak rumit. Saling support dan terbuka. Bahkan meski seiring berjalannya waktu kami tidak lagi berbicara atau kontak karena kesibukan ataupun sudah berkeluarga, mereka tidak akan terlupa. Yang aku tau, mereka ada dan pernah sangat berjasa di perjalanan hidupku. Bukankan itu gunanya sahabat?

Mereka tidak akan membicarakan tentangmu di belakang. Mereka akan membelamu bahkan. Jika tidak memungkinkan, mereka akan menjadi informan. Menanyakan hal rancu yang mereka dengar tentangmu, tanpa segan menegur dan menasehatimu jika ada yang salah. Yang pasti, memberimu support.

Bukan, aku tidak sedang men-judge persahabatan sesama perempuan adalah fake. No. Aku juga punya sahabat perempuan. Sekali lagi aku tekankan, aku ingin mengangkat cerita tentang “cowok dan cewek bisa bersahabat juga kok”. Titik.

“cowok dan cewek kalo bersahabat, pasti salah satunya ada yang punya perasaan lebih” katanya. Kalian yakin suami kalian tidak ada apa-apa dengan sahabat laki-lakinya? Atau sebaliknya juga. Perempuan yang bersahabat dengan perempuan tidak ada yang menaruh curiga bahwa diantara mereka ada apa-apa. Kenapa seyakin itu?

Think.


Love,


Chely